Illustrasi Peringatan Haul 16 GUS DUR. (Sinan)

Ayo Netizen

Warisan Humanis Gus Dur bagi Bangsa yang Majemuk

Rabu 24 Des 2025, 12:23 WIB

Perjalanan panjang bangsa yang penuh warna dan dinamika, nama Gus Dur selalu hadir seperti lentera yang menerangi ruang-ruang gelap kemanusiaan. Ia bukan hanya seorang pemimpin politik, tetapi seorang penjaga nurani bangsa yang mengajarkan bahwa kemanusiaan harus menjadi rumah pertama bagi setiap orang.

Di balik senyumnya yang sederhana, ada keyakinan kuat bahwa manusia, apa pun latar dan keyakinannya, berhak hidup dengan martabat yang sama. Maka dari itu, nilai kemanusiaan, toleransi, dan keberpihakan kepada rakyat kecil yang diperjuangkan Gus Dur tetap bergema kuat hingga hari ini, seakan-akan angin zaman pun tidak mampu mengikis maknanya.

Nilai kemanusiaan yang ditanamkan Gus Dur berakar pada pandangan bahwa setiap jiwa memancarkan cahaya Tuhan. Baginya, kemanusiaan bukan hanya slogan atau konsep abstrak yang sering digembar-gemborkan, tetapi napas kehidupan yang harus dirawat dan dijaga. Ia memandang manusia bukan dari identitasnya, tetapi dari hakikatnya sebagai makhluk yang memiliki hak untuk dihormati.

Gus Dur menolak segala bentuk perlakuan yang mengerdilkan harga diri seseorang. Ia menegaskan bahwa negara harus hadir bukan untuk mengistimewakan sebagian orang, tetapi untuk memastikan bahwa setiap warga, terutama mereka yang tersisih, dapat berdiri tegak dalam kehidupan. Nilai kemanusiaan yang ia junjung menjadi pengingat bahwa bangsa ini dibangun bukan di atas kekuatan, tetapi di atas penghargaan terhadap manusia.

Sementara itu, toleransi yang dijalankan Gus Dur bukanlah toleransi yang pasif yang hanya mengizinkan perbedaan tanpa benar-benar menerimanya. Ia mengajarkan toleransi yang aktif, yang mengharuskan kita membuka ruang dialog dan memeluk keberagaman sebagai anugerah. Dalam pandangan Gus Dur, perbedaan bukanlah celah yang memisahkan, melainkan jembatan yang menghubungkan satu sama lain. Ia sering menyampaikan bahwa Indonesia adalah rumah besar dengan banyak kamar, dan setiap kamar berhak mendapat ruang yang aman untuk berdiam.

Sikapnya yang membela kelompok minoritas menunjukkan bahwa toleransi tidak cukup hanya hidup dalam kata-kata; ia harus diwujudkan dalam tindakan nyata. Di tengah suara-suara yang kadang saling meninggikan diri, toleransi ala Gus Dur hadir seperti lagu lembut yang mengingatkan kita untuk saling mendengarkan.

Keberpihakan Gus Dur kepada rakyat kecil adalah salah satu warisan moral paling kuat yang ia tinggalkan. Baginya, keberpihakan bukan sekadar pilihan politik, tetapi panggilan hati. Ia percaya bahwa mereka yang paling lemah adalah mereka yang paling membutuhkan kehadiran negara.

Gus Dur menatap rakyat kecil bukan sebagai angka statistik, tetapi sebagai manusia yang membutuhkan dukungan untuk menjalani hidupnya. Ia memberi ruang bagi minoritas agama, memperhatikan mereka yang hidup dalam kemiskinan, dan melindungi kelompok yang sering dianggap tidak penting dalam percaturan kekuasaan. Sikapnya mengajarkan bahwa pemimpin sejati adalah ia yang tidak membiarkan siapa pun merasa sendirian dalam kesulitan.

Semua nilai tersebut tetap menemukan relevansi yang tajam dalam kehidupan Indonesia hari ini. Di tengah kesenjangan sosial, ketegangan antaridentitas, dan ketidakadilan yang masih terasa, ajaran Gus Dur menjadi cermin yang memantulkan apa yang seharusnya kita perjuangkan.

Ketika sebagian masyarakat masih menghadapi diskriminasi, nilai kemanusiaan ala Gus Dur mengingatkan bahwa setiap manusia layak diperlakukan setara. Ketika konflik atas nama perbedaan muncul di berbagai tempat, toleransi menjadi obat yang mampu menyembuhkan luka-luka sosial. Ketika rakyat kecil terhimpit oleh kerasnya kehidupan, keberpihakan Gus Dur menjadi panggilan untuk menghadirkan kebijakan yang benar-benar berpihak kepada mereka.

Warisan pemikiran Gus Dur juga mengajarkan bahwa menjaga keberagaman tidak cukup dengan hidup berdampingan tanpa bersinggungan. Keberagaman harus menjadi ruang pertemuan, tempat setiap orang merasa dihargai dan tidak dianggap sebagai ancaman. Ia menginspirasi kita untuk tidak hanya memahami perbedaan, tetapi merayakannya.

Ia menunjukkan bahwa bangsa yang besar bukanlah bangsa yang seragam, tetapi bangsa yang mampu mengelola keberagaman dengan hati yang lapang. Dalam dunia yang sering kali dipenuhi prasangka, cara pandang Gus Dur menjadi semacam oase yang menyejukkan batin.

Selain itu, keberpihakan kepada rakyat kecil kini semakin dibutuhkan di tengah derasnya arus modernisasi. Ketika pembangunan fisik tumbuh cepat, tidak semua orang menikmati hasilnya. Banyak yang masih berjuang sekadar untuk bertahan hidup. Dalam situasi ini, keberpihakan Gus Dur menjadi panggilan moral agar pembangunan tidak hanya mengutamakan angka dan struktur, tetapi juga manusia yang berada di balik itu semua. Spiritnya mengajak kita untuk melihat pembangunan sebagai upaya menegakkan keadilan, bukan sekadar mengejar kemajuan.

Pada akhirnya, nilai kemanusiaan, toleransi, dan keberpihakan yang diajarkan Gus Dur bukan hanya warisan masa lalu, tetapi cahaya yang terus menerangi perjalanan bangsa. Ia mengingatkan bahwa tugas kita bukan hanya membangun negeri, tetapi juga memanusiakan manusia.

Sikap-sikapnya menunjukkan bahwa meski dunia terus berubah, nilai-nilai dasar tentang cinta, penghormatan, dan keadilan tidak boleh ditinggalkan. Gus Dur telah menaburkan benih-benih kemanusiaan yang terus tumbuh dalam hati banyak orang. Tugas kita adalah merawatnya agar Indonesia tetap menjadi rumah damai bagi seluruh rakyatnya, terutama mereka yang paling membutuhkan. (*)

Tags:
Abdurrahman WahidGus Dur

Nandar Hernawan

Reporter

Aris Abdulsalam

Editor