AYOBANDUNG.ID -- Bandung selalu punya cara unik dalam melahirkan suara-suara baru. Dari gang-gang kecil tempat anak muda berkumpul, hingga panggung-panggung komunitas yang tak pernah sepi, kota ini menjadi rumah bagi banyak eksperimen musikal yang berani.
Salah satu yang paling mencolok sejak awal 2000-an adalah hadirnya The Paps, band reggae yang tak hanya memainkan musik, tapi juga merayakan kebebasan dalam berkarya.
The Paps bukan lahir dari industri, melainkan dari tongkrongan. Daniel, Sagiet, Papap, Andri, dan Dave adalah lima sahabat yang menyatukan kecintaan mereka terhadap Jamaican sound menjadi satu bentuk ekspresi.
“Reggae adalah jiwa kami, dan kita menggilai dan menyukai reggae,” tutur Dave saat berbincang dengan Ayobandung.
Saat reggae masih dianggap genre pinggiran, The Paps justru menjadikannya ruang bermain. Mereka tak terpaku pada pakem, melainkan meramu pengaruh masing-masing menjadi satu aliran yang mengalir bebas.
“Kami satukan dan kemas perbedaan itu jadi sebuah musik baru, yaitu The Paps, dan itu mengalir begitu aja gak ada harus seperti ini atau itu,” ujar Papap.
Gaya bermusik mereka dikenal sebagai “reggae gunung”, istilah yang lahir dari karakter suara yang lebih menggema dan membumi. “Ibaratnya reggae gunung kan lebih menggema. Kalau pantai uyee, kita mah Auoo,” canda Daniel.
Nama The Paps sendiri dipilih dengan sederhana namun penuh makna. Nama itu kemudian menjadi ikon dalam skena musik indie Bandung, terutama di jalur reggae yang saat itu masih jarang disentuh.
“Biar catchy aja. Selain itu, kita laki-laki semua, papa-papa,” ungkap Papap.
Perjalanan mereka sebagai band indie reggae mulai mendapat perhatian publik ketika pada tahun 2005, mereka terpilih sebagai salah satu pengisi album kompilasi Indonesian Reggae Revolution 1 dengan single “Hang Loose Baby”. Momentum ini menjadi titik balik yang membawa The Paps ke panggung yang lebih luas.
Tahun 2007 menjadi tonggak penting lainnya. The Paps merilis album perdana bertajuk Hang Loose Baby, yang memperkuat posisi mereka sebagai pionir reggae Bandung. Single seperti “Life is a Big Joke” menjadi anthem kebebasan dan kritik sosial yang dibalut dengan irama santai khas Jamaican sound.
Popularitas mereka pun menanjak. Tawaran manggung datang hingga kini dari berbagai penjuru, dan The Paps menjadi simbol bahwa reggae bisa hidup dan diterima di tengah arus musik mainstream. Namun bagi mereka, reggae bukan sekadar genre, melainkan cara bermain musik yang bebas dan jujur.
“Kita orangnya bebas main musik dan musik adalah passion aja. Kita enggak memandang salah satu genre. Istilahnya lets it flow aja,” ungkap Papap.
Fenomena The Paps tak bisa dilepaskan dari geliat budaya kreatif anak muda Bandung. Kota ini dikenal sebagai inkubator talenta musik, dari pop, jazz, hingga metal. Reggae pun akhirnya mendapat tempat, berkat keberanian band seperti The Paps yang membuka jalan. Bandung bukan hanya kota mode, tapi juga kota musik yang melahirkan nama-nama besar seperti Mocca, Pure Saturday, dan The S.I.G.I.T.
Bagi generasi muda Bandung saat ini, reggae bukan lagi genre asing. Musik ini telah menjadi bagian dari identitas lokal yang merayakan kebebasan, solidaritas, dan semangat komunitas. Banyak band baru bermunculan dengan semangat serupa, menjadikan reggae sebagai medium ekspresi yang inklusif dan membumi.
The Paps sendiri tetap konsisten dengan semangat awal mereka. Mereka tak terjebak dalam pakem atau ekspektasi industri. Musik mereka terus mengalir, menjadi suara dari gunung, dari tongkrongan, dari hati yang bebas.
“Harapannya reggae bisa tetap ada dan eksis. Soalnya reggae sendiri sekarang udah besar. Udah masuk kayak industri pop lagi bahkan sampai mengakar ke pelosok,” ujar Daniel.
Alternatif produk fashion skena atau UMKM serupa: