Warganet rasanya dibuat bingung sekaligus geli saat Polda Yogyakarta pekan (31/7/2025) lalu mengumumkan keberhasilan mengungkap penipuan terhadap sistem judi online.
Lucunya, yang ditangkap justru sekelompok orang yang menipu situs judi online dengan membuat akun palsu terus-menerus.
Pertanyaan pun muncul, siapa sebenarnya yang melapor ke polisi? Jika pelapornya adalah bandar judi, maka ini jadi ironi besar. Di negeri yang masih berkutat memberantas judi online, polisi malah melindungi sistemnya dari penipuan.
Fenomena ini membuka diskusi lebih luas tentang relasi antara aparat penegak hukum, ekspektasi publik, dan komunikasi institusional Polri. Meski Divisi Humas Polri sudah eksis sejak 1951, narasi publik yang terbentuk di era digital sering kali tidak sejalan dengan pesan resmi institusi.
Ada dua tantangan besar yang perlu dicatat. Pertama, masih ada jurang antara pesan yang dikomunikasikan dan persepsi publik yang dibentuk oleh pengalaman sehari-hari serta viralitas di media sosial. Kedua, satu video pendek atau peristiwa kecil bisa merontokkan reputasi institusi yang sudah dibangun dengan susah payah.
Di era post truth, Polri menghadapi tekanan tinggi dalam mengelola persepsi. Fakta tidak selalu menjadi panglima. Emosi dan narasi viral lebih cepat membentuk opini publik. Dalam kondisi ini, keberhasilan Polri tidak selalu menempel di benak publik, sebaliknya, kegagalan sekecil apa pun bisa menjadi bola salju yang menggulung kepercayaan.
Polri belum sepenuhnya berhasil menguasai ekosistem komunikasi publik. Kemitraan dengan media massa belum menyentuh sisi strategis, dan platform digital baru belum dioptimalkan sebagai kanal edukasi publik. Bahkan data analitik untuk memantau dan merespons opini belum digunakan maksimal. Akibatnya, banyak reaksi Polri terhadap isu publik terasa telat dan defensif.

Di sisi internal, tantangan lebih kompleks. Struktur organisasi yang besar dan tersebar di seluruh Indonesia menyebabkan tidak semua satuan memiliki kemampuan komunikasi digital yang mumpuni.
Banyak bagian Humas di tingkat daerah belum familiar dengan narasi digital, teknik jurnalistik, atau pemahaman atas lanskap media sosial. Akibatnya, pesan bisa tak seragam, menimbulkan kebingungan, bahkan kontradiksi.
Lalu bagaimana solusi ke depan? Pertama, Polri perlu mengembangkan pendekatan komunikasi berbasis empati dan data. Konten yang menyentuh sisi emosional publik perlu dikembangkan secara konsisten, tidak hanya dalam bentuk siaran pers, tetapi juga cerita humanis di media sosial, serial dokumenter, atau kolaborasi kreatif dengan konten kreator.
Kedua, pemantauan percakapan digital secara real time harus jadi standar. Dengan alat bantu yang ada, Polri bisa mendeteksi lebih cepat persepsi negatif dan menyiapkan narasi tandingan sebelum krisis reputasi berkembang.
Ketiga, perlu ada pelatihan komunikasi publik berkelanjutan di seluruh tingkatan Polri. Kompetensi komunikasi bukan hanya soal teknik menyampaikan informasi, tetapi juga memahami konteks, mendengarkan masyarakat, dan membangun relasi timbal balik.
Belajar dari Selandia Baru saat pandemi, pemerintah mampu mengoordinasikan satu narasi publik yang empatik dan konsisten dari pusat hingga daerah. Semua menggunakan bahasa yang sama, satu gaya komunikasi, dan juru bicara terpadu. Ini jadi pelajaran penting untuk institusi sebesar Polri yang ingin membangun kepercayaan dalam jangka panjang.
Lebih jauh, komunikasi publik Polri tidak bisa lagi berjalan satu arah. Umpan balik dari masyarakat harus difasilitasi dan digunakan untuk evaluasi kebijakan. Bukan sekadar laporan kegiatan, tetapi mekanisme mendengar yang aktif dan solutif.
Dan tentu, semua ini tidak bisa berjalan tanpa dukungan penuh dari pimpinan tertinggi Polri. Komitmen harus nyata dalam bentuk anggaran, indikator kinerja, serta keberanian untuk keluar dari rutinitas. Tanpa itu, semua strategi hanya akan jadi slogan yang kalah oleh satu unggahan viral.
Kasus Yogyakarta semestinya jadi cermin bahwa tantangan utama Polri hari ini bukan hanya menegakkan hukum, tetapi bagaimana menjaga legitimasi moral dan komunikasi di mata publik. Jangan sampai ke depan, publik lebih percaya kicauan netizen ketimbang press release dari institusi. (*)