Di balik gemerlap kafe estetik dan restoran kekinian, kuliner kaki lima tetap menjadi denyut nadi yang menghidupkan Bandung sebagai surga wisata kuliner. (Sumber: Cireng Cipaganti)

Ayo Biz

Jejak Rasa di Pinggir Jalan: 5 Kuliner Kaki Lima Legendaris Bandung yang Tak Lekang Zaman

Minggu 14 Sep 2025, 17:52 WIB

AYOBANDUNG.ID -- Bandung, kota yang dikenal sebagai Kota Kembang, tak hanya memesona lewat lanskap pegunungannya dan kreativitas warganya, tapi juga lewat aroma dan rasa yang menyeruak dari sudut-sudut jalannya. Di balik gemerlap kafe estetik dan restoran kekinian, kuliner kaki lima tetap menjadi denyut nadi yang menghidupkan Bandung sebagai surga wisata kuliner.

Kuliner kaki lima bukan sekadar makanan murah meriah. Namun juga warisan rasa, cerita perjuangan, dan simbol kehangatan yang menyatu dalam keseharian warga. Di tengah gempuran tren makanan viral dan gaya hidup serba cepat, lima destinasi kuliner kaki lima ini tetap bertahan, menyuguhkan cita rasa otentik yang tak lekang oleh waktu.

1. Cireng Cipaganti: Dari Aci Digoreng ke Ikon Jalanan

Cireng Cipaganti bukan hanya camilan, tapi representasi kreativitas kuliner Sunda. Berdiri sejak awal 2000-an, gerai ini mempopulerkan cireng isi dengan berbagai varian rasa. Lokasinya yang strategis di Jalan Cipaganti membuatnya mudah dijangkau, terutama oleh pelajar dan pekerja kantoran.

Tekstur kenyal dan isian yang beragam menjadi daya tarik utama. Meski sederhana, Cireng Cipaganti menunjukkan bahwa inovasi bisa lahir dari jajanan tradisional. Tantangannya kini adalah menjaga kualitas di tengah maraknya produk cireng instan yang beredar di pasaran.

2. Nasi Bistik AA: Western Rasa Lokal

Di Jalan Astana Anyar, sebuah gerobak sederhana menyimpan rahasia kuliner yang menggoda, yakni Nasi Bistik AA. Berdiri sejak akhir 1990-an, warung ini menyajikan bistik ala kaki lima dengan rasa yang tak kalah dari restoran.

Tanpa papan nama dan hanya diterangi lampu petromak, Nasi Bistik AA menjadi bukti bahwa rasa tak butuh kemewahan. Namun, di era digital, tantangan terbesar adalah visibilitas. Tanpa kehadiran di media sosial atau layanan pesan antar, warung ini bergantung sepenuhnya pada loyalitas pelanggan lama.

3. Ayam Goreng SPG: Pedasnya Menggoda, Ramainya Luar Biasa

Warung Nasi SPG di Jalan Balong Gede dikenal lewat ayam goreng serundeng dan sambal hijaunya yang membakar lidah. Berdiri sejak awal 2010-an, warung ini tumbuh dari satu tenda menjadi empat, berkat antusiasme pelanggan yang tak pernah surut.

Meski selalu ramai, tantangan SPG adalah kenyamanan. Antrian panjang dan tempat duduk terbatas membuat sebagian pelanggan memilih takeaway. Di tengah tren dine-in yang nyaman dan estetik, SPG harus terus menjaga cita rasa agar tetap relevan.

4. Kupat Tahu Gempol: Sarapan Legenda Sejak 1975

Kupat Tahu Gempol adalah bukti bahwa kesederhanaan bisa bertahan puluhan tahun. Berdiri sejak 1975, warung ini hanya buka pagi hari, menyajikan kupat tahu dengan bumbu kacang yang khas dan tak berubah sejak awal.

Lokasinya di Pasar Gempol membuatnya mudah dijangkau oleh warga sekitar. Namun, tantangan utamanya adalah regenerasi. Di tengah dominasi makanan instan dan sarapan cepat saji, bagaimana kupat tahu bisa tetap menarik bagi generasi muda?

5. Bebek Ali (Borromeus): Aroma Bebek di Belokan Jalan

Di belokan Jalan Hasanuddin, seberang RS Borromeus, berdiri tenda sederhana yang menjual bebek goreng legendaris. Bebek Ali, yang mulai berjualan sejak awal 2000-an, dikenal karena tekstur dagingnya yang empuk dan sambalnya yang pas.

Meski hanya buka sore hingga malam, Bebek Ali selalu ludes dalam hitungan jam. Tantangannya kini adalah keterbatasan stok dan ruang. Di era food delivery dan ekspansi bisnis, Bebek Ali tetap memilih jalur tradisional, mempertahankan keintiman rasa.

Kuliner Kaki Lima dan Wajah Modernitas

Kelima destinasi ini bukan hanya soal rasa, tapi tentang identitas. Mereka tumbuh dari semangat wirausaha lokal, menghadirkan makanan yang terjangkau dan penuh nostalgia. Namun, eksistensi mereka kini diuji oleh perubahan gaya hidup, digitalisasi, dan tuntutan kenyamanan.

Generasi muda cenderung memilih tempat makan yang instagramable, cepat saji, dan bisa dipesan lewat aplikasi. Kuliner kaki lima yang minim branding dan fasilitas sering kali kalah pamor, meski unggul dalam rasa dan harga.

Sebagian pelaku kuliner kaki lima mulai beradaptasi. Mereka membuka akun media sosial, menerima pesanan online, bahkan berkolaborasi dengan influencer lokal. Namun, tak sedikit pula yang memilih bertahan dengan cara lama, percaya bahwa rasa adalah promosi terbaik.

Adaptasi bukan berarti kehilangan jati diri. Justru, dengan narasi yang kuat dan strategi digital yang tepat, kuliner kaki lima bisa menjangkau pasar baru tanpa mengorbankan keaslian.

Penting bagi masyarakat dan pemerintah untuk melihat kuliner kaki lima sebagai aset budaya. Dukungan berupa pelatihan digital, promosi wisata kuliner, dan regulasi yang berpihak bisa membantu mereka bertahan dan berkembang.

Bandung punya potensi besar untuk menjadikan kuliner kaki lima sebagai daya tarik utama. Bukan hanya untuk wisatawan, tapi juga sebagai ruang interaksi sosial dan ekonomi warga lokal.

Alternatif kuliner khas Bandung dan UMKM serupa:

  1. https://s.shopee.co.id/9zoLDZQxbX
  2. https://s.shopee.co.id/6prJRnc0gZ
  3. https://s.shopee.co.id/8Kg7EaDcN3
  4. https://s.shopee.co.id/40X84fSYic
Tags:
kuliner kaki limawisata kulinertren makanangaya hidupBandungmurah meriah

Eneng Reni Nuraisyah Jamil

Reporter

Eneng Reni Nuraisyah Jamil

Editor