AYOBANDUNG.ID -- Kota Bandung dikenal sebagai pusat kreativitas, pendidikan, dan gaya hidup urban di Jawa Barat. Namun, di balik citra modern dan capaian pembangunan manusia yang tinggi, kota ini masih bergulat dengan persoalan klasik yakni pengangguran. Data terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan paradoks yang menarik di mana Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Bandung berada di kategori “sangat tinggi”, tetapi Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) tetap signifikan.
Pada Agustus 2025, IPM Jawa Barat mencapai 75,90, naik 0,98 poin dibandingkan tahun sebelumnya. Kota Bandung bahkan mencatat IPM tertinggi di provinsi ini dengan nilai 84,66. Angka tersebut menegaskan bahwa kualitas hidup masyarakat Bandung, dari sisi pendidikan, kesehatan, hingga standar hidup, berada di atas rata-rata.
Namun, capaian tersebut tidak berbanding lurus dengan kondisi ketenagakerjaan. TPT Jawa Barat naik menjadi 6,77 persen atau sekitar 1,78 juta orang. Di wilayah perkotaan, termasuk Bandung, angka pengangguran lebih tinggi, mencapai 7,19 persen, dibandingkan perdesaan yang hanya 4,92 persen.
Fenomena ini menunjukkan bahwa pembangunan manusia tidak otomatis menjamin tersedianya lapangan kerja. Banyak lulusan perguruan tinggi dan sekolah kejuruan di Jawa Barat termasuk Bandung yang kesulitan masuk ke dunia kerja. Urbanisasi dan masuknya angkatan kerja baru setiap tahun semakin memperbesar tekanan terhadap pasar tenaga kerja.
Dari sisi pendidikan, lulusan SMK menjadi kelompok dengan tingkat pengangguran tertinggi, yakni 12,81 persen. Angka ini terus meningkat dari tahun ke tahun. Kondisi ini memperlihatkan adanya mismatch antara kompetensi lulusan dengan kebutuhan industri. Bandung yang memiliki banyak sekolah kejuruan belum sepenuhnya mampu menghubungkan kurikulum dengan kebutuhan dunia usaha.
Ironisnya, meski IPM menunjukkan peningkatan rata-rata lama sekolah (RLS) hingga 9,14 tahun dan harapan lama sekolah (HLS) mencapai 13,02 tahun, lulusan tetap menghadapi kesulitan dalam mencari pekerjaan. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar, apakah pendidikan di Jawa Barat termasuk Bandung sudah relevan dengan kebutuhan pasar kerja yang semakin kompleks?
Dari sisi lapangan usaha, sektor perdagangan masih menjadi penopang utama dengan kontribusi 22,69 persen, diikuti industri pengolahan sebesar 18,73 persen, dan pertanian 15,24 persen. Bandung sebagai kota jasa dan perdagangan jelas tercermin dalam data ini. Namun, dominasi sektor informal membuat banyak pekerja tidak memiliki jaminan sosial maupun kepastian pendapatan.
Plt. Kepala BPS Jawa Barat, Darwis Sitorus, menegaskan tren pekerja informal terus meningkat. Kondisi ini sejalan dengan fenomena di Bandung, di mana banyak anak muda memilih jalur usaha mandiri, startup, atau pekerjaan kreatif.
“Proporsi penduduk bekerja pada kegiatan informal mengalami kenaikan selama Agustus 2024 hingga Agustus 2025 didorong oleh bertambahnya pekerja dengan status berusaha sendiri,” jelasnya.
Meski terlihat dinamis, sektor informal menyimpan kerentanan. Pekerja mandiri dan freelance di Bandung sering kali menghadapi ketidakpastian pendapatan, minim akses BPJS, dan rentan terhadap fluktuasi pasar. Hal ini memperlihatkan bahwa tingginya IPM tidak serta-merta menjamin perlindungan sosial bagi tenaga kerja.
Urbanisasi juga memperburuk situasi. Bandung menjadi magnet bagi pendatang dari berbagai daerah, terutama generasi muda yang mencari peluang kerja. Namun, tidak semua terserap ke sektor formal. Akibatnya, persaingan kerja semakin ketat, sementara lapangan kerja formal tidak bertambah signifikan.
Dari sisi gender, kesenjangan partisipasi masih mencolok. TPAK laki-laki mencapai 84,41 persen, sementara perempuan hanya 49,27 persen. Penurunan partisipasi perempuan lebih cepat dibandingkan laki-laki. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan di Bandung masih menghadapi hambatan struktural dalam mengakses dunia kerja.
Kondisi ini menimbulkan dampak sosial yang nyata. Banyak perempuan memilih bekerja di sektor informal atau UMKM karena fleksibilitas, tetapi tetap tanpa jaminan sosial. Di sisi lain, anak muda lulusan perguruan tinggi menghadapi dilema antara bekerja di sektor kreatif yang penuh risiko atau menunggu kesempatan di sektor formal yang terbatas.
Paradoks ini semakin jelas ketika melihat standar hidup. Pengeluaran riil per kapita per tahun di Jawa Barat mencapai Rp12,447,000, naik 2,39 persen dibandingkan 2024. Namun, pertumbuhan ini masih lebih rendah dibandingkan rata-rata periode 2020–2024. Di Bandung, biaya hidup tinggi membuat banyak pekerja urban tetap merasa tertekan meski IPM menunjukkan peningkatan.
Dengan IPM tinggi, masyarakat Bandung dinilai memiliki akses lebih baik terhadap pendidikan dan kesehatan. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa kualitas hidup tidak selalu sejalan dengan kualitas pekerjaan. Banyak lulusan berpendidikan tinggi yang akhirnya bekerja di sektor informal atau pekerjaan yang tidak sesuai kompetensi.
Fenomena ini memperlihatkan bahwa pembangunan manusia di Bandung masih parsial. Pendidikan dan kesehatan memang membaik, tetapi belum terintegrasi dengan strategi ketenagakerjaan. Tanpa link and match antara pendidikan dan industri, angka pengangguran akan tetap tinggi meski IPM terus naik.
Bandung sebagai kota kreatif dinilai membutuhkan kebijakan yang lebih serius dalam menghubungkan pendidikan, keterampilan, dan peluang kerja. Jika tidak, kota ini akan terus menghadapi paradoks, yakni masyarakat berpendidikan tinggi, tetapi tetap rentan terhadap pengangguran dan pekerjaan informal.
“Jika kita lihat IPM tertinggi ada di Kota Bandung dengan nilai 84,66 dan terendah di Kabupaten Cianjur dengan nilai 69,84. Ada 4 Kota yang berada pada status ‘sangat tinggi’ dan 22 kabupaten/kota berada pada status ‘tinggi’. Sedangkan saat ini Cianjur menjadi satu-satunya daerah yang masih berstatus ‘sedang’ dalam klasifikasi IPM,” pungkas Darwis.
Alternatif pembelian produk fashion formal atau serupa:
