AYOBANDUNG.ID -- Di lereng Kawah Putih yang dingin dan berkabut, suara mesin ontang-anting milik Rohmat menyapa pagi dengan harapan. Setiap deru kendaraan itu bukan sekadar transportasi wisata, melainkan doa yang mengalir pelan menuju dapur rumahnya di Desa Sukaresmi, Kecamatan Rancabali, Kabupaten Bandung.
Musim hujan datang seperti tamu tak diundang. Langit kelabu menggantung di atas Kawah Putih yang terletak di kaki Gunung Patuha, membuat wisatawan enggan beranjak. Namun Rohmat tetap berangkat pukul enam pagi, menanti giliran di antara 87 sopir lain. Ia tahu, rezeki tak selalu datang cepat, tapi tak pernah berhenti ia jemput.
“Berangkat dari rumah jam 6 pagi terus nunggu pengunjung aja. Kadang gak narik seharian, kalau ada rezeki ya narik,” ujarnya saat berbincang dengan Ayobandung.
Kawah Putih bukan sekadar destinasi wisata. Bagi Rohmat, tempat ini adalah nadi ekonomi, tempat ia menggantungkan hidup sebagai sopir ontang-anting selama lebih dari sepuluh tahun. Ketika kabut menutupi kawah, harapan pun ikut mengabur.
“Saya sudah menjadi supir angkutan wisata Kawah Putih ini sudah lebih dari 10 tahun. Dulu pas Kawah Putih ditutup kerjaan sempat gak ada, jadi cuman ngandelin seadanya di rumah, kerja apa aja, buburuh di kebun, serabutan,” kenangnya.
Musim hujan memang menyulitkan, tapi pandemi adalah luka terdalam. Kala itu, Rohmat tak mengangkut penumpang berhari-hari. Ia hanya bisa menatap mobilnya yang terparkir, berharap ada satu keluarga yang datang berlibur.
“Zaman covid mah pernah jadi Rp20.000 buat 1 rit, sampai segitunya, itu teh 2 hari baru narik. Tapi daripada gak kerja, kalau yang penghasilan besar gak ada, ya yang kecil juga diambil daripada sia-sia,” katanya.

Kini, saat hujan mengguyur hampir setiap hari, Rohmat tetap bersyukur. Selain itu, dirinya juga masih bisa mengandalkan mobil carry tua hasil kreditan untuk disewakan saat hajatan. “Alhamdulillah dimanfaatinlah walau ongkos kecil juga,” ujarnya.
Di tengah ketidakpastian penghasilan, Rohmat tetap menjaga semangat. Dia tahu, libur berarti tak ada uang. Maka ia memilih tetap bekerja, meski kadang pulang tanpa membawa apa-apa. Ia tak punya pilihan lain, selain terus berikhtiar demi anak dan istri. “Kalau libur ya gak ada uang. Jadi tetap kerja aja meski hujan,” katanya.
Menurut data dari Disparbud Jabar, kunjungan wisata ke Kawah Putih memang fluktuatif. Cuaca menjadi penentu utama. Ketika cerah, pengunjung bisa membludak. Tapi saat hujan, kawasan itu sepi, hanya menyisakan suara angin dan langkah para sopir yang menanti.
“Kalau lagi normal agak lumayan satu rit Rp80.000. Jadi 2 x Rp80.000 jadi Rp160.000 sehari,” kata Rohmat.
Rohmat adalah potret dari ribuan pekerja informal di sektor pariwisata yang hidupnya bergantung pada cuaca dan jumlah kunjungan. Dia bukan hanya sopir, tapi juga ayah, suami, dan pejuang yang tak pernah menyerah.
Kini, meski langit masih sering muram, semangat Rohmat tak pernah surut. Dia tetap percaya bahwa setiap hujan akan reda, dan setiap kabut akan tersibak oleh cahaya harapan.
“Selama masih sehat mah saya masih akan menggantungkan hidup sebagai sopir, ya demi menghidupi keluarga saya,” ujarnya.
Alternatif produk untuk rekreasi wisata alam di musim hujan:
