Di balik absurditas yang tampak dari Ensemble Tikoro, tersimpan filosofi musikal yang mendalam. Grup vokal eksperimental ini hadir dan menantang batas konvensional. (Sumber: dok. Ensemble Tikoro)

Ayo Biz

Musik Tanpa Instrumen: Ensemble Tikoro dan Revolusi Vokal Metal

Selasa 23 Sep 2025, 17:11 WIB

AYOBANDUNG.ID -- Kamu mungkin akan tertegun saat pertama kali menyaksikan mereka. Sekelompok manusia berdiri berjajar, mata mereka dipulas hitam pekat, menyerupai makhluk dari dunia lain. Tiba-tiba, terdengar suara cekikikan, obrolan lirih, lalu teriakan garang yang menggema. Kadang, suara ‘wek… wek… wek…’ menyeruak, mirip bebek yang sedang protes.

Tapi jangan salah, semua suara itu bukan sekadar lelucon. Mereka adalah bagian dari komposisi yang diatur oleh seorang konduktor, layaknya orkestra megah yang mengandalkan tenggorokan sebagai instrumen utama.

Penampilan mereka memang mengundang tanya. “Ini apa sih?”; “Kesenian apa ini?”; “Teriak-teriak enggak jelas”; atau “Itu pada ngapain?”. Reaksi semacam itu bukan hal baru bagi Ensemble Tikoro, grup vokal asal Bandung yang menyebut diri mereka sebagai ‘boyband metal kontemporer’. Namun, di balik absurditas yang tampak, tersimpan filosofi musikal yang mendalam.

Mengusung kredo John Cage bahwa musik adalah segala sesuatu yang menghasilkan bunyi, Ensemble Tikoro menjelma sebagai grup vokal eksperimental yang menantang batas-batas konvensional. Mereka lahir dari komunitas Bandung Death Metal, berisi musisi dan mahasiswa seni yang tak hanya mencintai musik metal, tapi juga peduli pada tradisi dan kebudayaan nusantara.

“Bagi kami, para penonton yang bertanya-tanya itu sesungguhnya tidak paham bahwasanya musik adalah perkara segala sesutau yang menghasilkan bunyi. Apapun itu,” ujar salah seorang personel Ensemble Tikoro, Ardy Bokir saat berbincang dengan Ayobandung.

Grup ini bermula sebagai proyek seni yang digagas Robi Rusdiana pada 2012 saat menempuh magister seni di ISBI Bandung. Secara resmi, Ensemble Tikoro berdiri pada awal 2013 sebagai wadah publik untuk mengolah teknik bernyanyi dengan suara leher dan sebagai ruang diskusi musik kontemporer. Misi mereka jelas yakni membawa musik kontemporer ke publik, dari publik untuk publik.

Teknik vokal yang mereka gunakan bukan sembarangan. Growl, head voice, pernapasan perut, distorsi, hingga teknik gangsa dan ngolotrok dari wayang, semua diramu menjadi satu. Bahkan, mereka juga mengadopsi throat singing yang biasa ditemukan dalam tradisi musik Mongolia dan Tibet.

“Jadi kalau bicara soal tekniknya sendiri sama aja kayak vokal metal lainnya. Cuman yang ditekankan di cara main Ensemble Tikoro itu semua teknik tersebut harus dikuasai oleh semua personel,” ungkap Ardy.

Hal yang membuat Ensemble Tikoro berbeda adalah partitur. Ya, mereka menyanyikan karya dengan partitur, bukan sekadar improvisasi. Komposisi mereka pun tidak dibuat asal-asalan. Semua struktur bunyi dikomposisi dari suara-suara alam.

Dalam karya “Gedebok Nomor 3”, misalnya, mereka mengolah bunyi bangun tidur, suara masak, anak-anak menangis, hingga obrolan di ruang publik menjadi satu kesatuan musikal.

“Yah, pokoknya suasana-suasana seperti itu. Bunyi suasana di alam yang natural,” kata Ardy.

Bagi mereka, suara alam adalah sumber inspirasi utama. Mereka menyebut konsep bermusik mereka sebagai ‘natural choir’, paduan suara yang lahir dari alam, bukan dari alat musik konvensional.

Tak hanya itu, Ensemble Tikoro juga mampu meleburkan suara vokal menjadi representasi alat musik tradisional. Dalam karya “Gedebok 8”, mereka menciptakan komposisi vokal yang meniru bunyi kenong, saron, hingga alunan Bedoyo Jawa.

“Kita di karya itu komposisi suara ngikutin bunyi kenong, saron dan sebagainya,” jelas Ardy.

Penjiwaan dalam setiap karya pun menjadi elemen penting. Nuansa sedih, amarah, hingga suasana keseharian harus bisa dihadirkan lewat tenggorokan. Teknik ini tidak mudah dikuasai, dan Ensemble Tikoro tidak menuntut skill ‘maha dewa’ dari para personelnya.

“Intinya personel yang ada di Ensemble itu harus tahu dan ingin belajar musik,” kata Ardy.

Menariknya, semua personel memiliki latar belakang sebagai vokalis. Salah satunya adalah Agrog dari band metal BESIDE asal Ujungberung. Dengan latar belakang tersebut, mereka mampu membentuk harmoni bukan dari nada, tapi dari rasa.

“Kalau rasanya sama, mau main gimana pun tetap bakal harmonis,” ujar Ardy.

Eksistensi Ensemble Tikoro di skena indie Bandung menjadi warna tersendiri. Di tengah dominasi band-band shoegaze, folk, dan elektronik, mereka hadir sebagai pengingat bahwa eksperimentasi adalah ruh dari musik independen.

Mereka tidak sekadar tampil, tapi juga mengedukasi publik tentang makna bunyi dan musik. Format mereka pun unik. Tidak seperti band, mereka tampil sebagai grup vokal dengan koreografi dan struktur layaknya paduan suara.

Anak-anak Ensemble Tikoro menyebut diri mereka sebagai ‘boyband metal kontemporer’, sebuah sindiran sekaligus pernyataan identitas yang kuat. Bagi yang awam, penampilan mereka mungkin membingungkan. Tapi bagi mereka yang terbuka, Ensemble Tikoro adalah jendela menuju pemahaman baru tentang musik.

“Musik adalah perkara segala sesuatu yang menghasilkan bunyi. Hanya saja bunyi-bunyian itu perlu digubah, perlu di-direct, perlu disesuaikan timbrenya, atau ya dibuat sinkron, barulah nanti bisa dibuat musik,” tegas Ardy.

Dan di tengah hiruk-pikuk skena musik Bandung yang terus berkembang, Ensemble Tikoro tetap berdiri dengan gaya mereka sendiri. Mereka tidak mengejar popularitas, tapi konsistensi dalam eksplorasi.

“Kita menghasilkan komposisi dari apa yang kita tangkap dari alam. Itulah kontemporernya Ensemble Tikoro,” pungkas Ardy.

Alternatif fashion skena musik metal atau UMKM serupa:

  1. https://s.shopee.co.id/8fJBvuAaD5
  2. https://s.shopee.co.id/6AbqxKEg5q
  3. https://s.shopee.co.id/1g9Rb5eQ3z
  4. https://s.shopee.co.id/8AMvL9Gu1s
  5. https://s.shopee.co.id/6KvH9o5kZu
Tags:
musik metalkomunitasBandung Death Metaleksperimentalboyband metal kontemporertenggorokangrup vokalEnsemble Tikoro

Eneng Reni Nuraisyah Jamil

Reporter

Eneng Reni Nuraisyah Jamil

Editor