Kekuasaan Itu Bernama Perawatan: Menerima Tubuh yang Ringkih dan Rentan

Arfi Pandu Dinata
Ditulis oleh Arfi Pandu Dinata diterbitkan Jumat 07 Nov 2025, 10:12 WIB
Tangan manusia. (Sumber: Pexels/Tan Danh)

Tangan manusia. (Sumber: Pexels/Tan Danh)

Tubuh ideal hanyalah milik segelintir orang. Itu pun masih boleh diragukan. Selebihnya hanyalah buatan. Akal-akalan iklan, algoritma, regulasi, dan industri yang bersekongkol menciptakan tubuh impian yang tak pernah sungguh ada. Tubuh tak lagi sekadar jasad, ia jadi medan politik yang diam-diam mengatur hidup sehari-hari.

Lihatlah syarat kerja yang meminta surat sehat jasmani dan rohani, seolah tubuh yang sakit tak pantas mencari nafkah. Atau ajang pencarian ikon anak daerah, tempat tubuh disaring sebagai lambang moral dan estetika. Wajah cerah, postur tegak, senyum terkendali, tutur lembut, dicari teladan badan.

Bahkan di sekolah, rambut satu sentimeter saat ospek pun bisa jadi ukuran patuh. Di tempat lain, tubuh perempuan dibuka dan diperiksa atas nama kesucian. Begitulah tubuh diatur dan dipertontonkan, seakan-akan ia bukan lagi ruang pribadi, melainkan panggung bagi moral publik.

Perawatan Sebagai Wacana Kekuasaan

Hari-hari belakangan ini, kita menilai kulit dan daging dari piksel yang telah disesuaikan dengan selera kekuasaan. Kita menimbang martabat lewat likes dan views, dan selalu menyesuaikan tubuh agar selaras dengan selera pasar.

Raga dikontrol lewat angka seperti berat badan, kadar lemak, ukuran pinggang, bahkan jumlah langkah per hari. Aplikasi pelacak aktivitas olahraga sangat gandrung. Begitu masifnya pandangan ini sampai kita dibuat malu pada perut sendiri, lipatan-lipatan, curiga pada kulit yang mulai menua.

Kemudian kita diseragamkan atas nama perawatan, dikendalikan oleh ekonomi ketakutan. Maka berhamburanlah uang demi sehat dan investasi di wajah? Sekarang makin tampak bahwa kesehatan adalah konstruksi sosial. Dokter dan pakar medis menentukan normal-tidaknya bentuk tubuh, mereka tidak pernah sekalipun berbicara di ruang hampa. Influencer, endorsement, dan brand ambassador menetapkan mana yang indah.

Ekonomi kapitalistik dan meritokrasi bilang “demi produktivitas”, “demi versi terbaik dari dirimu”. Tapi ujung-ujungnya dipekerjakan dengan upah yang tidak layak. Gaji kita habis hanya untuk “service” badan dan demi mendulang kekayaan si pemilik modal. 

Dan lucunya kita patuh begitu saja, dengan senang hati. Membayar mahal produk skincare, keanggotaan gym, pilates, dan padel. Kita menolak lapar dengan bangga dan gaya, sehat sekaligus branded katanya. Kita menutupi jerawat dengan rasa bersalah, antipati pada komedo dan pori-pori jeruk. Semua dengan biaya yang tidak sedikit.

Kita memoles bahkan menyensor, menilai diri dari sudut pandang penguasa. Kita menjadi sipir bagi tubuh sendiri. Badan ideal, dengan demikian, bukan sekadar fantasi estetika, tapi strategi siasat penguasaan orang lain lewat jalan tubuh-tubuh yang ditaklukan. Sebab dalam tubuh yang dicap bugar dan good looking, dunia dan semua orang terasa lebih mudah menerima kita, begitu bukan yang kita anut selama ini? Sedangkan tubuh yang tak sesuai norma dianggap gagal, kotor, tidak produktif, dan ujungnya disingkirkan.

Menjadi Ringkih

Mari kita pergi ke kenyataan, menengok tubuh kita sendiri yang jauh lebih kompleks dan jujur. Ayo tatap dalam-dalam lewat cermin, temukan dengan jeli bagian-bagian yang kita tutupi sebagai rahasia yang tak diumbar. Ia pastinya adalah campuran antara belikat dan kerempeng, gumpalan yang mudah sangan mudah diejek “gendut”. Atau antara area gelap dan terang yang tak merata, belang. Atau juga ukuran-ukuran privasi yang katanya tidak biasa, membuat kita malu.

Ada tahi lalat di tempat yang tidak kita inginkan, tanda lahir dan tompel berbulu yang bentuknya tak beraturan, atau bagian tertentu yang asimetris. Rambut selalu lepek dan rontok, kulit yang mudah iritasi-alergi, termasuk lipatan tertentu yang cenderung menghitam.

Menyedihkan, semuanya dikutuk oleh keadaan sebatas jelek dan “burik”. Namun inilah kita, yang sungguh berketubuhan tanpa pernah bisa menjadi steril seutuhnya. Kita begitu jago, sering menutupi itu semua dengan rapi. Baju, aksesoris, filter kamera, atau sekadar pose tertentu yang menyembunyikan bagian yang dianggap menjijikan.

Kita lupa, bahwa setiap goresan, tonjolan, atau lekuk yang tidak sesuai standar adalah bukti nyata dari arsip kehidupan yang sangat wajar. Bekas jahitan sehabis jatuh sewaktu kecil dulu, sebaran bintik hitam setelah pemulihan cacar, atau stretch mark di pinggul setelah hamil.

Ilustrasi tren perawatan kecantikan. (Sumber: Ist)
Ilustrasi tren perawatan kecantikan. (Sumber: Ist)

Urat menonjol di betis bapak yang seumur hidup bekerja keras, kaki kapalan ibu yang puluhan tahun berdiri jadi kuli di jongko orang lain. Ada pun kulit menggelap karena paparan matahari bagi para pekerja luar ruang, tangan kasar yang menandai tenaga buruh, punggung bungkuk para lansia yang pernah menanggung berat dunia, bahkan kantung mata yang hitam akibat malam-malam panjang menjaga anak atau bekerja lembur.

Semuanya adalah catatan tubuh yang tak bisa dibuang begitu saja, mereka menyimpan pengalaman. Merekam rintihan kemanusiaa kita. Dan semestinya kita resapi perlahan.

Kerentanan yang Indah

Tubuh terus berubah, ia tak pernah bohong. Ia juga selalu memberi tanda. Ketika kita lelah, ia pegal. Ketika takut, ia gemetar. Ketika sedih, ia menitikkan air mata. Namun beribu-ribu sayang, kita hidup di zaman yang mengajarkan untuk curiga pada banyak fenomena yang terjadi di tubuh sendiri. Tubuh dijadikan proyek perbaikan tanpa henti, diarahkan untuk menjadikannya lebih layak dipandangi secara murahan dengan harga yang tak masuk akal.

Padahal tubuh tak pernah salah. Yang salah adalah cara kita memandangnya, cara kita mengurusnya dalam kubangan nir-kemanusiaan. Kita memuja yang mulus dan memusuhi yang retak, padahal justru di dalam retakan itulah kehidupan yang sebenarnya merekah. Sebab ia bekerja sesuai kaidahnya. 

Sadarlah bahawa tubuh yang waras adalah tubuh yang bisa sakit dan menanggung derita, bagian dari dunia kita. Kulit bisa sobek, daging bisa mengendur, tulang bisa patah. Inilah yang seharusnya kita pahami, sehingga kita bisa memperlakukannya dengan elok.

Sebab tubuh adalah pintu pengalaman paling dasar manusia. Ia jalan penting kesejahteraan kita. Dari tubuh kita belajar anekarupa rasa dan sensasi. Darinya juga kita belajar batas-batas, dari tenaga hingga waktu kesembuhan.

Tubuh adalah jembatan antara “aku” dan dunia luar, celah di mana yang lain bisa masuk memperkaya atau melukai. Tubuh kita tidak kedap dunia. Ia selalu terbuka dan berdialog. Dan di situlah letak keindahannya, bahwa tubuh adalah tempat kita bersentuhan dengan realitas. Sekalipun banyak bahayanya.

Setiap sentuhan adalah pengingat bahwa kita ada. Anak kecil yang memeluk ibunya, tangan teman yang merangkul bahu, pasangan yang bergandengan di trotoar, bahkan tepukan perawat ketika menyuntikkan obat. Percayalah semuanya itu peristiwa tubuh yang sungguh indah. Di baliknya, mungkin ada hangat, nyeri, nyaman, bahkan takut. Entahlah, dunia kita tidak hanya dipahami lewat pikiran, tapi juga lewat kulit dan gesekan yang terjadi di antaranya.

Dan di dalam itulah kita menjadi manusia, menjadi rentan sekaligus, bukan karena satu dan lain hal. Tapi karena semata-mata kita adalah manusia. Kita yang kena pada ketetapan alam, sebagaimana hal-hal lainnya di semesta ini yang melapuk. Bukan karena kita lemah, tapi karena kerentanan adalah bagian dari struktur keberadaan itu sendiri. Fana.

Menerimanya

Dalam bias yang terlanjur mendalam tentang tubuh yang berada di angan-angan, banyak orang mengira akan lekas memulih dan mencapai versi paling menakjubkannya. Berhentilah, sebab sebagian besar darinya hanyalah omong kosong. Semuanya hanya kata-kata manis yang kadung menyesatkan. Telanlah keniscayaan, bahwa tubuh kita itu memang rentan dan rapuh.

Tentu hal ini bukan fatalisme. Tapi sebuah bentuk kesadaran yang hendak mengembalikan pemeliharaan tubuh pada cara-caranya yang wajar. Dengan usaha-usaha yang masuk akal. Makan yang berkualitas, olahraga teratur, dan tidur yang cukup. Berbeda 100% dengan gaya hidup yang elitis.

Tugas kita itu hidup, menjadikan setiap anggota badan dalam keseluruhan tubuh ini terkoneksi, berfungsi, menjalani hari-harinya. Kita hanya mengantarkannya menuju kelak akhir penghabisan, pembusukan ragawi.

Maka dari itu, rangkullah tubuh kita sekarang. Terimalah segala apa yang oleh kekuasaan disebut sebagai kekurangan. Marilah kita berpelukan bersama tubuh-tubuh yang disingkirkan oleh norma sosial kita.

Ada banyak bentuk anti-kemanusiaan yang hingga hari ini masih meminggirkan tubuh. Tubuh disabilitas, misalnya, yang dianggap cacat. Begitu juga tubuh tua yang diabaikan dipandang telah selesai kehilangan masa produktivitasnya. Tubuh perempuan yang diatur, tubuh berwarna yang direndahkan, tubuh pekerja yang dieksploitasi, tubuh ragam gender dan seksualitas yang dibunuh, tubuh miskin yang dikorbankan.

Di sinilah makin kentara bahwa standar tubuh ideal bukan cuma soal estetika, tapi juga politik yang serius. Siapa yang dianggap layak tampil, siapa yang tidak pantas dilihat. Padahal setiap tubuh adalah anugerah semesta, sekecil apapun keberadaannya, adalah perwujudan martabat manusia. Banyak dari rupanya yang hadir tanpa pernah diminta, tapi kenapa yang berbeda malah dipinggirkan?

Menerima tubuh berarti menerima kehidupan sebagaimana adanya. Tubuh bukan musuh yang harus ditundukkan, melainkan teman seperjalanan yang terus mengingatkan bahwa kita hidup di dunia yang sementara.

Tidak apa-apa jika perut tidak rata, tidak apa-apa jika kulit tidak putih, tidak apa-apa jika kita punya banyak bekas luka. Tubuh kita bukan dosa, bukan aib, bukan kegagalan. Ia hanya sedang bercerita. Dan ketika suatu saat tubuh mulai melemah, itu pun bukan akhir. Itu adalah cara tubuh memberitahu bahwa ia sudah bekerja keras menanggung hidup ini bersama kita.

Bahwa di balik segala sakit dan letih, ada cinta yang diam-diam tumbuh. Cinta pada kehidupan yang pernah kita alami, cinta pada tubuh yang tak pernah berhenti menjadi rumah bagi setiap dari kita. Beristirahatlah, berilah jeda sebagai haknya. (*)

Disclaimer

Tulisan ini merupakan artikel opini yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Pandangan yang disampaikan dalam artikel ini tidak mewakili pandangan atau kebijakan organisasi dan redaksi AyoBandung.id.

Arfi Pandu Dinata
Menulis tentang agama, budaya, dan kehidupan orang Sunda
Nilai artikel ini
Klik bintang untuk menilai

Berita Terkait

News Update

Ayo Netizen 25 Des 2025, 20:41 WIB

Menunda Kepastian, Merawat Percakapan ala Richard Rorty

Richard Rorty menolak hasrat epistemologis, keinginan obsesi manusia dalam kepastian dan soloidaritas daripada objektivitas.
Richard Rorty menolak hasrat epistemologis, keinginan obsesi manusia dalam kepastian dan soloidaritas daripada objektivitas. (Sumber:Dokumentasi Penulis)
Mayantara 25 Des 2025, 17:35 WIB

Infinite Scrolling dan Hilangnya Fokus

Dalam beberapa tahun ini, mengakses media sosial menjadi ritual yang seolah tanpa batas.
Dalam beberapa tahun ini, mengakses media sosial menjadi ritual yang seolah tanpa batas. (Sumber: Pexels | Foto: Ron Lach)
Ayo Netizen 25 Des 2025, 16:25 WIB

Gus Dur, Toleransi, dan Harmoni

Gus Dur hadir untuk memastikan martabat dan keutuhan negara tetap terpelihara dan terjaga. Perjuangannya dalam membela kemanusiaan, demokrasi, keadilan sosial, berbagai aspek kehidupan
"Dialog adalah budaya perdamaian" - Abdurrahman Wahid (Sumber: Instagram | Foto: @pamerandialogperadaban)
Ayo Netizen 25 Des 2025, 15:13 WIB

Banjir namun Hidup Tetap Harus Berjalan

Banjir setinggi lutut kembali merendam Komplek Griya Bandung Asri 1, Bojongsoang, menghambat mobilitas warga.
Banjir terjadi di komplek Griya Bandung Asri 1 Bojongsoang. (05/12/2025) (Sumber: Khalidullah As Syauqi)
Ayo Netizen 25 Des 2025, 14:47 WIB

Cidulang, Cekung seperti Dulang

Di Tatar Sunda, dulang itu berbentuk seperti tabung yang mengecil di bagian bawahnya.
Gambaran seorang perempuan sedang ngakeul nasi di dalam dulang. (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: T Bachtiar)
Ayo Jelajah 25 Des 2025, 11:58 WIB

Hikayat Christmas Island, Pulau Kecil dengan Sejarah Besar di Samudra Hindia

Christmas Island menyimpan sejarah kolonial fosfat perang dunia dan migrasi lintas Asia yang membentuk identitas unik hingga kini.
Christmas Island. (Sumber: Flickr)
Beranda 25 Des 2025, 09:41 WIB

Di Sore yang Pelan, Ngafe Menjadi Ruang Rehat Warga Kota Bandung

Pada sore, ruang ini berfungsi sebagai tempat singgah yang lebih tenang, menjadi bagian dari gaya hidup warga kota dalam bekerja, beristirahat, dan mengatur ritme hidup di tengah kesibukan urban.
Coffee shop di Kota Bandung menjadi salah satu pilihan tempat untuk rehat dari rutinitas. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Ilham Maulana)
Beranda 25 Des 2025, 08:09 WIB

Panggung Tanpa Lampu Sorot, Cerita di Balik Suara Emas Penyanyi Jalanan Kota Bandung

Namun, rupiah yang mereka kumpulkan dengan cucuran keringat dari pagi hingga malam itu kerap harus dibayar dengan rasa waswas.
Penyanyi jalanan di perempatan Jalan Pahlawan, Kota Bandung. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Halwa Raudhatul)
Beranda 24 Des 2025, 20:45 WIB

Workshop Google AI Tools for Journalist di Bandung Bekali 28 Peserta Tingkatkan Kapasitas Media Lokal

Pelatihan intensif tersebut diikuti 28 peserta terpilih yang terdiri atas pengelola media lokal, jurnalis, serta konten kreator komunitas dari berbagai daerah.
Program Google AI Tools for Journalist yang digelar selama dua hari, 23–24 Desember 2025 di Kantor Ayo Media Network. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Kavin Faza)
Ayo Netizen 24 Des 2025, 17:03 WIB

Terminal Cicaheum Harus Siap Sambut Bus AKAP Double Decker

Banyaknya Bus AKAP Premium yang melirik kota Bandung sebagai trayek berpotensi tertinggi ketiga di Pulau Jawa, maka bersiap untuk banyaknya pemandangan bus Double-decker mewah melintas
Terparkir 3 Bus Gunung Harta Transport Solustions (GHTS) saat malam hari di garasi GHTS (19/11/2025). (Sumber: Dokumentasi Pribadi | Foto: Dean Rahmani)
Ayo Netizen 24 Des 2025, 16:40 WIB

Ujian Nyata Walikota Farhan: Normalisasi Sungai Cinambo atau Banjir Warisan?

Banjir Sungai Cinambo bukan sekadar dampak curah hujan, tetapi cerminan lemahnya tata kelola lingkungan Kota Bandung.
Kondisi Sungai Cinambo di Bandung Timur, yang dinilai mengalami pendangkalan dan penyempitan, menjadi bukti kegagalan tata kelola infrastruktur kota, (2 Desember 2025). (Sumber: Dok. Pribadi | Foto: Khansa Khairunsifa)
Ayo Netizen 24 Des 2025, 15:41 WIB

Taman Lansia Bandung usai Revitalisasi: Antara Harapan Baru dan Beragam Tantangan di Lapangan

Taman Lansia Bandung hadir dengan wajah baru setelah revitalisasi, namun masih menghadapi berbagai tantangan dalam hal keamanan, fasilitas, dan pengelolaan untuk kenyamanan bersama.
Lampu taman malam hari yang menerangi jalur pejalan kaki menunjukkan suasana sepi setelah hujan mengguyur Taman Lansia pada Rabu, 3 Desember 2025. (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Hilyatul Auliya)
Ayo Netizen 24 Des 2025, 15:07 WIB

Bandung Waras

Bandung harus punya otak yang waras dan hati yang peka.
Festival seni dan budaya bukan sekadar hiburan. Itu pengingat bahwa kota hidup dan waras. (Sumber: ayobandung.com | Foto: Muslim Yanuar Putra)
Ayo Netizen 24 Des 2025, 13:26 WIB

Mendidik dengan Ikhlas, Mengabdi dengan Cinta: Kisah di Balik Seragam Cokelat Herna Wati

Kisah ini mengambarkan Herna Wati yang menjadikan Pramuka sebagai ruang untuk belajar ikhlas, mandiri, dan tempatnya untuk mengabdi dengan penuh cinta.
Foto Herna Wati Pembina Pramuka MTs Baabussalaam Kota Bandung. (Foto: Lutfiah Nurrahma Faisal)
Ayo Netizen 24 Des 2025, 12:23 WIB

Warisan Humanis Gus Dur bagi Bangsa yang Majemuk

Perjalanan panjang bangsa yang penuh warna dan dinamika, nama Gus Dur selalu hadir seperti lentera yang menerangi ruang-ruang gelap kemanusiaan.
Illustrasi Peringatan Haul 16 GUS DUR. (Sinan)
Ayo Netizen 24 Des 2025, 09:57 WIB

Tahura Djuanda Hadirkan Wisata Edukasi Bernilai Konservasi: Batu Batik dan Flora Langka Jadi Daya Tarik Baru

Keunikan wisata Taman Hutan Raya Ir. Djuanda menjadi daya tarik.
Anggrek terkecil di dubia jadi bintang baru kawasan konservasi (04/11/2025) (Sumber: Dok.pribadi | Foto: Nazwa Revanindya)
Ayo Netizen 24 Des 2025, 09:29 WIB

Remaja dan Luka Sunyi Dunia Maya

Opini ini mengajak pembaca menyelami sisi gelap dunia maya yang kian membelenggu remaja Indonesia.
Seorang remaja duduk terpukul di tengah serangan komentar kasar dan ejekan di media sosial. (Sumber: Dok. Pribadi | Foto: jajang shofar)
Ayo Netizen 24 Des 2025, 08:47 WIB

Masyarakat Bandung Sudah Bersahabat dengan Gelapnya Jalanan Kota Bandung

Masyarakat Bandung sudah pasrah dengan penerangan jalan yang tidak kunjung diperbaiki oleh Wali Kota Bandung.
Suasana jalanan daerah Tegallega di jam 21.00 WIB yang sudah tidak terlihat oleh pengendara, Jumat (28/11/2025). (Sumber: Dokumentasi Penulis Foto: Nadya Ulya Zagita)
Ayo Jelajah 23 Des 2025, 21:48 WIB

Sejak Kapan Pohon Cemara Digunakan jadi Hiasan Natal?

Tradisi pohon Natal berakar dari kebiasaan masyarakat Eropa kuno yang memuliakan tanaman hijau di tengah musim dingin, jauh sebelum Natal dirayakan secara modern.
Ilustrasi Pohon Cemara saat Natal.