Taman Film di Kota Bandung. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Kavin Faza)

Ayo Netizen

Bandung dan Gagalnya Imajinasi Kota Hijau

Minggu 19 Okt 2025, 19:51 WIB

Bandung selalu punya daya tarik yang ambigu, memesona sekaligus ironis. Di satu sisi, ia tampak seperti laboratorium urban yang penuh gagasan. Katanya kota kreatif, kota pendidikan, kota kuliner, kota mode. Namun di sisi gelapnya, di bawah semua citra dan slogan estetiknya itu, Bandung menunjukkan paradoks yang menohok.

Ketika muncul daftar pemeringkatan seperti UI Green City Metric, Bandung tidak tampak di barisan atas, bahkan tidak menonjol sama sekali. Kegagalan ini bukan sekadar soal angka tapi cermin dari cara kota ini dalam memahami dirinya sendiri. Sebuah kota yang terjebak di antara idealisme hijau, di puncak peradaban Priangan dan Sunda modern, yang disebut-sebut sejuk dan bersahaja.

Di permukaan, kegagalan Bandung mudah dibaca dari indikator teknis. Tapi yang menarik justru soal semua itu yang terhubung oleh benang merah yang lebih dalam. Ialah krisis struktural, kultural, dan epistemik, cara berpikir yang salah arah tentang menjadi “hijau”.

Bandung, dalam banyak hal, hanya belajar mengeja keberlanjutan. Ia belum mampu mengucapkannya dengan penuh kesadaran.

Yang Kasat Masa

Coba kita lihat dari ruang kota yang paling kasat mata, taman-taman. Pada masa Ridwan Kamil menjabat wali kota, taman-taman tematik menjamur. Terkenal Taman Jomblo, Taman Film, Taman Lansia, semuanya dibingkai dalam narasi inovasi dan kebanggaan warga. Tapi beberapa tahun kemudian, sebagian besar taman itu tampak rusak, sepi, bahkan ditinggalkan.

Kita disuguhi wajah kota yang sibuk menanam simbol, bukan menumbuhkan makna. Ruang terbuka hijau tidak pernah benar-benar menjadi ruang hidup ekologis. Ia lahir dari proyek dan berakhir sebagai hiasan. Di sinilah terlihat betapa keberlanjutan di Bandung sering berhenti pada wacana tren semata.

Bandung juga belum pernah benar-benar menata relasi antara pembangunan dan lingkungan. Kawasan resapan air terus digerus menjadi permukiman padat, perbukitan disulap menjadi resort dan vila, drainase kota hilang. Maka tak mengherankan kalau hujan dua jam saja sudah cukup membuat air menggenangi jalan Soekarno-Hatta, Pasteur, dan banyak titik lain. Kota ini hidup di dalam cekungan, tapi lupa bahwa lanskapnya punya logika alam sendiri. Ketika nalar itu diabaikan, bencana menjadi konsekuensi.

Dalam hal energi dan perubahan iklim, Bandung bahkan belum memulai langkah dasar. Tak ada peta jalan menuju transisi energi terbarukan. Seluruh listrik masih bertumpu pada jaringan berbasis batubara. Tidak ada insentif untuk panel surya, tidak ada upaya serius menurunkan emisi penggunaan kendaraan pribadi.

Masalah sampah barangkali adalah cermin paling brutal dari gagalnya sistem perkotaan Bandung. Krisis TPA Sarimukti yang terbakar menjadi simbol betapa rapuhnya pengelolaan sampah kita. Sampah diangkut setiap hari, tapi tidak pernah benar-benar dikelola. Daur ulang hanya jadi wacana, pemilahan di sumber hampir nihil.

Pemerintah dan warga sama-sama terjebak dalam ilusi bahwa ketika truk sampah datang, masalah selesai. Padahal yang terjadi hanyalah perpindahan bencana ekologis dari halaman rumah ke gunung sampah di pinggiran kota. Bandung, kota dengan begitu banyak universitas, komunitas, dan inisiatif kreatif, seharusnya bisa jadi pelopor ekonomi sirkular. Tapi sayangnya justru masih berkutat di logika konsumsi linear. Pakai, buang, angkut, dan lupakan.

Di sisi lain, Bandung juga kehilangan relasi spiritualnya dengan air. Sungai Cikapundung dan Citarum yang dulu menjadi sumber kehidupan kini menjadi saluran limbah. Kualitas air memburuk, konservasi tidak berjalan. Drainase kota tidak mampu menampung hujan yang datang, dan banjir menjadi peristiwa rutin.

Semua ini menunjukkan betapa kita telah kehilangan rasa hormat terhadap unsur yang dulu dianggap sakral. Air tidak lagi dimaknai sebagai sumber identitas dan kehidupan. Padahal di titik inilah krisis ekologis menjadi krisis spiritual. Ketika manusia berhenti menghormati air, ia sebenarnya berhenti memahami dirinya sendiri sebagai bagian dari alam.

Bus Damri di halte Jalan Elang Raya. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Ikbal Tawakal)

Mobilitas kota pun memperlihatkan wajah serupa. Macet, penuh asap. Transportasi publik di Bandung tidak terintegrasi. DAMRI dan angkot berjalan sendiri-sendiri, tanpa sistem yang menyatu. Jalur sepeda dan pejalan kaki dibangun tapi terputus-putus, lebih sering dijadikan latar swafoto ketimbang jalur perjalanan yang otentik. Akibatnya, kendaraan pribadi tetap jadi pilihan utama. Emisi meningkat, udara menurun kualitasnya.

Di ujung semua masalah itu, kita menemukan persoalan yang paling mendasar. Ialah tata kelola. Pemerintah kota seringkali tampak aktif dalam pencitraan hijau, tapi lemah dalam membangun sistem yang transparan dan partisipatif. Kewilayahan hanya dipahami dalam batas dan zona sistem administrasi modern, bukan ruang hidup yang saling terhubung.

Banyak program lingkungan yang berhenti sebagai proyek jangka pendek. Kolaborasi dengan kampus dan komunitas ada, tapi tidak pernah berkelanjutan. Partisipasi publik sering diundang sekadar untuk legitimasi, bukan untuk perumusan arah yang bermakna. Di sini lahir semacam greenwashing governance, pemerintahan yang tampak hijau di permukaan, tapi tidak memiliki kesadaran epistemik tentang keberlanjutan.

Tamparan Keras

Semua ini tidak bisa hanya dibaca sebagai kegagalan administratif. Di baliknya, Bandung sedang mengalami krisis yang lebih dalam. Krisis budaya dan pengetahuan.

“Hijau” di Bandung lebih sering tampil sebagai gaya, bukan kesadaran yang membimbing laku hidup. Ia menjadi bagian dari estetika kota, bukan etika hidup. Taman, mural, dan slogan “Go Green” muncul sebagai simbol modernitas, tapi tidak terhubung dengan nilai-nilai lokal yang dulu pernah menjiwai relasi manusia dengan lingkungan.

Padahal Bandung memiliki sejarah panjang tentang keseimbangan alam. Dari kosmologi Sunda sebagaimana tampak pada sasakala Tangkuban Parahu, hingga tradisi makan lalapan yang tampak sepele. Keberlanjutan yang tidak berpijak pada akar ini akan selalu tampak dibuat-buat, artifisial. Ia bisa dirancang, tapi belum tentu bisa hidup dalam jangka panjang.

Jika kota ini ingin benar-benar hijau, maka hijau itu harus tumbuh dari bawah, dari kebiasaan warga, dari sistem pendidikan, dari kampus, dari komunitas, dari pasar, dari gaya hidup yang tidak hanya “ramah lingkungan” tapi juga penuh hormat kepada kehidupan. Ia harus menjadi praktik, bukan pertunjukan.

Maka ketika Bandung gagal masuk UI Green City Metric, mungkin itu justru saatnya berhenti melihat daftar peringkat sebagai tujuan. Karena yang lebih penting dari semua itu adalah keberanian untuk mengakui kegagalan, bahwa selama ini kita hanya membangun “green” sebagai citra.

Dan dari pengakuan itu, semoga lahir Bandung yang baru. Bukan kota yang sekadar ingin tampak hijau, tapi kota yang benar-benar belajar hidup dalam kelestarian. Sebuah kota yang tidak hanya menanam pohon di taman, tapi juga menanam kesadaran dalam diri manusianya. (*)

Tags:
BandungKota Hijaubudaya ekologis

Arfi Pandu Dinata

Reporter

Aris Abdulsalam

Editor