Tembok Demokrasi dalam Keadilan Buku-Buku Cetak

Vito Prasetyo
Ditulis oleh Vito Prasetyo diterbitkan Kamis 06 Nov 2025, 16:19 WIB
Ilustrasi buku cetak. (Sumber: Pexels/Element5 Digital)

Ilustrasi buku cetak. (Sumber: Pexels/Element5 Digital)

Ada yang mengatakan, bahwa hukum yang disusun tanpa partisipasi rakyat, hanyalah formalitas yang sah secara prosedural, tapi gagal secara nurani. Dalam friksi demokrasi, suara rakyat perlu didengarkan dan menjadi bagian penting dari kerangka bangsa.

Kita tentu ingat, bangsa dibesarkan oleh pemikiran bersih; oleh buku; oleh teks-teks sastra yang diperjuangkan pendiri bangsa. Selama ratusan tahun dijajah tanpa punya akses pada bacaan. Saat kemerdekaan, infrastruktur dan suprastruktur tidak terbentuk dengan sempurna di kalangan masyarakat. Lantas, kenapa buku dan suara rakyat harus dipenggal, sementara bangsa menyusun diri kepada demokrasi yang bercermin pada UUD negara RI tahun 1945 dan Pancasila!?

Edward Bernays menulis dalam buku “Propaganda” yang menerangkan bahwa opini publik bukan semata hasil kesadaran kolektif, tapi sering kali buah dari rekayasa yang terencana. Meski rakyat begitu mudah diarahkan dan berkali-kali dikecewakan. Acapkali, rakyat dihadapkan pada pilihan yang sangat dilematis. Karena berharap ada perubahan yang konkret dan nyata.

Sebagaimana kita ketahui, bahwa bahasa yang menjadi kumpulan kata-kata, tidak hanya sekadar alat komunikasi, melainkan juga instrumen kepemimpinan. Bahasa yang digunakan pemimpin tidak hanya sekadar narasi, tetapi harus layak terdengar dan sekaligus menyentuh. Pada masa yang sangat tua, seorang filsuf bernama Aristoteles telah menulis buku “Retorika”. Buku ini tidak hanya bacaan, tetapi sekaligus juga teori dasar dalam berdemokrasi.

Seorang pemimpin harus paham, bahwa segala ucapannya adalah narasi yang bermakna. Demokrasi tanpa logos, ethos, dan pathos, maka pidato seorang pemimpin hanyalah gema protokoler – didengar, dicatat, tapi tidak pernah diingat. Kondisi ini membuat nilai-nilai demokrasi tidak lagi melihat konteks nyata, tetapi lebih menyuburkan konteks “pencitraan semata”.

Demokrasi itu tidak hanya soal gagasan ide dan imajinasi dalam membaca fenomena yang terjadi dalam sebuah era, tetapi menjadi rentetan peristiwa yang terukur dalam sebuah sejarah. Faktanya, banyak pemimpin yang gagal di mata masyarakat ketika ia selesai masa tugasnya ketika menjabat. Jadi, dalam sistem pemerintahan negara, sangat diperlukan instrumen kepemimpinan.

Dalam prinsip dasar demokrasi, tujuan pokok yang harus tercapai adalah keadilan. Namun retorika tanpa keadilan hanya akan memperindah kekosongan. Jika kita membaca Teori Keadilan karya John Rawls. Di sana, keadilan tidak bicara soal pembagian merata, melainkan soal keberpihakan terhadap yang paling rentan. Karena jika keadilan hanya indah dalam konstitusi tapi hampa dalam kenyataan, rakyat akan mengerti bahwa hukum sering dibuat bukan untuk mereka.

Adanya ketimpangan dalam penegakan demokrasi, ini memperlihatkan kita, bahwa ada sistem yang tidak berintegrasi satu sama lainnya. Secara logika, sistem ini dikendalikan oleh manusia. Maka, ketika sistem ini dianggap tidak lagi berpihak pada kepentingan masyarakat banyak, yang seharusnya sistem itu menjadi pelindung bagi hayat orang banyak, tentunya akan menimbulkan pertentangan – bukan perlawanan.

Salah satu alat dalam penegakan demokrasi adalah bentuk-bentuk protes yang disuarakan secara kolektif. Misalnya dalam bentuk orasi atau demonstrasi. Jika suatu hari suara rakyat terdengar bising dan tidak teratur, jangan buru-buru menyebut mereka tak tahu aturan. Bisa jadi mereka sedang menagih perjanjian yang dilanggar.

Perjanjian yang kerap kali tertulis tanpa hitam-putih dan hanya melalui lisan, selalu saja dimaknai sepihak oleh penguasa (yang diberikan kepercayaan dan amanat. Artinya, kekuasaan itu bukanlah warisan yang berlangsung turun-temurun sebagaimana yang ditulis dalam buku: Social Contract yang dikarang oleh Rousseau menyebutkan bahwa kekuasaan bukan warisan, tapi kontrak. Dan setiap kontrak yang dikhianati, berhak dipertanyakan.

Baca dan Diskusi Kutu Buku di Perpustakaan Bunga di Tembok, Sabtu, 17 Mei 2025. (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Dias Ashari)
Baca dan Diskusi Kutu Buku di Perpustakaan Bunga di Tembok, Sabtu, 17 Mei 2025. (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Dias Ashari)

Pertanyaan ini adalah bentuk pertanggung-jawaban moral yang harus dijawab oleh penerima kekuasaan. Janji adalah bentuk nyata yang harus dipenuhi dalam perjanjian tersebut.

Untuk melihat lebih luas, lebih lanjut bisa membaca buku Politik karya Andrew Heywood. Buku ini menjelaskan bahwa politik bukan tentang memenangkan kontestasi, tapi mengelola perbedaan. Di setiap kebijakan, tentu banyak perbedaan dalam sudut pandang.

Bagaimana kita melihat kondisi itu hari ini? Sayangnya, banyak pengelolaan hari ini lebih mirip pengendalian. Yang dibentuk bukan kesepahaman, tapi kepatuhan. Dan itu bukan demokrasi. Itu monolog yang dibungkus rapih. Pada titik ini, buku tidak hanya memberi gambaran ilusi. Tapi buku, bukan hanya sebagai teori, tetapi bisa menjadi nilai ukuran dari gambaran demokrasi secara normatif.

Apakah kebuntuan demokrasi itu harus diakhiri dengan kudeta? Ini sepertinya terlalu sarkastis. Karena demokrasi tak selalu mati karena kudeta. Kadang ia mati perlahan, lewat hukum yang dibentuk untuk satu golongan saja. Kita akan lihat itu di Bagaimana Demokrasi Mati karya Levitsky dan Ziblatt. Buku ini telah mengadopsi modernisasi.

Tentunya semua pihak menginginkan pilihan yang tepat. Pilihan selalu tampak elegan, karena sebagian isi dari pilihan itu juga demi martabat bangsa. Demokrasi bisa berakhir dalam senyap—ketika oposisi dilemahkan, dan rakyat diajari takut bertanya.

Di sini, mungkin pembaca akan terjebak dengan narasi-narasi di atas. Apakah ini “konsep menjual produk buku?”. Ini salah besar! Karena buku disini lebih bersifat referensi teori tentang demokrasi. Sebagai kumpulan kata-kata intelektual yang mencintai negara yang tidak sekadar caption.

Jika pemulihan demokrasi tujuannya juga untuk kestabilan ekonomi. Maka kita perlu menyentuh akar ekonominya, baca Wealth of Nations karya Adam Smith. Ia menulis tentang pasar dan moralitas, bukan sekadar laba. Tapi juga harus membaca Capital karya Karl Marx, agar tahu bahwa tak semua pertumbuhan itu netral.

Kadang, yang disebut pembangunan hanya cara lain untuk menjaga struktur ketimpangan. Pembangunan itu tidak hanya membangun mimpi, tetapi bagaimana membangun serta mewujudkan ekonomi kerakyatan. Marginalisasi ekonomi selama ini bertumpuk pada kekuatan kapitalis. Ini tentunya akan menyakiti hati rakyat.

Jika kita tarik garis sejarah, sebelum bicara soal reformasi, mungkin ada baiknya kita perlu menyepi sejenak membaca Republik karya Plato. Ia menulis bahwa pemimpin harus terlebih dahulu menjadi pencari kebenaran. Jika itu hanya sebatas retorika belaka, artinya penerima kekuasaan itu belum memahami secara utuh tentang konsep negara.

Karena negara yang dipimpin oleh mereka yang tak pernah merenung, akan diserat ke arah yang hanya didikte selera pasar dan suara sorak penonton. Lalu bandingkan dengan Politik karya Aristoteles. Di sana, kekuasaan adalah sarana menuju kebaikan bersama—bukan perlombaan cepat-cepat jadi orang terdepan. Pemimpin bukan puncak, tapi pusat. Dan kalau pusatnya keropos, yang runtuh bukan hanya sistem, tapi seluruh harapan.

Dunia ini panggung sandiwara, sebuah lagu yang bisa berkonotasi macam-macam. Apakah negara itu juga sebagai panggung sandiwara? Anekdot liar terkadang perlu untuk menyegarkan suasana, ketika dunia politik sudah disusupi virus-virus yang tumbuh menjadi bom waktu. Bahasa sastrawi, mungkin terlalu santun di tengah impitan hidup, yang dianggap sedang tidak baik-baik saja.

Dan kekuasaan yang dibingkai tanpa makna, akan tampil seperti yang digambarkan Clifford Geertz dalam Negara Teater. Negara jadi panggung, pejabat jadi aktor, rakyat jadi penonton pasif yang hanya diundang saat ada perayaan. Yang dipelihara adalah citra, bukan substansi.

Agar ruang pikir tetap hidup, ruang publik dibuka, tetapi dengan suara yang mulai serak dan hak-hak suara tetap terkendali, bahkan cenderung represif. Seperti kata sastrawan, Taufiq Ismail: “aku (malu) menjadi Indonesia.” Bukan karena sikap nasionalisme yang luntur, tapi tidak lebih dari keprihatinan panjang. Kata-kata sebagai subjektivitas pemikiran bahkan diancam terpenjara.

Demokrasi tak dibangun dari suara mayoritas saja, tapi dari kemampuan yang minor. Buku-buku bukanlah suara mayoritas, yang seyogianya harus dijadikan sumber estetika dan etika dalam keseimbangan ilmu dan pengetahuan. Bukan menjadi alat bukti untuk sebuah tindakan kejahatan. Bagaimana kemudian makna demokrasi itu menjadi kerdil? Meski buku pernah tercatat dalam sejarah, sebagai alat propaganda dalam revolusi.

Ketika semua suara dibungkam kecuali satu, maka yang lahir bukan musyawarah tapi monarki yang disamarkan. Hukum sering terasa tidak adil meski katanya konstitusional, karena hukum yang disusun tanpa partisipasi rakyat, hanyalah formalitas yang sah secara prosedur tapi gagal secara nurani. (*)

Artikel Rekomendasi Untuk Anda

Disclaimer

Tulisan ini merupakan artikel opini yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Pandangan yang disampaikan dalam artikel ini tidak mewakili pandangan atau kebijakan organisasi dan redaksi AyoBandung.id.

Vito Prasetyo
Tentang Vito Prasetyo
Malang
Nilai artikel ini
Klik bintang untuk menilai

Berita Terkait

News Update

Ayo Netizen 06 Nov 2025, 18:24 WIB

Gerakan Muhammadiyah dalam Menghadapi Krisis Iklim Global

Muhammadiyah telah merespons krisis iklim global dengan pendekatan yang sistematis, holistik, dan terinstitusionalisasi.
Krisis iklim global menerpa kampung/kota di Indonesia (Sumber: https://muhammadiyah.or.id/2023/08/atasi-krisis-iklim-muhammadiyah-digandeng-klhk-bangun-20-ribu-kampung-iklim-di-seluruh-indonesia/)
Ayo Netizen 06 Nov 2025, 18:12 WIB

Icip Bakso Solo Samrat yang Sedang Happening

Bakso Solo Samrat merupakan salah satu Bakso yang sedang happening di kalangan konten kreator atau masyarakat umum.
Bakso Keju Lumer dan Es Kacang Brenebon (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Dias Ashari)
Ayo Biz 06 Nov 2025, 17:41 WIB

Eksistensi HvB di Bandung, Komunitas yang Menghidupkan Sejarah Lewat Tubuh dan Teater

Historia van Bandung (HvB), komunitas ini menjadikan tubuh, kostum, dan aksi teatrikal sebagai medium untuk menghidupkan kembali masa perjuangan Indonesia.
Historia van Bandung (HvB), komunitas ini menjadikan tubuh, kostum, dan aksi teatrikal sebagai medium untuk menghidupkan kembali masa perjuangan Indonesia. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Netizen 06 Nov 2025, 17:10 WIB

Warung Viral di Bandung yang Jadi Tempat Nongkrong Favorit Anak Muda

Meski awalnya dikenal karena popularitas film, warung Bi Eem kini telah melangkah lebih jauh.
Meski awalnya dikenal karena popularitas film, warung Bi Eem kini telah melangkah lebih jauh. (Sumber: Dokumentasi Penulis)
Ayo Jelajah 06 Nov 2025, 17:00 WIB

Hikayat Kiaracondong, Tujuan Urbanisasi Kaum Pekerja Zaman Baheula

Kisah Kiaracondong yang bermula dari sebatang pohon miring hingga jadi kawasan industri, stasiun besar, dan simpul macet abadi Bandung.
Para buruh pekerja Artillerie Constructie Winkel (ACW) di Kiaracondong yang merupakan cikal bakal PT Pindad. (Sumber: Tropenmuseum)
Ayo Netizen 06 Nov 2025, 16:50 WIB

Literasi Digital Sejak Dini, Bekal Anak Masa Kini

Literasi digital sejak dini bukan untuk menjauhkan anak dari teknologi.
Ilustrasi teknologi digital di sekitar anak-anak saat ini. (Sumber: Pexels/Ron Lach)
Ayo Netizen 06 Nov 2025, 16:19 WIB

Tembok Demokrasi dalam Keadilan Buku-Buku Cetak

Kenapa buku dan suara rakyat harus dipenggal?
Ilustrasi buku cetak. (Sumber: Pexels/Element5 Digital)
Ayo Netizen 06 Nov 2025, 15:16 WIB

Persib: Kami di Asia, Kamu di Mana?

Persib Bandung, dijadwalkan bertanding melawan Selangor FC Malaysia di ajang AFC Champions League Two (ACL Two).
Persib Bandung saat berhasil menang 2-0 atas Selangor FC. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Irfan Al-Faritsi)
Ayo Netizen 06 Nov 2025, 13:54 WIB

Opini dan Fakta dari Perspektif Jurnalistik

Tsunami fakta, kebanjiran fakta, hujan fakta. Mungkin kita pernah melihat dan membaca komentar seperti itu ketika menjelajahi media sosial.
Pengetahuan tentang opini dan fakta penting untuk semua orang. (Sumber: PEXELS | Foto: Judit Peter)
Ayo Netizen 06 Nov 2025, 12:09 WIB

Perjuangan Seorang Santri Menebarkan Ilmu Melalui Kitab Kuning

Di balik kesederhanaan seorang santri di Madrasah Aliyah Sukamiskin, tersimpan kisah yang begitu hangat dan menginspirasi.
Defan, seorang pemuda asal Bandung yang menjadikan kitab kuning bukan sekadar bacaan, tetapi jalan untuk menempa karakter dan memperkuat keyakinan hidupnya. (Sumber: Dokumentasi Penulis)
Ayo Netizen 06 Nov 2025, 09:12 WIB

Mimpi UMKM Lokal di Panggung Livin’ Fest 2025

Livin’ Fest 2025 jadi panggung bagi UMKM muda menunjukkan karya dan cerita mereka.
Antusias Pengunjung Livin' Market 2025 (Sumber: Dokumentasi Penulis| Foto: Firqotu Naajiyah)
Ayo Netizen 06 Nov 2025, 07:42 WIB

Perspektif Lain Sejarah Indonesia lewat Buku Dalih Pembunuhan Massal Karya Jhon Roosa

Buku Pembunuhan Massal Karya Jhon Roosa merupakan buku yang menyajikan perspektif lain dari sejarah yang selama ini kita yakini.
Buku Dalih Pembunuhan Massal Karya Jhon Roosa (Sumber: Instagram | Katalisbook)
Ayo Netizen 05 Nov 2025, 20:12 WIB

Keringat yang Bercerita, Potret Gaya Hidup Sehat di Perkotaan

Melalui feature ini pembaca diajak menyelami suasana pagi yang penuh semangat di tengah denyut kehidupan masyarakat perkotaan.
Ilustrasi olahraga lari. (Sumber: Pexels/Ketut Subiyanto)
Mayantara 05 Nov 2025, 19:29 WIB

Budaya Scrolling: Cermin dari Logika Zaman

Di banyak ruang sunyi hari ini, kita melihat pemandangan yang sama, seseorang menunduk menatap layar, menggulir tanpa henti.
Kita menyebutnya scrolling, para peneliti menyebutnya sebagai ritual baru zaman digital. (Sumber: Pexels/cottonbro studio)
Ayo Biz 05 Nov 2025, 18:38 WIB

Deteksi Dini Anak Berkebutuhan Khusus, antara Keresahan Orang Tua dan Tantangan Penerimaan

Selain faktor akses, stigma sosial menjadi penghalang besar. Tidak sedikit orang tua yang enggan memeriksakan anak karena takut dicap atau dikucilkan.
Ilustrasi. Deteksi dini anak berkebutuhan khusus masih menjadi isu mendesak di Indonesia. (Sumber: Freepik)
Ayo Netizen 05 Nov 2025, 17:21 WIB

10 Penulis Terpilih Oktober 2025: Kritik Tajam untuk Bandung yang 'Tidak Hijau'

Inilah 10 penulis terbaik yang berhasil menorehkan karya-karya berkualitas di kanal AYO NETIZEN sepanjang Oktober 2025.
Banjir di Kampung Bojong Asih, Kecamatan Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung, pada Minggu, 9 Maret 2025. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Kavin Faza)
Ayo Biz 05 Nov 2025, 14:48 WIB

Cibunut Berwarna Ceminan Semangat Ekonomi Kreatif dan Pemberdayaan Pemuda di Gang-gang Kota Bandung

Kampung Cibunut menjelma menjadi simbol pemberdayaan ekonomi wilayah dan pemuda melalui semangat ekonomi kreatif yang tumbuh dari akar komunitas.
Kampung Cibunut menjelma menjadi simbol pemberdayaan ekonomi wilayah dan pemuda melalui semangat ekonomi kreatif yang tumbuh dari akar komunitas. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Jelajah 05 Nov 2025, 12:49 WIB

Hikayat Pelarian Eddy Tansil, Koruptor Legendaris Paling Diburu di Indonesia

Kisah dramatis pelarian Eddy Tansil, koruptor legendaris yang lolos dari LP Cipinang tahun 1996 dan tak tertangkap hingga kini, jadi simbol abadi rapuhnya hukum di Indonesia.
Eddy Tansil saat sidang korupsi Bapindo. (Sumber: Panji Masyarakat Agustus 1994)
Ayo Netizen 05 Nov 2025, 11:49 WIB

Garis Merah di Atas Kepala Kita

Refleksi Moral atas Fenomena S-Line dan Krisis Rasa Malu di Era Digital
poster film S-Line (Sumber: Video.com)
Ayo Netizen 05 Nov 2025, 10:55 WIB

Bergadang dan Tugas, Dilema Wajar di Kalangan Mahasiswa?

Feature ini menyoroti kebiasaan bergadang mahasiswa yang dianggap wajar demi tugas dan fokus malam hari.
Ilustrasi mengerjakan tugas di waktu malam hari (Sumber: Pribadi | Foto: Muhamad Alan Azizal)