Bicara soal kuliner khas Bandung langsung kebayang segala jenis makanan yang lagi viral. Bandung kayaknya ditakdirkan jadi dapur yang enggak pernah padam. Tempat makan kekinian, tongkrongan estetik, dan oleh-oleh bolu yang dikemas manis.
Meskipun begitu, Bandung juga punya wajah lain. Kuliner adalah diari yang menuliskan pengalaman tentang dinamika kehidupan. Percayalah makanan juga bisa bercerita.
Mungkin tidak ada polesan plating yang mewah, selain mengandalkan mangkuk cap ayam jago. Mungkin enggak ada tabel informasi gizi, jumlah gula, dan kalori seperti citra pada kemasan makanan yang dianggap sehat. Tapi ia sungguh menggugah, bukan hanya soal selera, lebih jauh merekam rintihan dan sumringah dari orang-orang biasa.
Es batu, kaldu, atau topping, saling membalut menghiasi carut marutnya kehidupan yang keras. Dalam kontainer plastik, makanan bukan cuma bisa dihangatkan kembali, tapi yang lebih penting bisa menghangatkan orang-orang di rumah. Take away jadi hadiah kecil. Begitu juga seporsi kecil ricebowl yang secara ajaib bisa mengenyangkan dua panitia event di kampus dan es krim cone dingin yang bisa mencarikan suasana pas ketemu gebetan.
Perkedel Bondon
Di Terminal Stasiun Hall Kebonjati misalnya, malam-malam panjang di Bandung hampir selalu dihabiskan dengan antrian yang tak mau kalah bersaing. Menunggu lima atau sepuluh bulatan perkedel, lamanya seperti gejolak perempuan yang dilacurkan (perdila) menunggu uang datang.
Nama “bondon” adalah kegetiran dari lapisan realitas kota yang diabaikan. Terminal, rel kereta, rumah sakit, dan pasar berbarengan menggoreng bola-bola kentang yang panas. Minyak di atas perapian kayu bakar menyatu dengan denyut hidup para supir, tukang parkir, pelancong, penjaga warung, dan orang-orang muda yang berkeluyuran.
Cuanki PUSDAI

Lain lagi di Pusat Dakwah Islam (PUSDAI). Di sepanjang trotoar dan halaman rindangnya, para penjual cuanki meracik bumbu mi instan dan diisi tahu, pangsit, serta baso. Pohon sudah seperti atap rumahnya saja, mereka bekerja di tengah gelap dan tak pernah cemburu melihat pelanggan duduk di sembarang amparan tikar.
Di sinilah anak rantauan bisa melamun sambil mengaduk-aduk saus dan kecap seperti kisah hidupnya. Adapun para pekerja lembur yang balik malam juga dipersilahkan membuang kegelisahan menunggu tanggal muda. Di antara lampu senter kecil yang temaram, tukang cuanki memberi layanan yang prima buat mereka yang merana, mengulur waktu malam menunggu datangnya fajar.
Warung Nasi Ema Eyot
Dekat dengan Badan Perpustakaan dan Kearsipan Daerah Provinsi Jawa Barat, orang-orang bukan hanya diajak membaca buku juga lalu-lalang kehidupan. Warung Ema Eyot bertahan dengan aroma kayu bakarnya. Pas Jadwal makan siang, para pegawai singgah di sana. Mereka yang mau menikmati ikan atau ayam goreng dan karedok segar.
Di meja yang berbaris panjang, para pelanggan bergilir menyantap oalahan rumahan. Tanpa nomor antrian ataupun pengawasan CCTV, transaksi hanya mengandalkan sadar diri dan kejujuran. Kesederhanaannya adalah rasa yang sudah banyak hilang di seantero Bandung. Sajian yang apa adanya seakan menjadi jawaban bagi mereka yang menyukai cita rasa otentik dan ketulusan.
Es Cendol Elizabeth

Segar, gurih, dan manis. Makanan legendaris Bandung ini mengajak penikmatnya untuk menyesap cerita H. Rohman. Karena tidak begitu terampil membaca dan menulis, penjual ini sering meminta bantuan Bu Eli yang menuliskan pesanan di bon toko tasnya. Dari kebiasaan itu lahirlah nama ‘Cendol Elizabeth’ (Kumparan, 20 Januari 2024).
Kini rintisan usahanya melesat maju. Pedagang-pedagang kecil di Jalan Otista dan kawasan Astanaanyar berjualan minuman yang sama. Kisah ini merekam cara kegigihan menjawab keterbatasan, lugu dan menggugah. Inilah daya tahan rakyat kecil menghadapi zaman.
Street Food
Dipatiukur, Saparua, Cibadak, hingga Lengkong. Di sana, rakyat kecil merayakan kebersamaan. Bergantung pada gerobak, tanggungan, dan lapak-lapak seadanya. Dimsum, bebek bakar, steak murah, suki sederhana, atau jajanan musiman yang selalu berganti, dari kue balok lumer sampai cimol pizza.
Warung tenda bisa menyerap tenaga-tenaga kerja baru. Kasir menyambil pramusaji, mengantar mereka yang berkeliling Bandung untuk duduk di atas kursi plastik. Kadang lesehan, kadang datang pengamen, dan kadang kehabisan tisu. Semuanya menunjukkan bahwa ruang-ruang sosial di Bandung masih ada, bercampur tanpa sekat kelas.
Baca Juga: Cuanki, Cari Uang Gak Hanya Modal Janji
Kuliner Bandung, cermin kerakyatan. Bukan hanya soal rasa yang enak dan jadi sumber perhatian para food vlogger. Di sinilah nilai kehidupan terjaga. Makanan dan minuman telah memberi penawaran di tengah kegelisahan. (*)