Lontong Medan ka' Zahra di Jalan Dipatiukur, Kota Bandung, menggratiskan semua menu makanan untuk perantau asal Sumatera yang keluarganya terdampak banjir bandang dan longsor. (Sumber: AyoBandung.com | Foto: Gilang Fathu Romadhan)

Ayo Netizen

Derita, Citra, dan Cinta

Minggu 14 Des 2025, 10:49 WIB

Orang Indonesia itu memang unik dan aneh. Sekedar contoh. Narasi yang beredar antara pemerintah dengan para pesohor (influencer) soal donasi dan kepedulian atas banjir bandang, longsor di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat memperlihatkan betapa semrawutnya komunikasi bencana kita.

Data BNPB mencatat jumlah pengungsi kini mencapai 894.501 jiwa, sedangkan korban meninggal bertambah menjadi 969 orang, dengan 252 orang masih hilang (Kompas, 10 Desember 2025).

Evakuasi korban banjir di Aceh (Sumber: Instagram @puspentni | Foto: Istimewa)

Mohammad Isa Gautama, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Negeri Padang, melalui tulisannya “Darurat Komunikasi Krisis Banjir Sumatera”, menegaskan kondisi di lapangan yang akses terputus berhari-hari dan layanan dasar lumpuh ini seharusnya menjadi bingkai utama dalam setiap pernyataan pejabat publik. 

Dalam situasi seperti ini, setiap kata bukan lagi komentar lepas, pedas, ganas tetapi menjadi bagian dari cara negara menunjukkan kehadirannya. Tutur bahasa (laku lampah) pejabat bisa menjadi selimut yang menghangatkan, bukan menjadi pisau yang menambah luka, derita yang menganga. Standar moral dan kepekaan pejabat semestinya berada jauh di atas rata-rata warga. Pasalnya mereka memikul mandat melindungi nyawa dan martabat publik.

Permintaan maaf yang belakangan disampaikan di lokasi bencana patut dihargai sebagai koreksi, tetapi tetap belum menjawab mengapa sense of crisis bisa begitu tipis dari seorang pemimpin yang tugas utamanya melindungi rakyat dari ancaman bencana.

Dalam kajian komunikasi krisis, W. Timothy Coombs melalui Situational Crisis Communication Theory (2007) menekankan bahwa strategi komunikasi harus selaras dengan persepsi tanggung jawab yang dilekatkan publik terhadap lembaga. 

Semakin besar beban tanggung jawab, semakin kuat pula tuntutan terhadap empati, pengakuan penderitaan korban, dan kejelasan arah tindakan. Ketika pejabat justru meremehkan, menunda pengakuan, merelatifkan dampak bencana, publik membacanya bukan sebagai kesalahan kata, melainkan sebagai pengingkaran atas tanggung jawabnya. 

Pejabat kebencanaan memiliki akses informasi paling lengkap dan wewenang menggerakkan sumber daya. Karena itu, kepekaan moral mereka semestinya berlipat ganda (Kompas, 5 Desember 2025).

Komunikasi Empati untuk Meningkatkan Hubungan ala Paul Strobl. (Sumber: Pexels | Foto: Tima Miroshnichenko)

Gagal Mengembangkan Komunikasi Empati

Guru Besar Komunikasi Politik UIN Jakarta, Gun Gun Heryanto, menilai komunikasi pemerintah dalam bencana Sumatera menunjukkan kegagalan memahami suasana kebatinan warga dalam kondisi penuh ketidakpastian.

Parahnya, beberapa pernyataan pejabat, bahkan menuai kritik publik di tengah situasi tanggap darurat.

Gun Gun menegaskan bahwa gerakan kerelawanan justru harus didukung penuh. Tidak tepat membandingkan kemampuan pemerintah dan relawan, sebab pemerintah mengelola sumber daya publik yang bersumber dari pajak. Komunikasi yang empatik, menjadi unsur kunci dalam merawat kepercayaan publik, dan pengalaman krisis (Covid-19), bencana, tragedi kemanusiaan yang seharusnya sudah memberi banyak pelajaran (Gun Gun Heryanto, 2024:15).

Mitigasi di lokasi terdampak banjir bandang. (Sumber: Ayoindonesia.com | Foto: Ananda MF)

Peran Media dalam Komunikasi Bencana

Media memiliki peran penting dalam bencana alam. Melalui media informasi mengenai bencana alam dapat tersebar ke berbagai penjuru dunia. Informasi mengenai jenis bencana, informasi mengenai kapan terjadinya bencana, kabar mengenai lokasi bencana, dampak, dan kebutuhan korban bencana alam dapat terekam dan tersampaikan melalui pemberitaan.

Hal ini menjadi awal fase heroic, pemberitaan mendorong pihak-pihak yang selama ini bergerak di bidang kemanusiaan untuk segera bertindak, bahkan dapat menstimulasi orang-orang yang memiliki empati untuk memberikan bantuan yang dibutuhkan. Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi membuat informasi terkait bencana alam menjadi lebih cepat tersebar. Itulah salah satu keuntungan dari perkembangan masa terutama teknologi komunikasi.

Pemberitaan media yang dapat memberikan informasi dan pembelajaran bagi masarakat adalah pemberitaan yang berisi informasi yang akurat dan objektif. Beberapa media memberitakan secara akurat dan objektif jenis bencana, tingkat kerusakan, besarnya bencana, hingga kebutuhan yang diperlukan korban bencana alam. Informasi yang akurat dan objektif ini 6 sangat membantu para relawan, pihak- pihak yang terkait bencana, atau orang-orang yang hendak menyalurkan bantuan.

Relawan menjadi lebih tahu kondisi di tempat bencana sehingga mempersiapkan diri dan dapat memutuskan berangkat atau tidak sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Apakah terjadi kecocokan antara karakteristik korban bencana alam dan karakteristik diri, kondisi di lapangan apakah memungkinkan bagi relawan untuk membantu atau tidak, karena pada dasarnya relawan juga harus memperhatikan kondisi fisik, psikologis, dan sosialnya sendiri sebelum membantu orang lain.

Pihak penyalur bantuan akan memikirkan tentang bentuk bantuan yang akan dikumpulkan atau digalang, bagaimana bentuk penyalurannya, melalui jalur tertentu, serta bagaimana membawa ke lokasi perlu dipertimbangkan matang. Semuanya membutuhkan informasi secara akurat dan objektif dari media. (Ns. Maryana, 2023:119-120)

BNI menyalurkan bantuan tanggap darurat bagi korban banjir dan longsor di Sumbar dan Sumut serta terus memantau kebutuhan pemulihan masyarakat. (Sumber: ayobandung.com | Foto: Ananda Muhammad Firdaus)

Membangun Misi Kebencanaan

Di tengah meningkatnya frekuensi bencana di berbagai wilayah, komunitas perlu memiliki strategi terencana untuk memperkuat mitigasi dan respons. Salah satunya melalui pembentukan tim dakwah kebencanaan, bukan hanya sebagai penyebar pesan spiritual, justru pemberi dukungan moral, edukasi, dan pendampingan kepada para penyintas.

Perekrutan relawan merupakan langkah awal yang krusial dalam pembentukan tim dakwah kebencanaan. Ada beberapa langkah yang perlu dipertimbangkan dalam proses ini:

a. Sosialisasi dan edukasi: Melalui berbagai saluran komunikasi, baik itu media sosial, pengumuman di masjid, dan seminar, perlu disampaikan informasi tentang pentingnya tim dakwah kebencanaan dan apa saja yang akan dilakukan. Edukasi tentang peran dan tanggung jawab relawan sangat penting agar mereka memahami betapa signifikannya kontribusi mereka di tengah situasi bencana.

b. Kriteria seleksi: Bekerja sama dengan lembaga pemerintahan seperti Kementerian Agama atau lembaga swasta yang bergerak di pengkaderan dakwah, seleksi perlu dilakukan untuk memastikan bahwa relawan yang direkrut memiliki kualitas dan kemampuan yang diperlukan, penting untuk menetapkan kriteria seleksi. Beberapa kriteria yang dapat diterapkan antara lain adalah keterampilan komunikasi, pengalaman dalam relawan, pemahaman tentang materi dakwah, serta empati dan kepedulian terhadap sesama.

c. Fasilitas pendaftaran: Proses pendaftaran yang mudah dan terbuka dapat memperluas jangkauan relawan. Penyediaan formulir pendaftaran baik secara online maupun offline dapat memudahkan orang-orang yang ingin bergabung. Penggunaan platform digital juga memungkinkan pengumpulan data dengan cepat dan efisien.

Setelah proses perekrutan selesai, pelatihan menjadi langkah selanjutnya yang sangat penting. Pelatihan ini bertujuan untuk mempersiapkan relawan dalam menghadapi berbagai situasi yang mungkin terjadi di lapangan.

Berikut adalah komponen penting dalam pelatihan relawan:

a. Pendidikan kebencanaan: Relawan perlu memahami berbagai jenis bencana dan dampaknya terhadap masyarakat. Pelajaran tentang mitigasi risiko, cara tanggap darurat, serta aspek kesehatan dan keselamatan perlu disampaikan agar relawan sudah memiliki pengetahuan yang memadai sebelum terjun ke lapangan.

b. Keterampilan komunikasi dan empati: Dalam situasi bencana, kemampuan untuk berkomunikasi dengan baik dan membangun hubungan dengan korban sangat penting. Pelatihan harus mencakup teknik mendengarkan aktif, cara memberikan dukungan emosional, dan menyampaikan pesan spiritual untuk memberikan ketenangan.

c. Simulasi dan praktik lapangan: Agar relawan siap menghadapi kondisi nyata di lapangan, simulasi dan latihan praktis sangat dibutuhkan. Kegiatan ini bisa meliputi simulasi evakuasi, scenario role-play dalam berinteraksi dengan korban, dan penerapan teknik bantu diri serta pertolongan pertama.

d. Peningkatan keterampilan spiritual: Salah satu tujuan utama dakwah kebencanaan adalah memberikan dukungan spiritual kepada masyarakat yang terpuruk. Pelatihan materi dakwah yang mengangkat tema ketabahan, harapan, dan rasa syukur dapat diberikan untuk membantu relawan menjadi penyebar energi positif di tengah kesulitan.

Setelah menjalani pelatihan, relawan tim dakwah kebencanaan akan siap untuk turun ke lapangan. Mereka akan terlibat dalam berbagai kegiatan, mulai mitigasi bencana di lingkungan rumah atau lokasi dakwah, sosialisasi tentang pengurangan risiko bencana, sampai memberikan dukungan moral kepada korban, mengadakan pengajian dan doa bersama, hingga melakukan penggalangan dana untuk membantu pemulihan masyarakat. Melalui peran mereka, relawan tidak hanya menjadi penyebar pesan agama, tetapi menjadi agen perubahan yang menginspirasi ketahanan komunikasi pra, saat dan pasca bencana. (Permana Irmansyah, ‎Ahmad Fauzan Fadlan, 2024:50-51)

Jasa Marga Salurkan Bantuan Bagi Korban Banjir dan Longsor di Aceh, Sumbar hingga Sumut (Sumber: ayobandung.com | Foto: Gita Esa Hafitri)

Bagi M. Samson Fajar, Sekretaris BPH dan Dosen UM Metro ditegaskan musibah banjir yang melanda Sumatera kembali menggugah kesadaran kolektif kita tentang hubungan manusia dengan alam, dengan sesama, dan dengan Allah. Dalam pandangan profetik, setiap musibah bukan hanya peristiwa ekologis, tetapi menjadi pesan moral dan spiritual yang mengajak manusia untuk membaca realitas secara lebih dalam. Banjir bukan sekadar naiknya debit air. Ia adalah ayat kauniyah sebagai tanda yang mengandung hikmah, teguran, bahkan cinta-Nya.

Banjir bukan hanya tragedi, melainkan momentum kebangkitan. Momentum untuk memperbaiki diri, membenahi struktur, dan membangun relasi yang lebih beradab dengan alam. Bila pesan ini kita tangkap, maka musibah berubah menjadi titik awal peradaban yang lebih profetik, lebih manusiawi, lebih ekologis, dan lebih ilahi. (www.suaramuhammadiyah.id

Ingat, komunikasi profetik dalam konteks kebencanaan merupakan suatu pendekatan komunikasi yang berlandaskan nilai-nilai etis dan kemanusiaan yang bersumber dari prinsip-prinsip kenabian. Pendekatan ini tidak semata-mata berorientasi pada penyampaian informasi teknis terkait bencana, melainkan diarahkan sebagai ikhtiar kolektif untuk membangun kesadaran, memperkuat solidaritas sosial, menumbuhkan akhlak mulia dalam merespons situasi kebencanaan.

Dalam praktiknya, penderitaan korban bencana kerap berlangsung dalam jangka panjang dan membutuhkan dukungan kolektif yang berkelanjutan. Namun demikian, perhatian publik cenderung mengalami penurunan seiring bergantinya fokus media massa terhadap peristiwa-peristiwa lain yang dianggap lebih aktual.

Tentunya, di tengah dinamika itu, kontribusi masyarakat yang dilandasi oleh kepedulian dan cinta kemanusiaan yang sering kali dilakukan tanpa pengakuan, tanpa ekspos media, dan tanpa kepentingan pencitraan ini menjadi kekuatan fundamental dalam proses pemulihan sosial, budaya dan rekonstruksi pascabencana.

Hadirnya pengalaman kebencanaan di Aceh dan wilayah Sumatera menunjukkan betapa pentingnya nilai-nilai kemanusiaan yang bersumber dari solidaritas dan cinta antar sesama manusia (saudara) menjadi modal sosial yang paling bertahan. Sebaliknya, konstruksi citra yang dibangun melalui representasi media bersifat temporer dan cenderung memudar seiring berakhirnya perhatian publik. 

Ibarat silang pendapat dalam komunikasi kebencanaan sering kali berlangsung semrawut, layaknya kamera-kamera media yang perlahan memudar ketika lampu sorot dimatikan. (*)

Tags:
bencana alam komunikasi publik

Ibn Ghifarie

Reporter

Aris Abdulsalam

Editor