Bila kita membaca hasil survei terbaru dari YouGov yang menunjukkan 7 dari 10 orang Indonesia percaya terhadap berita yang dihasilkan oleh kecerdasan buatan (AI). Rupanya, angka ini yang tertinggi di Asia.
Survei yang dilakukan sejak 16 Desember 2024 hingga 2 Januari 2025, dengan responden sebanyak 500–1.000 orang di Indonesia, Hong Kong, dan Singapura. Menariknya, sebanyak 36% responden Indonesia menyatakan sikap positif terhadap meningkatnya peran AI, jauh di atas rata-rata dari 17 negara lain yang hanya sekitar 24%.
Uniknya, konsumen Indonesia tercatat paling terbuka terhadap konten berbasis AI dalam berbagai format. Survei ini menemukan 58% responden merasa nyaman dengan gambar buatan AI, 56% merasa nyaman dengan video hasil AI. Persentase ini lebih tinggi dibandingkan Hong Kong (51% untuk gambar, 45% untuk video) maupun Singapura (37% untuk gambar, 36% untuk video).
Keterbukaan ini meluas ke berbagai bentuk konten digital sehari-hari, mulai dari unggahan media sosial (54%), artikel atau blog (51%), email/newsletter (44%), hampir 50% konsumen Indonesia bersedia berinteraksi dengan influencer digital berbasis AI, lebih dari dua kali lipat rata-rata global yang hanya 24%.
Tingkat kenyamanan ini sejalan dengan tingginya kepercayaan terhadap berita buatan AI. Sebanyak 70% orang Indonesia menyatakan mereka mempercayai berita yang dihasilkan AI sama atau bahkan lebih besar dibanding berita buatan manusia. (iNews.id, Kamis 29 Mei 2025, pukul 20.34 WIB).

Generasi Z Belajar Agama dari AI
Perkembangan teknologi membawa perubahan besar dalam cara generasi muda belajar dan beragama. Jika dulu sumber utama pengetahuan keagamaan berasal dari guru dan buku. Kini kecerdasan buatan (AI) mulai menjadi rujukan baru bagi anak muda, terutama generasi Z.
Wakil Ketua Komisi Informasi dan Komunikasi Majelis Ulama Indonesia (MUI), Ismail Fahmi, menilai saat ini dunia telah memasuki era AI. Pasalnya, generasi muda tumbuh dalam lingkungan digital yang membuat mereka sangat akrab dengan teknologi.
Pendiri Drone Emprit ini menjelaskan perubahan cara belajar agama bukanlah ihwal yang baru. Dengan mencontohkan, di masa lalu alquran dicetak dalam ukuran kecil agar mudah dibawa ke mana-mana. Kini, banyak orang terutama generasi muda membaca alquran melalui ponsel.
Ingat, kehadiran AI tetap harus disikapi dengan arif dan bijak. Sebab, setiap alat (media) memiliki potensi benar dan salah. Mari kita bandingkan dengan era sebelumnya ketika masyarakat mulai belajar (ajaran, pemahaman) agama (Islam) dari jurnal, artikel, hingga blog (situs) keagamaan.
Menurutnya, perkembangan AI merupakan bagian dari evolusi teknologi yang tak bisa dihindari dan ditawar-tawar lagi. Dunia terus berputar, berubah dari era kertas ke digital, digital ke komputer dan web, sampai ke kecerdasan buatan. “Kita harus embrace, kita harus memanfaatkan AI untuk belajar banyak hal,” tegasnya. (www.republika.co.id, Ahad 2 November 2025, pukul 19.17 WIB)

Petuah Utama agar Hidup Terarah
Dalam buku "Sosiologi Agama di Era Artificial Intelligence: 7 Prinsip" karya Denny JA, PhD yang diterbitkan Cerah Budaya International LLC pada Maret 2025. Kini, eranya kecerdasan buatan. Teknologi ini bukan sekadar alat, justru dapat mengubah cara manusia berpikir, beragama, dan mencari makna hidup.
1. Keyakinan Agama tak Berkorelasi dengan Kualitas Kehidupan Bernegara
Negara yang paling religius tidak selalu yang paling sejahtera, bersih dari korupsi, atau bahagia. Sebaliknya, data 111 negara menunjukkan negara dengan mayoritas populasi menyatakan agama penting, cenderung di negara itu pemerintahannya korup (Data 2009, 2023).
Negara yang paling bersih dari korupsi (TI, 2024) adalah negara-negara di area skandinavia. Di area itu hanya di bawah 25 persen yang menyatakan agama penting. Sementara di negara yang di atas 90 persen populasinya menyatakan agama penting seperti Indonesia (Muslim), India (Hindu), Thailand (Budha), Filipina (Katolik), korupsi pemerintahannya cukup tinggi.
Data ini menunjukkan faktor politik, ekonomi, dan sejarah lebih dominan daripada sekadar tingkat religiusitas untuk membangun kualitas hidup bernegara.
2. Bertahannya Keyakinan Agama bukan karena Kebenaran Faktual
Agama bertahan bukan karena bukti empiris, tetapi karena fungsinya dalam memberi makna dan komunitas. Dua agama paling besar yang bertentangan soal fakta sejarah, dua-duanya bisa tetap hidup. Kisah anak Nabi Ibrahim yang akan dikorbankan, Ishak (menurut Kristen) versus Ismail (menurut Islam).
3. Agama Bukan Lagi Satu-satunya Pedoman untuk Hidup Bahagia dan Bermakna
Psikologi positif dan neurosains kini menawarkan cara ilmiah untuk menemukan kebahagiaan.
4. Era AI Mengubah Peran Otoritas Agama
AI memungkinkan individu untuk memahami agama tanpa perantara ulama atau pendeta. Pertanyaan apapun soal hidup dan iman, misalnya, dalam hitungan detik bisa diberikan dari berbagai tafsir agama, filosofi dan sains. Individu bebas memilih jawaban yang mana yang paling sesuai dengan kesadaran dan kebutuhannya. Algoritma itu bisa membandingkan 1.236 interpretasi kitab suci dari berbagai era.
Individu akan memilih informasi AI yang imparsial dan menyajikan beragam spektrum daripada otoritas agama yang dianggap terbelenggu, bias sejarah dan hanya satu tafsir. Di masa lalu, pewahyuan datang dari suara yang dianggap suci. Kini, algoritma membisikkan jawaban dalam bahasa data.
5. Agama Semakin Menjadi Warisan Kultural Milik Bersama
Hari raya agama kini dirayakan secara sosial oleh penganut agama lain. Mulai terjadi trend universalisasi ajaran agama agar bisa dinikmati siapapun, termasuk yang bukan penganut agama itu. Meditasi dari agama Budha dan Hindu kini dikembangkan dan bisa dinikmati siapapun tanpa perlu menjadi penganut agama itu.
6. Tafsir Agama Yang Bertahan Adalah Yang Sesuai Dengan Hak Asasi Manusia
Tafsir konservatif yang menolak HAM akan semakin ditinggalkan. Dulu perbudakan dan perlakuan diskriminatif kepada perempuan pernah dibenarkan oleh tafsir agama, tapi kini tafsir itu mulai ditinggalkan.
7. Komunitas menjadi Kunci Penyebaran Gagasan Agama di Era Baru
Tanpa komunitas ide-ide besar akan sulit bertahan dan menyebar. Di era digital, komunitas virtual menjadi ruang baru bagi pertukaran gagasan keagamaan.
Platform seperti Discord, Reddit, dan grup WhatsApp tidak hanya menghubungkan penganut agama dari berbagai belahan dunia, tetapi berusaha menciptakan interpretasi baru tentang teks suci. Misalnya, di sebuah forum online, sekelompok pemuda Muslim dari Indonesia, Mesir, dan Amerika Serikat berdiskusi tentang bagaimana AI dapat membantu memahami alquran secara lebih inklusif.
Mereka menggunakan model bahasa AI untuk menganalisis ayat-ayat yang sering dianggap kontroversial, menghasilkan tafsir yang lebih kontekstual dan relevan dengan kehidupan modern.
Pendekatan kuantitatif menggunakan survei global, data statistik, dan indeks kebahagiaan untuk melihat pola umum dalam kehidupan beragama. Sedangkan pendekatan kualitatif melibatkan studi kasus, wawancara mendalam, dan analisis sejarah untuk memahami perubahan agama di berbagai belahan dunia.
Metode ini berbeda dari pendekatan klasik di era Durkheim, Weber, dan Marx yang lebih menekankan pada teori sosial dengan ata terbatas.

Para sosiolog klasik seperti Durkheim, Weber, dan Marx melihat agama sebagai fenomena yang statis atau sebagai alat kekuasaan. Namun, teori agama di era AI menambahkan tiga dimensi baru.
- Agama dalam era digital: Bagaimana AI mengubah cara manusia beragama, mencari Tuhan, dan memahami teks suci.
- Dinamika komunitas virtual: Bagaimana keimanan berkembang dalam jaringan digital, di luar institusi tradisional.
- Persaingan antara agama dan sains dalam pencarian makna: Dulu, sains dan agama sering dipandang bertentangan. Kini, psikologi positif mulai mengambil peran yang dulu dimiliki agama dalam menjawab pertanyaan eksistensial manusia.
Dengan demikian, teori ini bukan hanya reinterpretasi dari sosiologi agama klasik, tetapi ikhtiar pembaruan yang relevan dengan perubahan dan semangat zaman. (Denny JA, 2025:92-96).
Ya agama di era AI, sedang mengalami perubahan yang paling besar sejak ribuan tahun lalu.