AYOBANDUNG.ID - Di tengah derasnya arus media sosial yang menjanjikan pengakuan, banyak perempuan justru memilih diam. Akun kosong, unggahan minim, hingga rasa ragu untuk menampilkan diri menjadi potret kegelisahan generasi muda hari ini—takut dihakimi, takut tak cukup “sempurna”, dan lelah membandingkan diri dengan standar sosial yang terus bergerak.
Hal tersebut mengemuka dalam Meet Up Komunitas Kutub Sisters pada Minggu, (21/12). Diskusi yang mengusung tema “Grow Together, Shine Together” tersebut digelar oleh Kutubdotco di Palary Coffee & Eatery.
Pemimpin Redaksi Kutubdotco, Puput Siti Latifah, mengatakan acara tersebut digelar untuk memperkenalkan ruang aman bagi para perempuan untuk saling berbagi cerita dan pengalaman yang disebut Kutub Sisters.
“Kutubdotco akan memasuki tahun kelima, dan bertepatan dengan itu, kami akhirnya bisa mengadakan acara pertemuan bersama anggota komunitas Kutub Sisters demi membuka ruang aman bagi para perempuan muda untuk berekspresi,” ujarnya.
Dia menambahkan tema Meet Up Sisters kali ini berkenaan dengan Sisterhood, Self Growth, dan peran perempuan untuk saling mendukung dan tumbuh bersama. Melalui diskusi ini, para peserta diharapkan dapat membentuk jati diri perempuan yang lebih percaya diri serta memiliki self-awareness yang tinggi.
Keseruan acara kemudian semakin terasa ketika perwakilan Direktur Media Center PWNU Jabar, yakni Iip Yahya, memantik sebuah pertanyaan kepada audiens yang mayoritas merupakan generasi Z.
Ia mengemukakan rasa herannya secara gamblang yang akhirnya mengantarkan acara ini pada topik inti seminar.
“Saya juga punya anak perempuan yang tentunya dia aktif di media sosial. Namun, saya heran karena akun IG-nya kosong, tidak ada foto apa pun. Saya rasa, hal ini merupakan fenomena yang menjamur di kalangan anak-anak Gen-Z saat ini. Yang kemudian nantinya akan terjawab melalui kedua pembicara yang hadir pada agenda hari ini,” ujarnya sambil tertawa, menandai adanya perbedaan pola pikir antargenerasi yang cukup mencolok.
Pertanyaan mendasar itu kemudian terjawab oleh dua narasumber ahli yang datang dari latar belakang berbeda.
Defira Novianti Crisandy selaku perwakilan dari Program & Community Manager ICT Watch RTIK Jabar memfokuskan pembahasan pada internet sehat sekaligus edukasi literasi digital.
Defira menjelaskan bahwa media sosial hadir sebagai wadah untuk menunjukkan pencapaian diri masing-masing individu di dunia digital saat ini. Namun, di saat yang sama, media sosial juga menjadi ruang paling “rentan” bagi kaum hawa untuk mendapatkan diskriminasi yang berujung pada penghakiman terhadap personal branding yang dibangun tiap akun.
Pernyataan Defira kemudian diperkuat oleh Tiara Kharisma Komala Farma, perwakilan dari Professional Psychology Student selaku pembicara kedua.
“Ada fenomena psikologi di dunia maya, yakni ketika orang-orang menggunakan identitas anonim, terdapat indikasi untuk mudah menghakimi, karena kemungkinan ketahuan oleh orang yang ia hakimi langsung (korbannya mayoritas public figure), hate speech itu cenderung diabaikan,” lanjut Tiara sebagai respons atas paparan sebelumnya.
Unsur lain yang dinilai lebih berdampak dan kerap membuat seseorang menyerah untuk aktif di akun utama media sosial—terutama Instagram—adalah rasa takut terhadap pakem dan standar sosial yang berkembang di masyarakat.
“Ada beberapa perempuan yang dirasa menganggap kemampuan dan personal branding dirinya masih jauh dari kata ‘sempurna’ jika ujungnya dikomparasi dengan pencapaian beberapa teman di sekitarnya, terutama ketika melihat kehidupan teman seangkatan sekolah atau teman kerja yang kariernya sudah sukses terlebih dahulu daripada dirinya sendiri,” ujar Defira menambahkan.
Ketika seseorang mulai merasa gagal melalui kacamata hidup orang lain, di situlah peran women support women menjadi sangat penting.
Langkah kecil yang progresif untuk menentukan arah kehidupan yang lebih sehat dapat dimulai dengan memilih lingkungan pertemanan yang mendukung, mau mendengarkan, dan tidak saling menyalahkan—baik saat berada di titik terendah maupun ketika merayakan pencapaian.
Defira berulang kali menegaskan bahwa lingkungan yang positif terbukti mampu membuat perempuan tumbuh lebih maju, berkualitas, dan berkembang ke arah yang lebih baik.
“Bunga mawar dan bunga melati itu sama-sama indah, ya. Tapi mereka punya caranya masing-masing, punya waktunya sendiri untuk berkembang dan mekar. Makanya, peran dari lingkup pertemanan yang sehat dan saling support adalah kunci utama menuju kehidupan yang lebih sehat."
"Jangan melihat pencapaian orang lain sebagai hal yang harus dikejar, tetapi harus dijadikan motivasi dan ajang saling mendukung kesuksesan satu sama lain,” bebernya.
Di sisi lain, Tiara selaku perwakilan dari dunia psikologi menambahkan pentingnya komunikasi asertif sebagai opsi solusi dua arah ketika menghadapi konflik dalam pertemanan—sebuah persoalan yang kerap muncul dan sering dipendam di kalangan perempuan.