Richard Rorty menolak hasrat epistemologis, keinginan obsesi manusia dalam kepastian dan soloidaritas daripada objektivitas. (Sumber:Dokumentasi Penulis)

Ayo Netizen

Menunda Kepastian, Merawat Percakapan ala Richard Rorty

Kamis 25 Des 2025, 20:41 WIB

Bulan lau, saya terjebak dalam perdebatan panjang di grup WhatsApp alumni kamar pondok hanya karena satu hal sepele: siapa yang harus jadi pemimpin ideal menurut agama dan budaya. Perdebatan ini memicu dialog siapa yang paling keras kepala dalam mempertahankan argumennya, tidak pada siapa yang paling logis atau paling agamis. 

Satu hal yang membuat saya gelisah bukan karena perbedaan argumen, tapi karena atmosfer saling menghakimi yang begitu tebal. Setiap orang ingin dianggap benar, bahkan atas dasar potongan-potongan narasi yang diklaim mutlak. 

Dari sana saya merenung, bagaimana sebenarnya kita bisa berbicara soal kebenaran dalam dunia yang terus berubah dan dipenuhi ragam perspektif? Apakah kebenaran itu satu dan objektif? Atau malah justru sesuatu yang lahir dari ruang sosial yang cair dan bisa dinegosiasikan?

Di sinilah pemikiran Richard Rorty perlahan-lahan memanggil saya untuk membedahnya. Richard Rorty hadir sebagai pembangkang yang tak segan menolak fondasi-fondasi besar para raksasa filsafat. 

Pertama dia mempertanyakan ambisi Descartes yang mengandalkan rasio dan kesadaran diri sebagai dasar mutlak pengetahuan biasa kita temui dengan Cogito ergo Sum.  Atau Kant yang membangun kerangka apriori akal bagaikan fondasi yang tidak bisa diganggu gugat. Rorty, tidak hanya diam disitu tetapi juga mengkritik Plato yang mengejar kebenaran ideal di dunia ide dan Heidegger yang mencari makna ontologis terdalam dari kebenaran.

Filsafat itu telah terlalu lama mencoba menjadi “cermin alam” (mirror of nature), yakni upaya menyusun sistem representasional yang menggambarkan realitas secara objektif—sebuah konstruksi sosial yang berpatron pada percakapan, konteks, dan kesepakatan bersama.

Akan tetapi, semua itu bagi Richar Rorty, adalah proyek yang telah usang. Bahasa bukanlah cermin yang memantulkan dunia, melainkan alat sosial fleksibel, berubah-ubah, dan digunakan untuk tujuan-tujuan praktis. Maka kebenaran pun bukan lagi sesuatu yang ditemukan, tetapi dibentuk dalam percakapan lahir dari kesepakatan dalam komunitas.

Dalam semangat inilah, Rorty menolak hasrat epistemologis, keinginan obsesi manusia dalam kepastian dan soloidaritas daripada objektivitas. Filsafat bukanlah, hakim agung yang dapat mengadili semua ilmu, tetapi bagian dari percakapan budaya yang lebih besar: terbuka, manusiawi, dan membumi.

Refleksi ini membuat saya dapat memandang ulang tentang bagaimana kita berinteraksi di era digital sekarang, di mana algoritme media sosial seolah-olah memperkuat gagasan bahwa opini kita adalah kebenaran tunggal yang patut dipertahankan mati-matian.

Rorty mungkin akan berkata bahwa obsesi kita terhadap kebenaran yang absolut telah menjadi beban warisan filsafat representasional, tradisi yang menganggap filsafat sebagai hakim tertinggi dalam menentukan mana yang benar dan salah, bukan memposisikan sebagai bagian dari obrolan sosial yang terbuka.

Dalam kehidupan sehari-hari, hal ini tampak dari cara kita berdebat soal politik, agama, atau bahkan selera budaya. Kita lebih sering ingin menang, bukan ingin memahami. Kita terjebak dalam apa yang oleh Rorty disebut sebagai hasrat “Hasrat epistemologis”, yaitu keinginan untuk memiliki dasar kokoh bagi segala keyakinan, seolah kita tidak bisa tenang hidup dalam ketidakpastian.

Padahal, hidup ini tidak pernah benar-benar bisa dipaku dalam satu sistem logika konsisten. Bahasa dan nilai selalu bergerak, dan Rorty dengan berani meminta kita menerima kontigensi itu sebagai bagian dari kemanusiaan kita. 

Yang menarik, Rorty tidak menawarkan nihilisme atau relativisme ekstrem. Ia justru mendorong kita untuk mengganti objektivitas dengan solidaritas, mengganti klaim kebenaran dengan  empati antara manusia. Di sinilah refleksi itu semakin dalam bagi saya.

Saat melihat orang-orang saling menyerang di kolom komentar media sosial, bukan karena fakta yang kuat tapi karena fanatisme simbolik, saya rasa Rorty hadir untuk menasihati: berhentilah mencari dasar mutlak, mulailah berdialog. Karena menurut Rorty, tugas kita bukan membenarkan sistem nilai kita keseuluruh dunia melainkan membangun percakapan yang memungkinkan kita untuk hidup bersama tanpa saling menyingkirkan.

Bahkan dalam pendidikan pun, refleksi Rorty terasa relevan. Ketika dosen atau guru memaksakan satu prespektif tunggal dan mematikan diskusi, saat itulah pendidikan kehilangan sisi pragmatisnya. Rorty akan menyarankan agar kita menjadikan pendidikan bukan sebagai tempat penanaman kebenaran, tetapi sebagai tempat memperluas imajinasi moral kita, tempat kita belajar mendengarkan narasi lain, dan membiasakan diri dengan ketidaknyamanan dalam berpikir.

Dunia yang dipenuhi krisis, dari krisis identitas, lingkungan sampai politik, menuntut cara berpikir baru yang tidak terjebak pada absolutisme lama. Kita butuh filsafat yang bukan menajwab pertanyaan, tetapi mengajukan pertanyaan baru dan membuka ruang refleksi. Rorty memberikan filsafat seperti itu.

Dalam bukunya yang berjudul “Contigency, Irony,and Solidarity”, ia mengajak kita menjadi ‘ironis’, yakni orang sadar bahwa keyakinannya sendiri terbentuk oleh sejarah dan bahasa tertentu, dan bisa saja tak berlaku bagi orang lain. Ini bukan sikap acuh, melainkan sikap rendah haru yang dalam: kesadaran bahwa kita bisa salah, dan orang lain pun mungkin mempunyai narasi yang lebih masuk akal.

Dalam dunia yang bising dan gaduh seperti hari ini, menjadi ironis ala Rorty justru adalah bentuk keberanian. Keberanian untuk menggurui, tapi juga tidak diam. Refleksi ini mungkin dapat memberikan jawaban final atas keresahan saya di grup WhatsApp pondok, atau dunia yang penuh konflik naratis, tapi setidaknya memberi cara baru untuk memahami: bahwa dalam dunia yang tak pasti, justru kepastian itu sendiri yang layak kita curigai.

Kita tak perlu berhenti berpikir atau berdebat, tapi kita perlu menggeser arah percakapan dari membenarkan diri menuju merawat pemahaman. Dalam semangat itu, saya kira Rorty tidak sedang membunuh filsafat, melainkan mengamankannya: dengan cara menjadikannya lebih menusiawi, lebih habblumminan nas, dan lebih siap menghadapi dunia yang terus berlangsung dan berubah. (*)

Tags:
Richard Rortyfilosofi hidup

MH. D. Hermanto

Reporter

Aris Abdulsalam

Editor