SUATU malam yang syahdu, selepas Maghrib, kami bertujuh—pulang menjenguk kawan yang sakit di RS Hermina di Soreang—tidak langsung pulang. Kami berkeliling naik Avanza merah marun ke sekitar kota Soreang, Kabupaten Bandung, mencari makanan yang hangat-hangat. Sudah lama kami tidak jalan-jalan di sekitar Alun-Alun Soreang, semenjak kepindahan rumah sakitnya ke daerah Gading Tutuka.
Keluar dari rumah sakit Hermina, mobil kami belok kiri hingga perempatan. Dari perempatan, belok kiri lagi ke arah pusat kota di Soreang. Sasaran kuliner pertama kami adalah tampaknya pas jika di malam yang syahdu dan dingin itu menyeruput segelas bajigur atau bandrek hangat yang legendaris dengan camilan makanan tradisional: bugis, comro, dan goreng kacang yang renyah.
Ya, ada warung bajigur di depan Borma Soreang. Warung bajigur itu adalah langganan keluarga saya sejak merantau ke ibu kota Kabupaten Bandung itu, hampir tiga puluh tahun yang lalu.
Setelah bertanya ke tukang parkir, rupanya kami belum berjodoh dengan si teteh penjaga warung bajigur itu. Warung bajigur itu tutup dan kami memutuskan akan sekalian makan berat saja. Mobil terus lurus melewati Alun-Alun Soreang dan berbelok kiri menuju arah Ciwidey. Di daerah Sadu, mobil kami belok kiri ke jalan baru Sadu. Nah, sekitar 100 meter di sebelah kiri, mobil kami menepi. Di warung “Sate dan Gule Sadu” kami merapat.
Aroma sate yang dibakar tercium. Untunglah serombongan pengunjung baru saja pulang. Tinggallah sekelompok bapak-bapak kami bertujuh yang duduk-duduk di warung itu menunggu sate pesanan.
“Sate kambingnya tinggal 10 lagi. Tapi, sate sapi dan ayam masih ada. Gulainya habis. Sebentar lagi kami akan tutup, Pak,” kata pelayan yang masih muda dan berkulit bersih.
Kami memesan sate kambing yang tersisa ditambah sate sapi dan sate ayam. Harga seporsinya (10 tusuk) Rp40.000 dan 7 porsi nasi. Ada juga gule harga seporsinya Rp50.000. Bisa juga beli setengah porsi Rp25.000.

Saya sudah beberapa kali ke warung sate Sadu ini. Pemiliknya Pak Asep. Sudah buka dari tahun 2001 dengan satu cabang di seberang jalan, masih di jalan baru. “Yang di Seberang sekarang sudah tutup, Pak. Rupanya lokasinya terlalu dekat ke warung ini, Pak,” kata pelayan yang menggeber sate.
Asap dari sate yang dibakar mengepul ke udara tertiup angin malam. Aroma harum sate yang dibakar semakin membuat kami lapar. Duh.
Tak lama, pesanan pun tersaji. Masing-masing kami mendapat 5 tusuk sate bertoping bumbu kacang yang kental dan kecap manis serta seporsi nasi putih pulen. Tak lupa ditemani kerupuk blek putih. Dalam sekejap, makanan habis. Keempukan daging, kegurihan rasa, menyatu. Sate Sadu memang legendaris.
Malam pun semakin larut. Kami pulang dengan perut kenyang ke arah Soreang. Mobil-mobil dari arah Ciwidey sing belesat kencang karena jalananan kosong. Mobil kami melewati RS Hermina lagi. “Semoga lekas sembuh, Kawan,” kata kami dalam hati.
Kami berjanji kapan-kapan akan datang lagi ke warung sate Sadu ini karena penasaran ingin mencicipi gule kambingnya yang konon katanya enak. (*)