Aparatur Sipil Negara (ASN). (Sumber: dinkominfo.demakkab.go.id)

Ayo Netizen

Belajar di Era Digital: Media, Sahabat Baru ASN

Kamis 30 Okt 2025, 09:20 WIB

Dulu, ketika kita mendengat kata “belajar”, yang terbayang adalah suasana kelas, mendengarkan penjelasan guru, mengerjakan tugas, lalu pulang dengan membawa PR. Kini, konsep itu telah berubah. Di era teknologi dengan memanfaatkan media pembelajaran, siapa saja di mana saja dan kapan saja bisa belajar lewat layar gawai, obrolan singkat di komunitas, atau bahkan dari pengalaman kerja sehari-hari.

Di balik euforia digitalisasi media belajar, muncul pertanyaan, bagaimana media dikatakan edukatif dan siapa yang menjamin mutunya? Lantas bagaimana menghitung jam belajar, ketika pengalaman belajar difasilitasi ragam media dalam e-learning hingga microlearning?

Pengalaman belajar yang berkualitas datang dari ekosistem pengembangan media belajar yang solid. Desain media belajar yang baik tidak lahir dari software, tetapi dari kompetensi manusia.

Dalam lembaga pelatihan atau Corporate University (Corpu) spesialis media pembelajaran memegang peran kunci sebagai arsitek pengalaman belajar digital. Mereka menggabungkan seni, teknologi, dan psikologi belajar menjadi satu dengan rangkaian materi yang utuh.

Spesialis media dituntut mampu merancang pesan visual dan naratif yang menarik. Memahami tentang psikologi belajar orang dewasa, agar mereka tahu apa yang memotivasi peserta dan bagaimana menciptakan pengalaman belajar yang bermakna.

Mereka juga harus terampil menggunakan authoring tools, LMS, hingga teknologi berbasis AI untuk mengubah ide menjadi media yang menarik dan mudah diakses. Terakhir, mereka pun harus mampu melakukan kolaborasi lintas profes, misal dengan widyaiswara, desainer kurikulum, dan manajer pelatihan untuk bersama-sama mengalirkan skenario pembelajaran dalam variasi media belajar yang relevan, utuh, dan berorientasi hasil.

Berbekal kemampuan-kemampuan tersebut, spesialis media tidak lagi sekadar content creator. Lebih dari itu, karena kinerja mereka diukur dari dampak edukatif dalam pencapaian tujuan pembelajaran, perubahan perilaku kerja, juga kinerja organisasi.

Dari Modul ke Metaverse

Dulu, media pembelajaran seperti: buku/modul, bahan tayang/slide, atau video singkat berperan sebagai pelengkap. Sekarang, media adalah pengalaman belajar itu sendiri.

E-learning, microlearning, gamification, augmented reality (AR), atau virtual reality (VR) membuat belajar lebih hidup, kontekstual, dan menarik. Namun, tidak semua training centre mampu beradaptasi, banyak media dibuat secara ad hoc dan tanpa desain rencana pembelajaran. Akibatnya, konten tampak bagus secara tampilan, tapi tidak mengedukasi.

Di sisi lain, peserta pelatihan datang dari latar belakang yang beragam. Generasi muda biasanya lebih suka video singkat dan media sosial, sedangkan peserta senior cenderung nyaman dengan modul cetak atau diskusi langsung. Ada yang cepat menangkap lewat visual, tapi ada juga yang butuh waktu untuk merenung dan berlatih.

Oleh karena itu, media pembelajaran tidak bisa dibuat seragam, perlu variasi dan yang terpenting sesuai dengan karakteristik peserta pelatihan, mulai dari latar belakang pendidikan, generasi, daerah asal, hingga budaya organisasi agar pembelajaran terasa lebih dekat, relevan dan mengena kepada pesertanya.

Kehadiran media di beberapa konteks telah menggantikan kehadiran pengajar, seperti video interaktif, chatbot pembelajaran, dan AI tutor yang membantu peserta belajar mandiri. Namun, di balik kecanggihan itu, ada satu hal yang tak tergantikan, human touch. Empati, bimbingan, dan makna relasional menjadi fondasi psikologis kepuasan belajar.

Media dapat mengajarkan apa dan bagaimana, tapi hanya manusia yang bisa memberi makna “mengapa”. Kombinasi keduanya melahirkan pengalaman belajar yang utuh, rasional, emosional, dan kontekstual.

Membingkai Media dalam Desain Pembelajaran 70:20:10

Ilustrasi Aparatur Negeri Sipil (ASN). (Sumber: Pexels/Brett Jordan)

Agar penggunaan media searah kompas kurikulum pelatihan. Chief Learning Officer (CLO) Corpu perlu mengoordinasikan penyelarasan pengembangan media dengan desain pelatihan. Desain pelatihan populer saat ini, menggunakan model 10:20:70 yang dikembangkan Lombardo & Eichinger.

Media dalam konteks ini merupakan ekosistem yang mendukung pembangunan pengalaman belajar berkelanjutan. Media pembelajaran menjadi penghubung di antara ketiga formula dalam model tersebut.

Pada ranah 10% ( formal Learning), media membantu menyampaikan konsep dasar dan struktur berpikir. Modul interaktif, video pembelajaran, atau e-learning memberi kerangka pemahaman dasar yang sistematis. Desain medianya tentu harus mampu membangkitkan rasa ingin tahu dan membangun personalisasi pembelajaran.

Pada ranah 20% ( sosial learning), posisi media memperkuat hubungan manusia dengan pengetahuan. Forum daring, grup learning community, coaching mentoring, atau microblog organisasi menjadi media yang memfasilitasi ASN untuk saling belajar, berbagi praktik baik, dan memberi umpan balik. Di sinilah media memperpanjang “sentuhan manusia” dalam ruang digital.

Pada ranah 70% (experiental learning), media menyertai pembelajaran nyata di tempat kerja. Job aid digital, mobile learning, hingga video storytelling dari rekan sejawat akan membantu ASN belajar dari tantangan dan solusi sehari-hari. Media di ranah ini berfungsi sebagai pendamping refleksi, dan project assisantance.

Empat Pilar Media Berdampak

Untuk memastikan media pembelajaran berdampak, dibutuhkan empat pilar utama, yaitu: penyusunan pedoman nasional pembelajaran lintas media, penetapan standar media, penguatan mekanisme penjaminan mutu media, dan pengembangan ekosistem profesi pengembangan teknologi pembelajaran.

Perubahan bentuk dan cara belajar di era digital menuntut adanya pedoman nasional yang mengatur penggunaan metode belajar lintas media, termasuk konversi jam pembelajaran (JP). Pedoman ini disusun oleh LAN RI sebagai instansi Pembina Pelatihan Aparatur dengan berpijak pada Peraturan LAN Nomor 10 Tahun 2018 mengatur pengembangan kompetensi PNS. Dengan demikian, kegiatan webinar, membaca artikel, atau modul e-learning sebagai jenis-jenis media yang digunakan dalam satu rangkaian pelatihan modern dapat diukur secara presisi dan proporsional di setiap penyelenggara pelatihan instansi.

Misalnya, 1 jam webinar setara 1 JP, membaca artikel jurnal berbahasa Indonesia setara 0,5 JP, menonton video pendek dengan teknologi H5P setara 0,5 JP, atau penyelesaian satu modul daring di LMS setara 3 JP,. Selain itu perlu juga diatur jumlah JP maksimal penggunaan media untuk memastikan variasi media belajar mampu mendorong motivasi peserta menyelesaikan learning journey.

Selanjutnya, untuk memastikan kualitas media, diperlukan kejelasan standar kriteria media yang baik terutama pada tiga aspek, yaitu: isi, teknis, dan pedagogis. Standar isi menjamin relevansi dengan capaian pembelajaran (CPL). Standar teknis memastikan aksesibilitas, kualitas audio-visual, dan kompatibilitas lintas platform. Sementara standar pedagogis menekankan sifat media yang aktif, interaktif, dan eye-catching.

Setiap media pembelajaran yang diproduksi harus melewati proses review oleh subject matter expert (SME), uji teknis, pilot testing, dan evaluasi berdasarkan umpan balik. Keseluruhan proses tersebut merupakan penjaminan mutu yang dilakukan oleh tim Quality Assurance (QA) khusus media pembelajaran. Tim ini memastikan bahwa setiap media yang dirilis benar-benar mendukung capaian belajar dan layak digunakan secara luas.

Pada Akhirnya, ketika jam belajar lintas media diatur secara nasional, standar isi ditegakkan, mutu dijamin secara berlapis, dan ekosistem pengembangan teknologi pembelajaran diperkuat, maka media pembelajaran bukan sekadar soal teknologi atau format, tetapi tempat pengetahuan dihidupkan dan pengalaman dipertukarkan untuk meningkatkan kualitas birokrasi. (*)

Tags:
ASNperan mediaera digital

Bayu Hikmat Purwana

Reporter

Aris Abdulsalam

Editor