COC (Clash of Champions), merupakan sebuah gebrakan realitas pendidikan melalui sebuah permainan yang diproduksi oleh perusahaan rintisan Ruang Guru.
Pertama kali acara ini ditayangkan melalui layanan streaming pada 29 Juni 2024 dan sudah memasuki dua musim penayangan.
Acara ini mengundang perwakilan mahasiswa terbaik dari dalam maupun luar negeri. Semua berkumpul untuk berkompetisi siapa yang paling menonjol dari, siapa yang paling cerdas dari semuanya.
Bagi saya ini adalah acara yang positif bahkan seharusnya menjadi spotlight dalam kancah pertelevisian di Indonesia. Sejauh ini kita tahu bahwa dunia televisi di Indonesia seringkali mengangkat tema atau kejadian yang kurang penting untuk ditayangkan. Seperti seseorang yang viral karena bersikap absurd, perselingkuhan, percintaan para artis atau banyak hal tidak penting lainnya.
Seharusnya acara COC ini bisa menjadi pemantik api semangat bagi generasi muda dalam semangat belajar. Acara seperti ini seharusnya bisa memacu rasa curiosity bagi generasi Indonesia.
Bagaimana mereka bisa secerdas itu ? Bagaimana cara belajar mereka dan bagaimana lainnya yang secara tidak langsung membuat otak bekerja untuk menemukan sebuah ide yang selanjutnya akan berdampak pada solusi dari realitas yang ada.
Namun sangat disayangkan ketika kemunculan musim kedua ini banyak netizen yang melakukan cyber bullying kepada salah satu peserta bernama Zahran. Saat itu rasanya netizen tidak peduli dengan latar belakang Zahran yang luar biasa dimimpikan setiap generasi.
Zahran merupakan mahasiswa ITB, sebuah kampus yang di kenal di seluruh indonesia, kampus yang selalu diidamkan semua calon mahasiswa.
Zahran juga merupakan salah satu mahasiswa yang menorehkan prestasi di kancah internasional. Bahkan mahasiswa dengan Jurusan Teknik Dirgantara ini memiliki IPK yang nyaris sempurna bagi ukuran mahasiswa ITB yaitu 3.94.

Banyak netizen yang menghina fisik dan mengatakan bahwa nilai akademisnya tidak setara dengan penampilan fisiknya. Gila sih menurut saya, sejak kapan fisik menjadi tolak ukur kecerdasan seseorang.
Padahal kecerdasan adalah bukti nyata bagaimana seseorang memperjuangkan ilmu pengetahuan, kecerdasan juga merepresentasikan betapa seseorang tersebut memiliki keinginan yang kuat dalam belajar atau seseorang itu memiliki rasa ingin tau yang tinggi.
Menjadi miris ketika tujuan Indonesia Emas yang selalu digadang-gadangkan akan hadir di masa depan, justru tidak selaras dengan fakta masyarakatnya itu sendiri. Bukankah isi otak akan lebih berkontribusi untuk kemajuan suatu negara dibandingkan penampilan fisik semata.
Bukankah seharusnya manusia berpikir bahwa fisik itu adalah ciptaan Tuhan. Bagaimana pun rupanya itu sudah menjadi hak prerogatif Tuhan yang tidak bisa diganggu gugat oleh siapapun.
Fisik bisa berubah, ia akan bermetamorfosis tergerus oleh waktu. Wajah bisa menjadi keriput karena usia yang terus bertambah. Fisik bisa rubah jika mengalami kecelakaan atau penyiraman air keras. Fisik bukan sesuatu yang bisa abadi dalam diri seseorang.
Tapi bandingkan isi otak justru lebih menjanjikan untuk masa yang akan mendatang. Ia tak lekang oleh waktu. Akan semakin matang dan bijak ketika bertambah usia. Isi otak bisa menjadi penggagas lahirnya sebuah ide yang bisa menyelesaikan masalah-masalah kehidupan.
Jadi apakah fisik amat lebih penting dibandingkan dengan isi otak? Seperti iya, bagi sebagian masyarakat Indonesia. Hal ini terbukti dari tindakan sebagian netizen yang melakukan cyber bullying pada kasus di atas.
Bahkan menurut saya, sebagian masyarakat yang berlaku demikian adalah bagian dari mereka yang memiliki crab mentality. Suatu sikap yang tidak senang ketika melihat orang lain lebih pintar, lebih berprestasi, lebih bersinar dan lebih segalanya dalam berbagai aspek kehidupan. (*)