AYOBANDUNG.ID -- Bukan fasilitas megah atau kebijakan pemerintah yang pertama kali menggerakkan Bandung Barrier Free Tourism (BBFT). Melainkan rasa lelah dan frustrasi yang dirasakan para penyandang disabilitas ketika ruang publik seolah berkata: “Tempat ini bukan untukmu.”
BBFT lahir dari pengalaman nyata, dari kursi roda yang tak bisa naik trotoar, dari mata yang tak menemukan jalur pemandu, dari tubuh yang harus berjuang ekstra hanya untuk menikmati taman kota. Komunitas ini bukan sekadar wadah, tapi bentuk perlawanan terhadap sistem yang belum sepenuhnya mengakomodasi.
“Tujuan utama dari kehadiran komunitas ini untuk mengajak kaum difabel dapat menikmati haknya berekreasi. Terutama ke berbagai tempat yang biasanya mereka susah untuk kunjungi,” ujar Jiwa K. Barna, salah satu penggagas BBFT saat ditemui Ayobandung.
Alih-alih menunggu perubahan dari atas, BBFT memilih bergerak dari bawah. Mereka menggelar kegiatan wisata inklusif, mengajak volunteer lintas profesi, dan membuka ruang belajar bersama tentang aksesibilitas. Setiap langkah mereka adalah pesan bahwa difabel berhak hadir dan menikmati kota.
“Volunter juga bisa belajar gimana caranya menghandle, mengangkat kursi roda, menuntun tuna netra. Yang penting mereka bisa sama-sama melihat dan belajar bagaimana kesusahan dari para difabel ini untuk mengakses fasilitas itu,” jelas Jiwa.
Kegiatan BBFT selalu digelar di ruang publik yang ramai. Bukan tanpa alasan, mereka ingin masyarakat melihat langsung bahwa difabel bukan kelompok yang terpisah. Mereka ada, dan mereka ingin dilibatkan.
Namun, tantangan tak sedikit. Jiwa menyebutkan bahwa dibandingkan negara maju, Indonesia masih jauh tertinggal dalam hal fasilitas ramah difabel. Bahkan untuk menyebrang jalan pun, penyandang disabilitas harus berjuang keras.
“Boro-boro ramah untuk difabel, menyebrang jalan aja ibaratnya mereka (difabel) harus susah payah dulu,” ungkap Jiwa.
Bandung, kota yang dikenal dengan taman-taman tematiknya, belum sepenuhnya bisa diakses oleh semua kalangan. BBFT pernah mencoba mengunjungi Taman Film, namun akses yang tidak memadai membuat mereka terpaksa membatalkan kegiatan.
“Contohnya untuk rekreasi ke Taman Film saja, kami sampai tidak bisa sampai di sana karena akses bagi difabel semisal untuk pengguna kursi roda atau tuna netra itu amat susah dan membahayakan,” beber Jiwa.

Lebih dari sekadar rekreasi, BBFT juga menyoroti kesulitan difabel dalam menjalani aktivitas harian. Mulai dari membeli makanan hingga mengakses layanan dasar, semuanya masih penuh tantangan.
“Jadi jangankan untuk hak rekreasi. Mendapatkan kemudahan dalam melakukan aktivitas harian saja masih jauh dari ramah dan belum mengakomodir,” ujarnya.
Namun BBFT tak berhenti. Mereka terus menggelar kegiatan, membangun jejaring, dan menyuarakan hak-hak difabel. Komunitas ini menjadi ruang aman sekaligus ruang perjuangan yang konsisten.
Di dalam BBFT, para anggotanya saling menguatkan. Mereka berbagi pengalaman, strategi bertahan, dan harapan akan kota yang lebih inklusif. Solidaritas menjadi bahan bakar utama komunitas ini.
Setiap kegiatan BBFT bukan hanya tentang jalan-jalan, tetapi tentang membangun narasi baru bahwa difabel bukan objek belas kasihan, melainkan subjek yang aktif dan berdaya.
Dengan semangat inklusivitas, BBFT terus melangkah. Mereka menolak invisibilitas sosial dan memilih untuk hadir dengan cara yang bermakna. Kota mungkin belum sepenuhnya siap, tapi BBFT sudah lebih dulu membuka jalan.
Namun perjuangan BBFT tak berhenti di ruang publik. Di balik setiap kegiatan wisata inklusif, tersimpan semangat yang lebih besar, yakni membangun kemandirian dan keberlanjutan hidup bagi para penyandang disabilitas. Rekreasi bukan hanya soal bersenang-senang, tetapi juga membuka ruang untuk berkarya, berjejaring, dan menunjukkan potensi yang selama ini terpinggirkan.
Banyak anggota BBFT yang mulai menyalurkan kreativitas mereka ke dalam bentuk produk, mulai dari kerajinan tangan, karya seni, hingga kuliner khas yang dikemas dengan nilai inklusif. Komunitas ini menjadi ekosistem yang mendukung teman-teman difabel untuk tidak hanya hadir di ruang publik, tetapi juga di ruang ekonomi.
Dengan dukungan relawan dan jejaring komunitas, BBFT mulai merintis model bisnis sosial yang berbasis karya kreatif. Produk-produk yang dihasilkan bukan sekadar barang, tetapi cerita tentang ketekunan, adaptasi, dan harapan. Setiap karya menjadi bukti bahwa keterbatasan fisik tidak membatasi daya cipta.
Jiwa menyebutkan bahwa BBFT ingin menjadi jembatan antara masyarakat dan karya teman-teman difabel. Bukan sebagai objek belas kasihan, tetapi sebagai pelaku ekonomi yang punya nilai dan daya saing. “Kami ingin masyarakat melihat bahwa teman-teman difabel juga bisa berkarya, bisa mandiri, dan punya kontribusi nyata,” ujarnya.
Langkah ini menjadi bagian dari visi jangka panjang BBFT, membangun Bandung yang bukan hanya ramah secara fisik, tetapi juga secara sosial dan ekonomi. Kota yang memberi ruang bagi semua warganya untuk tumbuh, berkreasi, dan dihargai.
“Yang penting mereka bisa sama-sama melihat dan belajar bagaimana kesusahan dan perjuangan dari para difabel,” pungkas Jiwa.
Alternatif produk kreatif karya teman difabel atau UMKM serupa:
https://s.shopee.co.id/7pjtoA3yEh