Bencana adalah realitas yang selalu mengancam kehidupan manusia di mana pun berada, termasuk di Indonesia. Dampaknya merentang luas mulai dari merusak infrastruktur, mengguncang sendi sosial, ekonomi, pendidikan, hingga kesehatan. Namun, di balik kehancuran, setiap bencana sesungguhnya mengandung pelajaran penting tentang kesadaran, mitigasi, dan solidaritas kemanusiaan.
Dalam konteks ini, perguruan tinggi memegang peran strategis untuk memperkuat ketangguhan bangsa dan kemanusiaan global melalui ilmu pengetahuan, inovasi, dan pengabdian masyarakat.
Basuki Supartono, Koordinator Pusat Studi Bencana Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta sekaligus Unsur Pengarah BNPB, menegaskan bencana adalah ujian bagi kemanusiaan dan ukuran peradaban.
Ketika universitas mampu memadukan sains, etika, dan pengabdian, bencana tidak lagi semata sumber penderitaan, tetapi menjadi sumber pembelajaran, inovasi, dan harapan bagi masa depan umat manusia. (Republika, 06 November 2025.13:27 WIB).

3 Pelajaran Penting dari Bencana Alam
Dalam perspektif ajaran Islam, seperti dilansir dari NU Online (Selasa, 2 Oktober 2018 | 11:30 WIB) merumuskan tiga pelajaran penting bagi seorang Muslim dalam menyikapi bencana. Bencana memang relatif bisa menjadi musibah, bisa pula menjadi anugerah. Semuanya bergantung pada cara seseorang meresponsnya. Yang pasti, bencana membawa tiga pelajaran, baik bagi yang tertimpa maupun yang tidak mengalaminya.
1. Muhâsabah: Mengoreksi Diri dengan Rendah Hati
Pelajaran pertama, muhâsabah (introspeksi diri). Bencana alam seperti tsunami, gempa bumi, gunung meletus adalah fenomena di luar kendali manusia. Ini menjadi bukti atas kelemahan manusia dan pengingat agar kita merendahkan diri di hadapan Allah SWT.
Sayyidina Umar bin Khattab pernah berpesan, “Hisablah dirimu sebelum engkau dihisab. Karena sesungguhnya hal itu akan meringankan hisabmu di hari kiamat.”
Fokus evaluasi adalah diri sendiri, bukan menuding kesalahan orang lain. Sangat disayangkan bila ada pihak yang mengaitkan bencana sebagai “azab” bagi korban, apalagi untuk kepentingan politik. Sikap seperti itu jauh dari nilai empati.
Imam Nawawi menegaskan, orang yang selamat boleh bersyukur, namun hendaknya mengucapkannya dengan lirih agar tidak melukai perasaan para korban.

2. Syukur dan Optimisme: Melihat Cahaya di Tengah Ujian
Pelajaran kedua, syukur dan optimisme. Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah seorang mukmin terkena duri atau yang lebih menyakitkan darinya kecuali Allah mengangkatnya satu derajat dan menghapus satu kesalahan.” (HR Tirmidzi)
Bagi para korban, rasa syukur berarti menerima dan meyakini bahwa ujian ini menjadi jalan untuk menghapus dosa dan meningkatkan kualitas pribadi. Ibarat ujian akhir semester, bencana menjadi sarana naik kelas menuju derajat yang lebih mulia.
3. Ladang Amal: Menguatkan Solidaritas Pascabencana
Pelajaran ketiga, menjadikan bencana sebagai ladang amal ibadah. Kenaikan derajat hanya terwujud bila seseorang mampu melewati ujian dengan sabar, ikhtiar, tawakal, serta semakin mendekat kepada Allah SWT
Ungkapan Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji‘ūn mengingatkan kita pada asal-usul dan tujuan hidup. Semuanya kembali kepada Allah. Para korban akan meningkat kualitas pribadinya ketika mampu melewati ujian dengan benar.

Untuk yang tidak terdampak, bencana menjadi ujian kepedulian. Bantuan berupa tenaga, pikiran, harta, makanan, hingga doa adalah bentuk nyata solidaritas. Rasulullah SAW bersabda, “Allah akan menolong seorang hamba selama hamba tersebut menolong saudaranya.” (HR Muslim)
Pasalnya, bencana alam adalah fenomena alamiah yang tak dapat dihindari dan jangan sampai peristiwa itu melahirkan bencana baru (petaka, marabahaya) dalam kehidupan spiritual dan sosial kita, seperti menyalahkan, memperkeruh keadaan, hingga memupus (menipiskan) rasa empati, peduli antar sesama.
Semoga setiap bencana menjadi ibroh yang memperkuat kemanusiaan, memperdalam keimanan, dan membuat hidup lebih bermakna. (*)