Muhammadiyah, sebagai salah satu organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di Indonesia, telah merespons krisis iklim global dengan pendekatan yang sistematis, holistik, dan terinstitusionalisasi. Gerakan ini tidak hanya berakar pada inisiatif sosial, melainkan dimandatkan secara teologis dan jurisprudensial, yang kemudian diimplementasikan melalui jaringan Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) yang masif serta didukung oleh diplomasi global.
Analisis ini memaparkan kerangka kerja Muhammadiyah, mulai dari landasan fikih hingga strategi implementasi program transisi energi dan aksi akar rumput. Respons Muhammadiyah terhadap perubahan iklim berakar kuat pada interpretasi Islam yang progresif, di mana perlindungan lingkungan diangkat sebagai kewajiban keagamaan mendasar.
Teologi Lingkungan Muhammadiyah
Dalam pandangan Muhammadiyah, hubungan antara manusia dan lingkungan hidup didefinisikan melalui konsep teologi lingkungan yang menempatkan manusia sebagai bagian tak terpisahkan dari alam semesta. Tafsir ekologis ini didasarkan pada prinsip Tauhid, yang menegaskan bahwa Allah SWT adalah pemilik mutlak bumi dan segala isinya.
Manusia, dalam kapasitasnya sebagai Khalifah fil Ardh, memiliki peran utama sebagai pengelola (manager) di bumi. Meskipun diberikan hak untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, manusia juga dibebani kewajiban mutlak untuk menjaga, melestarikan, dan menjamin keberlangsungan lingkungan.

Konsep tanggung jawab ini sejalan sepenuhnya dengan prinsip pembangunan berkelanjutan, yang menekankan pemanfaatan sumber daya alam tanpa mengorbankan masa depan ekologis. Organisasi Muhammadiyah menyadari bahwa untuk menghadapi krisis global yang terus berkembang, pandangan keagamaan tidak boleh konservatif atau statis.
Oleh karena itu, Muhammadiyah menekankan pentingnya Tajdid (pembaharuan), di mana para ulama dan cendekiawan harus mengikuti perkembangan zaman dan informasi ilmu pengetahuan. Integrasi ilmu pengetahuan dan dogma agama ini memastikan bahwa gerakan lingkungan hidup Muhammadiyah didasarkan pada pengetahuan yang kuat (sound knowledge) tentang perubahan lingkungan, mengatasi potensi kelemahan yang mungkin timbul dari respons eko-religius yang hanya berlandaskan teologi semata.
Literasi Iklim
Generasi muda Muhammadiyah melalui Nasyiatul Aisyiyah (NA) beraksi sebagai agen perubahan (agents of change). Program Eco Bhinneka Muhammadiyah adalah inisiatif strategis yang memanfaatkan lingkungan sebagai platform netral untuk mendorong kerukunan antarumat beragama di Indonesia. NA telah menyusun Modul Training of Trainer (TOT) Eco Bhinneka yang mengangkat tiga isu utama secara interkoneksi: Toleransi, Lingkungan, dan Stunting. Tujuan modul ini adalah menciptakan pedoman bagi fasilitator (pendamping) untuk membentuk masyarakat, khususnya pemuda, perempuan, dan tokoh agama.
Pendekatan ini menunjukkan bahwa Eco Bhinneka secara strategis memanfaatkan krisis iklim sebagai tantangan universal, yang berfungsi sebagai jembatan untuk membangun kohesi sosial. Program ini telah melibatkan pelajar lintas iman dan aktivis, bekerja sama dengan entitas internasional seperti Green Faith Indonesia dan Ashoka, untuk memperkuat peran agama dalam mengelola risiko lingkungan di berbagai wilayah.
Kemudian, hadirnya Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) memainkan peran operasional dalam tanggap darurat yang kian dipicu oleh perubahan iklim. MDMC mengimplementasikan kerangka Fikih Kebencanaan, memastikan respons terhadap bencana (misalnya, banjir bandang Sukabumi 2024) bersifat sistematis. Dalam masa tanggap darurat, relawan MDMC yang didukung Lazismu mendirikan Pos Koordinasi (Poskor) dan Pos Pelayanan (Posyan) di lokasi terdampak. Pos-pos ini berfungsi sebagai pusat informasi, koordinasi penanganan bencana, asesmen kesehatan, dan upaya pemulihan pasca-bencana. Aksi MDMC ini mencakup mitigasi, tanggap darurat, dan recovery, sesuai dengan trilogi penanggulangan bencana yang ditetapkan dalam Fikih Kebencanaan.
Di tingkat struktural, Muhammadiyah telah membangun arsitektur kelembagaan khusus untuk memimpin gerakan iklim, sekaligus memosisikan diri sebagai aktor kunci dalam diplomasi iklim global. Isu lingkungan telah diangkat ke tingkat doktrin tertinggi dalam organisasi. Dalam Risalah Islam Berkemajuan, isu lingkungan ditetapkan sebagai salah satu prioritas wajib yang harus dikelola oleh seluruh Unsur Pembantu Pimpinan (UPP) Persyarikatan. Wallahua’lam. (*)
