AYOBANDUNG.ID -- Bandung tak pernah kehabisan cerita musik. Di antara arus tren yang silih berganti, satu komunitas memilih untuk tetap setia pada suara-suara serak dan distorsi khas grunge. Bandung Ngagerung, yang berakar dari pertemuan lima sahabat di Palasari pada malam tahun baru 2017, tumbuh menjadi ruang kolektif yang merawat semangat perlawanan dan ekspresi otentik.
“Dulu saya bersama empat orang punya inisiatif gimana kalau misalnya kita menyatukan komunitas-komunitas grunge yang ada di kota Bandung," ungkap Yusandi atau Ojel, sang penggagas komunitas, saat berbincang dengan Ayobandung.
Ojel melihat antusiasme anak muda Bandung terhadap musik grunge sebagai peluang untuk membentuk wadah yang tak hanya menjadi tempat berkumpul, tetapi juga ruang edukasi dan kolaborasi. Di tengah maraknya komunitas grunge yang bermunculan di media sosial, Bandung Ngagerung tampil sebagai ruang yang otentik dan konsisten.
"Kalau saya pribadi dengan anak-anak yang kumpul memang tumbuh saat tahun 90-an, pas zaman musik indie hip banget. Dan dulu kita nongkrong pas masih zaman kuliah itu di jalan Purnawarman yang sekarang jadi BEC," kenang Ojel, mengingat masa keemasan skena musik Bandung.
Meski berasal dari generasi yang lebih senior, Ojel dan rekan-rekannya tetap aktif mengikuti perkembangan musik grunge dan komunitas serupa. Mereka bukan sekadar penggemar lama, tetapi pelaku yang terus menjaga nyala api semangat musik alternatif di Bandung.
Rekan-rekan yang kini tergabung dalam Bandung Ngagerung adalah teman seperjuangan Ojel saat skena grunge Bandung sedang meledak di era 90-an. “Sebelumnya pun, saya dan teman-teman lain udah ada kenal, sering nongkrong bareng pas di Purnawarman. Tapi karena mungkin kesukaan selera, akhirnya kita bikinlah perencanaan atau agenda kumpul,” ujarnya.
Komunitas ini dihuni oleh para pelaku seni lintas disiplin mulai dari musisi, fotografer, hingga desainer yang memiliki kecintaan mendalam terhadap grunge. Mereka bukan hanya penikmat, tetapi juga pencipta yang aktif berkontribusi dalam ekosistem seni lokal.
Setelah memiliki bascamp di Majectic Twelve Cafe, Bandung Ngagerung semakin fokus mengembangkan komunitas dan menyelenggarakan berbagai acara musik. “Setelah ada tempat, kita akhirnya bisa konsen mengembangkan komunitas seperti ngadain acara atau gigs yang tentunya berhubungan dengan musik grunge,” papar Ojel.
Komunitas ini sempat mencoba berbagai waktu temu, namun akhirnya menetapkan Rabu sore sebagai waktu rutin berkumpul. Di hari itu, mereka menggelar acara “hearing session”, sebuah forum mendengarkan dan mendiskusikan karya musik lokal secara kolektif.
“Karena kesibukan pribadi dan sebagainya jadi udah aja kita kumpulnya di hari Rabu aja. Kebetulan kita di hari Rabu rutin bikin acara yang namanya hearing session,” jelas Ojel.
Acara ini menjadi ruang kritik edukatif dan apresiasi terhadap karya musisi lokal Bandung. “Diskusi atau bedah karya itu ibarat kritik edukasi atau masukan tentang hasil rekamannya. Apakah ada yang kurang atau gimana. Diskusi ini dilakukan dua arah dari si band ke pendengar atau si pendengar ke band," ungkapnya.
Tak hanya diskusi, hearing session juga menghadirkan pertunjukan akustik dan pembacaan lirik yang dipuisikan. “Jadi pembacaan lirik ini semisal alih wahana lirik lagu yang dibacakan secara puisi. Jadi lirik yang selama ini bersatu dengan musik dilepaskan dan dijadikan puisi yang mandiri,” beber Ojel.
Alih wahana karya menjadi bentuk intermedia seperti puisi, desain kaos, hingga tarian menjadi bagian dari eksplorasi seni yang dilakukan komunitas ini. Menurut Ojel, hal semacam itu memperkaya industri seni dan menunjukkan bahwa musik bisa dioprek-oprek.
“Ini bisa menunjukkan bahwa musik dalam hal ini bisa dioprek-oprek,” ujarnya. Eksplorasi ini menjadi bukti bahwa Bandung Ngagerung tak hanya menjaga tradisi, tetapi juga mendorong inovasi dalam seni.
Meski mandiri, komunitas ini terbuka terhadap kerja sama dengan sponsor atau media partner. “Komunitas ini pengennya tidak bergantung ada sebuah corporate, dan terus bisa mandiri,” terang Ojel, menegaskan semangat independen yang menjadi napas komunitas.
Menurut Ojel, setiap gerakan seni, politik, budaya, bahkan agama, membutuhkan media untuk menyebarkan gagasan. Musik pun demikian. “Contohnya dulu tahun 1990-an musik yang asalnya di bawah tanah langsung meledak. Faktor publikasi lah yang membuat hal itu dikenal hingga saat ini," tutupnya.
Alternatif produk fashion skena atau UMKM serupa: