AYOBANDUNG.ID -- Mempelajari sejarah tak harus terpaku pada buku, arsip, atau jurnal akademik. Di Bandung, ada cara lain yang lebih hidup dan menggugah salah satunya melalui reka ulang peristiwa sejarah yang dilakukan oleh Komunitas Historia van Bandung (HvB). Komunitas ini menjadikan tubuh, kostum, dan aksi teatrikal sebagai medium untuk menghidupkan kembali masa perjuangan Indonesia.
Komunitas HvB berdiri pada akhir 2012, digagas oleh sekelompok orang yang memiliki kecintaan mendalam terhadap sejarah perjuangan. Mereka bukan sekadar pembaca sejarah, tetapi pelaku yang rela menyusuri jejak masa lalu dengan semangat yang tak biasa.
“HvB itu komunitas pereka ulang sejarah. Mereka melakukan reka ulang dalam kegiatan sebuah momen bersejarah, dilengkapi dengan menggunakan pakaian ataupun perlengkapan yang dahulu dipakai dalam masa perjuangan kemerdekaan,” ujar Ganda Permana Kusuma, Ketua Komunitas Historia van Bandung saat ditemui Ayobandung.
Ganda menyebut HvB sebagai tempat berkumpulnya para pecinta sejarah perjuangan di Bandung Raya. Mereka menyebut diri sebagai ‘orang-orang gila sejarah’ yang tak malu mengenakan seragam zaman kolonial di ruang publik.
“Kebetulan kami-kami ini, mohon maaf, ‘gila’ terhadap sejarah sehingga mun ceuk orang Sunda mah sampai ‘pegat urat ka era’,” katanya.
Reka ulang yang dilakukan HvB bukan sekadar pertunjukan. Mereka melakukan riset mendalam tentang pakaian, senjata, dan atribut yang digunakan pada masa perjuangan. Ganda sendiri mengenakan seragam KNIL dari Batalyon Andjing NICA, kesatuan militer Hindia Belanda yang dikenal brutal pada masa revolusi 1945–1950.
“Kita juga mencari informasi bagaimana sih baju-baju pada zaman saat itu,” jelasnya.
Anggota HvB berasal dari berbagai latar belakang, mulai dari karyawan swasta, ibu rumah tangga, mahasiswa, hingga pelajar. Setiap akhir pekan, mereka berkumpul untuk berdiskusi, menjelajah situs sejarah, atau mendatangi saksi hidup perjuangan. Salah satunya, kegiatan seperti kunjungan ke Museum Mandala Wangsit Siliwangi menjadi rutinitas yang memperkuat ikatan komunitas sekaligus memperkaya pengetahuan sejarah.
Dalam momen-momen penting, HvB melakukan reka ulang di lokasi asli peristiwa sejarah. Mereka menciptakan suasana perjuangan melalui aksi teatrikal yang menggugah emosi penonton.
“Reka ulang ini untuk lebih memperkenalkan kepada publik Kota Bandung, maupun publik kota-kota lainnya bagaimana suasana atau atmosfer perjuangan kemerdekaan pada saat itu,” kata Ganda.
Namun, di balik semangat pelestarian sejarah, HvB juga menghadapi tantangan eksistensial. Salah satunya adalah pendanaan dan keberlanjutan kegiatan. Properti yang mereka gunakan tidak murah, dan belum semua pihak memahami nilai edukatif dari kegiatan ini. Di sinilah potensi ekonomi kreatif bisa menjadi solusi.
Menurut data resmi dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), subsektor seni pertunjukan dan sejarah menyumbang Rp25,3 triliun terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional pada tahun 2024. Sektor ini juga menyerap lebih dari 1,2 juta tenaga kerja, menunjukkan bahwa kegiatan seperti yang dilakukan HvB memiliki potensi ekonomi yang signifikan.
Badan Pusat Statistik (BPS) juga mencatat bahwa wisata berbasis sejarah dan budaya mengalami peningkatan kunjungan sebesar 18,7% pada tahun 2024 dibanding tahun sebelumnya. Ini membuka peluang bagi HvB untuk mengemas kegiatan mereka sebagai produk wisata edukatif, pertunjukan tematik, atau konten digital yang menarik.
Kolaborasi dengan pemerintah daerah, museum, dan pelaku industri kreatif dapat memperluas jangkauan HvB. Tantangannya adalah menjaga otentisitas tanpa terjebak komersialisasi yang merusak nilai sejarah. Di mata masyarakat, HvB pun mendapat tempat sebagai komunitas edukatif yang menyenangkan. Anak-anak sekolah, mahasiswa, bahkan wisatawan mulai tertarik mengikuti kegiatan mereka.
Ganda menegaskan bahwa tujuan utama HvB bukan bisnis, melainkan edukasi dan pelestarian. “Dari kegilaan ini juga muncul hobi-hobi kami yang seperti ini, berjelajah menyusuri bukti-bukti sejarah,” ujarnya.
Alternatif produk kebutuhan baju karnaval sejarah:
