AYOBANDUNG.ID -- Langkah kaki wisatawan yang dulu hanya berhenti di tepian danau Kawah Putih kini punya tujuan baru. Tak sekadar menikmati lanskap vulkanik Gunung Patuha, mereka datang untuk menjajal pengalaman yang lebih interaktif, menyusuri dermaga apung yang membentang menuju pulau kecil di tengah danau.
Kawah Putih, yang sempat dikenal sebagai spot foto statis, kini menjelma menjadi destinasi wisata yang terus berinovasi demi bertahan di tengah arus wisata kekinian. Dermaga Ponton sepanjang 50 meter dan lebar dua meter itu bukan sekadar jembatan, tapi simbol adaptasi, menjulur dari pinggir danau ke pulau kecil yang menyembul tenang, menawarkan sensasi baru bagi wisatawan yang haus akan konten visual dan petualangan ringan.
“Awalnya karena Kawah Putih kan gitu-gitu aja, cuma objek foto tapi nggak ada destinasi atau atraksi wisata lagi. Makanya kami dari manajemen berpikir kalau misalnya dibuatin jembatan ke tengah pulau itu gimana responsnya ya?” kata Staf Bagian Pemasaran Kawah Putih Gunung Patuha, Mona Loria Lenda saat ditemui Ayobandung.
Ide tersebut lahir dari kebutuhan untuk menjawab tantangan zaman. Di era digital, daya tarik wisata tak lagi cukup hanya mengandalkan keindahan alam. Wisatawan, terutama generasi muda, mencari pengalaman yang bisa dibagikan baik melalui foto Instagram, video TikTok, maupun cerita blog. Dermaga Ponton menjawab kebutuhan itu, menjadi spot swafoto favorit yang tak hanya estetik, tapi juga unik secara geografis.
Untuk mencapai Kawah Putih, wisatawan harus menempuh perjalanan sekitar dua dari pusat Kota Bandung. Meski cukup jauh, antusiasme pengunjung tetap tinggi. Rata-rata, sekitar 100 orang per hari menjajal dermaga apung ini. “Tapi untuk keselamatan pengunjung, dermaga ponton itu hanya bisa dinaiki paling banyak 30 orang dalam satu kali kesempatan naik,” jelas Mona.
Dermaga ini dirancang dengan teknologi sederhana namun efektif. Di bawahnya terdapat drum plastik sebagai pelampung, sementara sisi-sisinya ditahan tali tambang. “Ketinggian jembatan akan menyesuaikan dengan tinggi muka air danau dan akan naik turun secara otomatis tergantung Tinggi Muka Air (TMA),” tambahnya.
Meski berada di kawasan belerang, Mona memastikan keamanan tetap menjadi prioritas. “Kami mengimbau agar wisatawan paling lama 15 menit saja di atas Dermaga Ponton, meski belerang di sini tipe B, tidak terlalu menyengat seperti kawah Tangkuban Perahu,” katanya.
Transformasi Kawah Putih tak berhenti di dermaga. Manajemen juga menghadirkan Bamboo Skywalk, lorong swafoto yang membelah Hutan Cantigi. Spot ini dirancang instagramable, menyasar wisatawan yang gemar eksplorasi visual. “Semenjak dibikin inovasi itu respons pengunjungnya memang semakin baik. Data kunjungan juga jadi meningkat sekitar 20% karena kita dibantu blowup dari media sosial,” ujar Mona.

Fenomena ini mencerminkan tren yang lebih luas, di mana wisata alam kini dituntut untuk berinovasi agar tetap relevan. Menurut data Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, wisata berbasis alam dan petualangan mengalami peningkatan minat sebesar 34% pasca pandemi, terutama di kalangan wisatawan domestik berusia 18–35 tahun.
Namun, inovasi bukan tanpa tantangan. Pengelola harus menjaga keseimbangan antara eksplorasi dan konservasi. Kawah Putih, sebagai bagian dari kawasan geowisata, memiliki ekosistem yang sensitif. Penambahan fasilitas harus mempertimbangkan dampak lingkungan, termasuk potensi kerusakan vegetasi dan pencemaran air danau.
Di sisi lain, persaingan antar destinasi wisata di Bandung Selatan semakin ketat. Tempat-tempat seperti D’Dieuland dan The Great Asia Africa menawarkan pengalaman tematik yang lebih modern dan ramah keluarga. Kawah Putih harus terus berinovasi tanpa kehilangan identitasnya sebagai destinasi alam yang eksotis dan bersejarah.
Masa depan wisata alam seperti Kawah Putih bergantung pada kemampuannya merangkul teknologi dan tren digital. Penggunaan augmented reality (AR), sistem reservasi online, dan kampanye media sosial yang terintegrasi bisa menjadi langkah strategis. Selain itu, kolaborasi dengan komunitas lokal dan pelaku ekonomi kreatif dapat memperkaya pengalaman wisata sekaligus memberdayakan masyarakat sekitar.
Kawasan Ciwidey dan Rancabali sendiri memiliki potensi besar untuk dikembangkan sebagai klaster wisata alam terpadu. Dengan dukungan infrastruktur dan promosi yang tepat, destinasi seperti Kawah Putih bisa menjadi ikon regenerasi wisata berbasis alam di Indonesia.
Yang menarik, inovasi di Kawah Putih bukan sekadar strategi bisnis. Namun juga bentuk adaptasi budaya, bagaimana tradisi dan lanskap alam dijaga sambil tetap membuka ruang bagi ekspresi kekinian. Wisata alam tak lagi hanya soal menikmati pemandangan, tapi juga tentang bagaimana pengunjung bisa terlibat secara emosional dan digital.
Kehadiran spot seperti Dermaga Ponton dan Bamboo Skywalk menunjukkan bahwa Kawah Putih tak ingin tertinggal. Destinasi wisata ini memilih untuk berevolusi, menyambut wisatawan dengan wajah baru yang tetap berakar pada kekayaan alamnya. Inovasi ini juga menjadi bukti bahwa destinasi alam bisa tetap eksis jika mampu membaca arah zaman.
Di tengah tantangan perubahan iklim, tekanan urbanisasi, dan shifting perilaku wisatawan, pengelola destinasi seperti Kawah Putih harus terus beradaptasi. Inovasi yang berkelanjutan, berbasis riset dan partisipasi komunitas, menjadi kunci agar wisata alam tidak hanya bertahan, tapi juga berkembang.
“Makanya, ke depan juga kita akan tingkatkan inovasi,” pungkas Mona.
Alternatif kebutuhan wisata atau produk UMKM serupa: