Mahasiswa Bandung menyoroti kondisi ruang publik kota yang dinilai timpang antara pusat dan pinggiran. Ruang publik yang sudah seharusnya inklusif, aman dan nyaman bagi warga muda belum sepenuhnya memenuhi kebutuhan mereka.
Di pusat Kota Bandung, banyak ruang publik yang memiliki fasilitas dan layanan yang baik. Karena ada jaringan transportasi umum yang cukup, wilayah ini dapat diakses dengan mudah. Ruang publik di pusat kota sering menjadi tempat mahasiswa berkumpul, berbicara, dan mengerjakan tugas.
Shaula Ajria, salah satu anggota aktif Organisasi Perhumas Muda Bandung, mengungkapkan kekecewaannya.
“Sebagai anak Organisasi yang sering belajar dan rapat di ruang publik, aku merasa fasilitas di pusat kota dan pinggiran itu jomplang banget, padahal kan seharusnya seluruh ruang publik dapat disamaratakan fasilitasnya,” ujarnya.
Aktivitas akademik dan sosial mahasiswa seharusnya didukung oleh suasana yang lebih tertata, bangku, dan area terbuka. Ruang publik di beberapa tempat sangat kurang fasilitas dan pemeliharaan dibandingkan dengan yang berada di pusat kota. Kondisi ini menunjukkan bahwa pemerintah masih kurang memperhatikan wilayah nonpusat.
Warga Bandung Raya dan mahasiswa serta mahasiswi merasa tidak memiliki hak yang sama untuk menikmati ruang publik yang baik karena ketertinggalan. Banyak trotoar di Bandung yang rusak atau tidak terawat, membuatnya sulit untuk diakses. Situasi ini membuat pejalan kaki, termasuk penyandang disabilitas, kesulitan. Mereka membutuhkan jalur yang rata dan aman untuk dapat digunakan.Keterbatasan ruang parkir di area publik adalah masalah lain. Seringkali, pengunjung harus berjalan jauh dari area parkir ke lokasi utama, yang membuatnya tidak nyaman, terutama di jam sibuk.
Masalah kebersihan, terutama di daerah di luar pusat kota, juga perlu ditangani dengan serius. Jumlah sampah yang meningkat selama akhir pekan menunjukkan bahwa pemerintah dan warga harus lebih menyadari dan mengelola sampah bersama.Di era digital ini, generasi muda sangat membutuhkan akses internet dan stop kontak. Namun, colokan listrik dan Wi-Fi gratis di Bandung saat ini masih sangat terbatas dan sering diperebutkan.
“Di beberapa taman dan alun‑alun pun seharusnya disediakan lebih banyak stop kontak, supaya mahasiswa yang belajar atau mengerjakan tugas tidak terus‑terusan berebut colokan,” ujar Shaula menambahkan.
Selain itu, fasilitas umum yang diperlukan untuk pendidikan dan pekerjaan masih kurang. Banyak kursi tidak memiliki meja yang layak. Akibatnya, beberapa mahasiswa kesulitan menggunakan laptop atau menata buku dengan nyaman. Sebagian besar tempat publik pun masih terdapat kekurangan di sisi pencahayaan pada malam hari. Kondisi ini membuat pengunjung tidak aman dan mengganggu kenyamanan belajar, terutama bagi warga muda perempuan.
Baca Juga: Alih Fungsi Tugu Simpang Diponegoro Citarum pada Malam Hari, Menyimpang atau Membantu UMKM?
Di sisi lain seorang mahasiswa yang menggunakan transportasi umum, menekankan pentingnya keamanan, terutama bagi perempuan.
“Penerangan jalan di sekitar ruang publik masih banyak yang redup, padahal kami sering pulang malam. Lampu yang terang dan CCTV bisa bikin perempuan merasa jauh lebih aman,” lanjut mahasiswi asal Bandung itu.
Mahasiswa dan mahasiswi berharap pemerintah dapat memperhatikan segala aspek dari ruang public di daerah Bandung. Tidak hanya dari sisi estetika saja tapi juga menyamaratakan dengan infrastruktur digital, fasilitas, dan keamanan pula.
Sehingga semua orang dapat menikmati tempat publik yang layak, aman dan nyaman. Karena mereka percaya bahwa ruang publik yang adil dan inklusif merupakan investasi penting dalam kualitas hidup dan kreativitas generasi muda Bandung. (*)