Di sebuah sudut kecil Kampung Gudang Sikat, RW 02, suara tek-tek-tek dari kayu yang dipotong terus terdengar dari halaman depan sebuah rumah sederhana. Di rumah itu, seorang lelaki berusia 59 tahun bernama Soleh, yang lebih akrab dipanggil Abah Alek, duduk setiap hari bekerja. Kadang ia memotong kayu di bagian depan rumah, kadang bergeser ke belakang untuk menjahit ijuk satu per satu.
Suara palu kecil dan bor kayu itu mungkin terdengar biasa bagi siapa pun, tetapi kini hanya sedikit sikat yang masih dibuat dengan tangan manusia. Sebagian besar sudah diambil alih oleh mesin pabrik. Di kampung yang dulu dikenal sebagai tempat para perajin, hanya satu dari sekian tangan yang masih bertahan: tangan Abah Alek.
Kampung Gudang Sikat tidak selalu identik dengan kerajinan sikat. Dahulu, kampung ini hanyalah hamparan kebun.
“Baheula mah kebon terong. Di kebon terong kabeh,” kenang Abah.
Penduduknya menanam terong, cabe, hingga leunca. Perlahan, beberapa warga mulai belajar membuat sikat dari keluarga atau tetangga. Abah termasuk generasi awal itu, belajar langsung dari kakaknya yang kini telah delapan tahun meninggal.
“Dari Kakak. Diterusin… Misah ka dieu,” katanya.
Rumah-rumah di RW 2, RW 5, dan RW 6 dulunya ramai dengan kegiatan memotong kayu, mengebor, dan menjahit ijuk. Tidak semua pengrajin, tapi cukup banyak hingga kampung mendapat julukan Gudang Sikat, bukan karena ada gudang, tetapi karena keterampilan ini sempat berkembang lebih pesat dibanding kampung lain.
Kini, hampir semua pengrajin menghilang. Sebagian beralih menjadi buruh pabrik, sebagian lagi membuat sapu, dan sisanya berhenti sama sekali. Yang tersisa hanyalah Abah.
Abah mulai membuat sikat sejak 1982, setelah menikah. “Setelah nikah bikin sikat,” tuturnya sambil tersenyum.
Bagi Abah, membuat sikat bukan sekadar pekerjaan. Dari memotong kayu, mengebor lubang, menjahit ijuk, memaku, hingga merapikan ujung-ujungnya, semuanya ia lakukan sendiri. “Dipotong… terus dibor… terus dijahit… dipaku… ditek-tek… kitu,” katanya.
Dari semua proses itu, yang paling berat adalah menjahit ijuk.
“Ngejahit mah lila… Abah sok seueun tonggong,” ujarnya sambil menepuk punggungnya. Dalam sehari, ia bisa membuat sekitar 20 sikat, bahkan 60 buah jika ukuran kecil. Pembelinya bergilir ke sekitar lima toko, sedangkan pekerjaan ia lakukan sendiri, hanya sesekali dibantu istrinya.
Perubahan Bahan Baku dan Masuknya Produk Pabrikan

Dulu, bahan baku lebih mudah didapat. Kayu bisa diambil dari hutan dalam bentuk gelondongan.
“Dulu mah beli ti leuweung… gelondongan… dipanggul ka dieu…” kenangnya, sambil menatap jauh ke masa lalu.
Ia bahkan masih mengingat medan berat antara Cikoneng–Cipulus saat harus memanggul kayu hingga dua meter.
Sekarang, semuanya lebih mudah: tinggal pesan, transfer, dan kayu datang ke rumah.
“Ayeuna mah gampang… tinggal transfer, kayu datang. Harga per kibik 2.200.000.”
Namun, bahan lain seperti ijuk justru semakin langka dan mahal.
“Injuk susah. Beli injuk susah.”
Di saat bersamaan, sikat pabrikan membanjiri pasar. Produk massal yang murah membuat banyak perajin lokal tidak mampu bersaing.
Tetapi Abah tetap bertahan dengan caranya sendiri.
“Henteu ngaruh. Masih aya wae pesenan.”
Bahkan ia pernah bekerja sama dengan pelanggan keturunan Tionghoa.
“Urang Cina mah duit heula… enakna kitu.”
Ketika ditanya soal regenerasi, Abah hanya menggeleng.
“Gamau. Anak saya opat… moal aya nu neruskeun…” Empat anaknya kini punya kehidupan masing-masing; dua sudah berumah tangga, dua lainnya bekerja di luar bidang kerajinan. Tak satu pun yang berminat melanjutkan pekerjaan yang telah digeluti Abah sejak 1982.
Menurutnya, generasi muda sekarang lebih memilih pekerjaan yang cepat menghasilkan dan tidak memerlukan ketelatenan tinggi seperti menjahit ijuk. Hal ini menjadi alasan mengapa banyak pengrajin di kampung berhenti: bahan sulit, modal mahal, dan teknik menjahit ijuk yang memerlukan kesabaran jarang diminati.
Kini, suasana kampung sunyi. Dulu hampir setiap rumah ramai dengan palu, bor, dan kayu berserakan. Hanya dari rumah Abah-lah suara itu kadang masih terdengar. Abah menjadi salah satu dari sedikit tangan yang masih setia membuat sikat secara tradisional.
Baca Juga: Wargi Bandung Sudah Tahu? Nomor Resmi Layanan Aduan 112
Ketika ditanya tentang harapan, Abah tidak berharap muluk.
“Gini wae… modelna gini wae.” Namun ia tetap ingin ada yang mau meneruskan kerajinan ini.
“Mudah-mudahan aya nu nuluykeun…”
Walau sederhana, pekerjaannya menyimpan jejak sejarah kampung. Suara kecil palu kayu yang memukul paku mungkin terdengar biasa, tapi bagi Abah, itu adalah tradisi yang masih hidup. Selama ia masih bisa bekerja, masih bisa “ngeroko jeung gawe,” suara tek-tek itu tidak akan padam.
Di tengah banjir produk pabrikan, Abah tetap duduk di rumahnya, membuat sikat dengan kedua tangan yang lelah tetapi terus bekerja. Ia menjadi salah satu dari sedikit tangan yang masih melanjutkan tradisi yang dulu membentuk identitas Kampung Gudang Sikat. (*)