Bandung tidak hanya dikenal dari udaranya yang sejuk, tapi juga karena langitnya yang pernah terbuka untuk dunia. Kini setelah kereta cepat dan bandara baru hadir, muncul pertanyaan sederhana, apakah bandung masih punya pintu langitnya sendiri untuk menjemput dunia?
Ada yang pelan-pelan hilang dari langit Bandung. Bukan awan, bukan kabut, tapi suara mesin pesawat yang dulu hilir mudik dari Bandara Husein Sastranegara. Suara yang pernah jadi penanda terhubungnya kota dengan dunia luar, dengan mereka yang ingin melihat, belajar, dan jatuh cinta pada Bandung. Kini, langit itu hanya menyisakan memori terdalam, kenapa dunia yang dulu dekat, kini terasa menjauh.
Ketika itu, Bandung tak perlu menunggu dunia datang lewat Jakarta atau Bali, kota ini punya pintu langitnya sendiri. Setiap pesawat yang mendarat di Husein bukan sekadar alat transportasi, tapi pembawa cerita yang membuat Bandung menjadi lebih dari sekadar kota tujuan wisata.
Dulu, wisatawan dari Singapura, Kuala Lumpur, bahkan Darwin bisa langsung menuju Bandung. Mereka melihat dari jendela pesawat, bentang hijau pegunungan, sawah yang berundak, atap merah yang berserak di bawah awan. Dan ketika mereka menjejak tanah, yang mereka temui bukan sekadar tempat, tapi suasananya, udara sejuk yang menenangkan, aroma kopi, dan senyum hangat orang-orangnya.
Bandung yang Pernah Mengudara
Tak banyak kota di dunia yang bisa berkata, “kami pernah membuat pesawat.” Tapi Bandung bisa. Di sinilah anak-anak bangsa belajar menembus langit. Di sinilah Nurtanio dan BJ. Habibie menulis bab pertama kisah kedirgantaraan Indonesia. Kisah bangsa yang mengudara dengan sayapnya sendiri.
Saat ini, kita hidup di masa ketika jarak bisa dilipat. Ada Whoosh, kereta cepat yang melesat dari Jakarta ke Bandung hanya empat puluh lima menit. Juga ada jalan tol yang menembus bukit dan lembah dengan pemandangan hijaunya.
Dulu turis asing dengan mudah menyeberang dari Singapura, menempuh dua jam penerbangan, lalu menginap di Dago atau Ciumbuleuit, berjalan kaki ke Jalan Braga, membeli batik di Cihampelas, menyesap kopi di Punclut sambil melihat senja. Atau menjelajah bentangan alam di Kawasan Bandung Raya, Kawasan Gunung Tangkuban Perahu, Pangalengen, Ciwidey, Garut, atau Pantai Pangandaran. Sekarang, mereka harus terbang ke Jakarta atau Kertajati, terus menempuh perjalanan darat panjang untuk sampai di sini. Sebagian memilih batal, sebagian kehilangan arah.
Tapi dunia terus berubah, dan Bandung tak bisa hanya hidup dari kenangan. Saat ini moda kereta cepat (whoosh) menjadi tend moda transportasi internasional menuju Bandung. Data BPS Jawa Barat menunjukkan tren penurunan wisatawan mancanegara (Wisman) yang datang melalui BIJB Kertajati pada Desember 2024. Herman Suryatman, Sekretaris Daerah (Sekda) Jawa Barat juga menyampaikan data kunjungan pada November 2024 dari 735, anjlok menjadi 337 kunjungan pada Desember 2024, kemungkinan wisman beralih moda, tuturnya.
Bagi sebagian orang, bandara hanyalah tempat pesawat mendarat dan lepas landas. Tapi bagi Bandung, Husein Sastranegara adalah bagian dari jiwanya. Ruang perjumpaan antara lokal dan global, antara ide dan peluang. Dari bandara kecil itulah para wisatawan, pebisnis, hingga mahasiswa asing pertama kali menjejakan kaki di Bandung, sebelum jatuh cinta pada kota ini. Husein menjadi pintu masuk bagi ekonomi kreatif, pendidikan tinggi, dan pariwisata berkarakter.
Menghidupkan kembali bandara ini bukan sekadar keputusan ekonomi, tapi keputusan kebudayaan. Bandung telah lama dikenal dunia sebagai kota kreatif, kota desain, kota pendidikan. Tapi tanpa koneksi udara yang langsung, terasa sulit menjaga irama global. Kota kreatif memerlukan pertemuan. Dan pertemuan memerlukan gerbang yang terbuka. Tentu, ini bukan tentang menyaingi Whoosh atau Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) Kertajati. Ini tentang menemukan harmoni.
Antara Kertajati dan Husein

Pemindahan bandara Bandung ke BIJB Kertajati tertuang dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 31 Tahun 2024 tentang Penetapan Bandar Udara Internasional. Di antara alasan yang mengemuka adalah Husein Sastra Negara dinilai tidak cocok untuk penerbangan komersial, terlebih bagi pesawat bermesin jet bahkan untuk kelas narrow body atau pesawat berbadan sempit.
Di balik narasi itu, tersembul cita-cita proyek strategis nasional (PSN) yang memprediksi mampu menjadi simpul baru mobilitas udara dan stimulus ekonomi Kawasan REBANA, yang didasarkan pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 87 Tahun 2021 tentang Percepatan Pembangunan Kawasan Rebana dan Kawasan Jawa Barat Bagian Selatan.
Sebetulnya implementasi kebijakan tersebut bisa dibicarakan dengan tenang, duduk santai di bawah sejuknya embun pagi di Kawasan Dago Pakar. Para pihak ngobrol tentang berbagi manfaat dengan BIJB Kertajati yang sejak dinyatakan resmi beroperasi tahun 2018, booming di tahun 2023, kemudian lesu lagi hingga saat ini.
Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jabar pun, berupaya mendongkrak kelesuan tersebut dengan menambah penyertaan modal untuk BIJB Kertajati, senilai Rp 100 miliar yang tertuang dalam Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (PPAS) tahun 2026. Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi lugas berkata, upaya itu agar listriknya sama airnya tidak mati, malah kalau dibiarkan, nanti akan menjadi tempatnya kelelawar, sambungnya.
Menjemput Dunia, Menata Diri
Di sisi lain, semangat Wali Kota Bandung, Muhammad Farhan, yang terus berupaya memperjuangkan reaktivasi bandara Husein patut diapresiasi, sekaligus menjadi momen yang tepat untuk merenung. Apa yang membuat Bandung sekarang istimewa? Sebab, sebelum dunia kembali, Bandung harus berbenah. Kota ini punya semua modalitas untuk itu.
Bandung adalah laboratorium gagasan, tempat lahirnya kreativitas, tempat tumbuhnya pendidikan, dan tempat di mana seni dan teknologi bisa bertemu dengan cara yang lembut. Mungkin, langkah pertama untuk menjemput dunia adalah menata ulang masalah yang membuat Bandung tak kunjung masuk dalam peringkat UI GreenCityMetric dalam lima tahun terakhir.
Kota ini masih punya pekerjaan rumah. Pengelolaan sampah yang tertinggal, transportasi publik yang belum terintegrasi, tata ruang yang kian sesak, dan sungai-sungai yang kehilangan jernihnya, hingga tata kelola pemerintahan lintas wilayah. Tapi semua itu bukan alasan untuk pesimis, justru panggilan untuk bergerak.
Bukan beton yang paling penting, tapi kesadaran Bersama. Di sinilah makna "menjemput dunia dari langit Bandung" menjadi nyata. Bukan lagi tentang membangun landasan pacu baru, melainkan menata fondasi batin kota ini dengan kesadaran akan pentingnya keterhubungan, keseimbangan, dan keberlanjutan. Dunia hanya akan datang jika Bandung mengundangnya dengan wajah yang segar, lingkungan yang bersih, dan warganya yang hangat.
Setiap kota punya caranya sendiri untuk hidup. Jakarta hidup dengan lalu lintas dan ambisinya. Bali hidup dengan pesona lautnya. Bandung hidup dengan udara, kenangan, dan langitnya. Karena kota ini diciptakan untuk bergerak, berinovasi, dan menyapa dunia dengan semangat Soekarno dan Konferensi Asia Afrika yang menggelegar.
Mungkin, langit Bandung sedang menunggu waktu untuk kembali ramai.
“Ayo, Bandung. Buka lagi pintu langitmu. Dunia masih ingin datang menjejak tanahmu, mencium udaramu, dan jatuh cinta sekali lagi.” (*)