Di sebuah ladang di desa Lebak Muncang Kampung Batu Lulumpang, Ciwidey. saya bertemu dengan Sriwijaya atau kerap dipanggil “Mang Yaya”, memulai harinya dengan menyingkap embun yang menempel di daun-daun robusta. Di tanah lembab yang dipupuk dari kotoran ayam dan kompos buatan sendiri, ia menyentuh satu persatu ranting robusta seolah menyapa kawan lama.
Sebelum akrab dengan aroma kopi, keseharian Yaya tak pernah jauh dari sayuran, memulai hidup bertani dengan menanam beragam cabai, buncis, kol dan wortel. Namun cuaca yang tidak stabil membuat panen sayuran sering gagal. Saat cuaca buruk hama menyerang tanaman yang lain hingga mengalami kerugian, dan harga pasar yang tidak pasti.
Setelah bertahun-tahun mengalami ketidakpastian, ia mulai mempertanyakan apakah sayuran benar-benar bisa jadi tumpuan jangka panjang.
“Kopi-kan bisa disebut pemain baru lah, panen nya jangka panjang ga kaya sayuran,” ucap Yaya dengan penuh keyakinan melihat adanya peluang dalam bisnisnya.
Harapan baru timbul, ia kembali menengok ke tanaman yang dulu tumbuh liar di sekitar desanya; Kopi Robusta. Awalnya, hanya beberapa pohon yang ia rawat sekadarnya. Namun setelah melihat bahwa robusta tidak perlu perawatan harian, ia mulai menanam lebih banyak.
Meski tanaman kopi membutuhkan waktu dua tahun sebelum panen pertama, bagi Yaya itu bukan suatu masalah. Ia justru merasa lebih tenang, karena kopi lebih tahan perubahan cuaca, tak mudah rusak oleh hujan. Serta tidak memerlukan biaya besar seperti menanam sayuran.
Bahkan ketika harga sayuran bisa berubah dalam semalam, kopi tetap memiliki pasar yang stabil. “Paling cocok di cuaca yang ga panas ga terlalu dingin, makanya tumbuh subur di tanah Ciwidey mah,” jelas Yaya.
Kopi kini menjadi fokus utama, pilihan yang membawanya pada perjalanan baru hingga robustanya diminati pasar luar negeri seperti India.
Baca Juga: Merawat Kampung Toleransi tanpa Basa-basi
Dari Desa, Untuk Dunia
Selama sebelas tahun terakhir, Yaya setia menapaki jalan yang sama setiap pagi, menyusuri ladang, memeriksa tanaman, dan merawat kopi yang kini menjadi bagian dari hidupnya. Apa yang dulu hanya percobaan kecil di sudut kebun, perlahan berubah menjadi perjalanan panjang penuh ketekunan, hingga akhirnya biji kopi dari tangannya mampu menembus pasar luar negeri.
Setiap musim panen tiba, Yaya tak pernah bekerja sendirian. Pembeli dari India datang langsung ke ladangnya untuk meninjau kualitas kopi robusta yang ia rawat sepanjang tahun. Mereka melihat proses pengeringan, memeriksa biji, hingga memastikan aroma dan kepadatan kopi sesuai standar yang mereka inginkan.
“Sekitar sepuluh orang lah ada, setiap musim panen dateng langsung kesini orang-orang India itu,” cerita Yaya. Baginya kehadiran mereka bukan hanya urusan bisnis, tetapi juga bentuk kepercayaan terhadap hasil kerja kerasnya selama bertahun-tahun.
Dalam satu musim terbaiknya, Yaya mampu menjual antara 10 hingga 14 ton kopi robusta dengan harga sekitar Rp15.000 per kilogram. Namun tidak semua musim selalu berpihak kepadanya. Ketika cuaca tak menentu dan bunga kopi banyak yang rontok, ia hanya bisa menghasilkan sekitar 8 ton. Meski begitu, Yaya tetap menjalani pekerjaannya dengan sabar karena baginya, setiap panen adalah rezeki yang harus disyukuri, seberapapun besar atau kecilnya.
Perjalanan Yaya membuktikan bahwa ketekunan mampu membawa kopi desa menembus pasar India. Meski hasil panen naik turun, ia tetap menjaga ladangnya dengan sabar. Dari tanah Ciwidey, Yaya menunjukkan bahwa kerja keras petani bisa mengantarkannya pergi jauh, melalui Kopi yang ia tanam. (*)