AYOBANDUNG.ID -- Indonesia memiliki kekayaan alam luar biasa, dari pegunungan hingga pesisir, yang menjadi magnet bagi jutaan wisatawan setiap tahun. Namun, di balik geliat pariwisata, muncul tantangan besar, bagaimana menjaga kelestarian lingkungan sekaligus memberdayakan ekonomi lokal secara berkelanjutan?
Isu ini semakin relevan di tengah meningkatnya tekanan terhadap ekosistem akibat wisata massal dan minimnya edukasi ekologis. Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), lebih dari 30% kawasan wisata alam di Indonesia mengalami degradasi ekologi akibat aktivitas manusia yang tidak terkontrol. Di sisi lain, pelaku usaha lokal sering kali terpinggirkan dalam rantai ekonomi pariwisata.
Salah satu pendekatan yang mulai berkembang adalah ekowisata berbasis komunitas. Konsep ini menggabungkan pelestarian alam, edukasi lingkungan, dan pemberdayaan ekonomi lokal. Di Jawa Barat, kawasan Gunung Tangkuban Parahu menjadi contoh menarik. Dengan lebih dari 250.000 kunjungan wisata per tahun, potensi kawasan ini sangat besar, namun belum sepenuhnya dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat sekitar.
Penelitian dari Institut Pertanian Bogor menunjukkan bahwa partisipasi pelaku usaha dalam konservasi di Taman Wisata Alam (TWA) Gunung Tangkuban Parahu masih rendah, terutama karena kurangnya integrasi antara kegiatan wisata dan program pelestarian. Hal ini menunjukkan perlunya model wisata yang lebih inklusif dan berorientasi pada keberlanjutan.
Inisiatif seperti Hiking Fest 2025 menjadi ilustrasi bagaimana kegiatan wisata bisa dirancang untuk membawa dampak positif. Digagas oleh Mahameru Bandung, acara ini mengusung semangat “Berjalan Bersama Alam” dan membatasi jumlah peserta demi menjaga ekosistem.
“Saya juga tidak mau untuk jadi terlalu banyak orang. Nanti terlalu banyak orang biasanya bikin alam jadi rusak. Ya mungkin dengan 200 orang cukup lah supaya crowd-nya enak,” ujar Muchammad Thofan sebagai Founder Mahameru.
Lebih dari sekadar pendakian, Hiking Fest menghadirkan pos edukasi ekologi, penanaman pohon, dan pelatihan keselamatan hiking. Ia menekankan bahwa kegiatan ini lahir dari keinginan untuk berkontribusi pada alam melalui bisnis yang dijalankannya.
“Selama mengikuti kegiatan ini, para peserta nanti ada penanaman pohon, disediakan shelter hingga pos-pos edukasi tentang ekologi hingga keselamatan dalam olahraga luar ruang seperti hiking ini,” tambah Thofan.
Ketua Steering Committee Hiking Fest 2025, Budhi Santosa, menyoroti pentingnya edukasi keselamatan dan inklusi komunitas dalam kegiatan luar ruang. “Teknisnya kita melibatkan family, kita melibatkan teman-teman FOMO, atau teman-teman yang sudah biasa naik gunung atau hiking. Jadi ini adalah anggap saja sebagai rumah aktivitas, outdoor activity. Artinya bagi siapapun yang beraktivitas di dunia luar ruang, ini jadikan bentuk silaturahmi,” ujarnya.
Budhi juga mengangkat isu meningkatnya kecelakaan pendakian sebagai alasan perlunya edukasi. “Salah satu hadirnya acara ini juga dari kegelisahan terkait tingkat kecelakaan di gunung yang lebih tinggi dibanding dulu, padahal industri apparel kita sudah berteknologi. Sehingga harus ada yang disampaikan kepada publik apakah nilai-nilai edukasi keselamatan atau lainnya lewat Hiking Fest ini,” jelasnya.
Menurut data Basarnas, insiden pendakian meningkat 15% dalam lima tahun terakhir, terutama akibat kurangnya pengetahuan teknis dan kesiapan fisik. Edukasi keselamatan menjadi elemen penting dalam membangun wisata alam yang bertanggung jawab.
Selain aspek ekologi, pemberdayaan ekonomi lokal juga menjadi fokus. Hiking Fest menghadirkan local market showcase yang melibatkan UMKM setempat. Data dari Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Jawa Barat menunjukkan bahwa terdapat lebih dari 12.000 industri mikro dan kecil yang bergerak di sektor pariwisata di desa-desa sekitar kawasan wisata alam. Namun, akses pasar dan promosi masih menjadi tantangan utama.
“Melalui kegiatan ini, kami ingin menyampaikan pesan bahwa mencintai alam bisa berjalan seiring dengan menggerakkan ekonomi lokal secara berkelanjutan,” tegas Budhi.
Folklor lokal seperti kisah Sangkuriang yang melekat pada Gunung Tangkuban Parahu juga menjadi elemen penting dalam membangun koneksi emosional wisatawan dengan alam. Penelitian dari Universitas Gadjah Mada menunjukkan bahwa narasi budaya dapat meningkatkan kesadaran pelestarian dan memperkaya pengalaman wisata.
Dengan pendekatan holistik yang menggabungkan edukasi, konservasi, dan ekonomi, ekowisata berbasis komunitas menawarkan solusi konkret bagi tantangan pariwisata modern. Hiking Fest 2025 hanyalah satu contoh dari banyak potensi yang bisa dikembangkan.
Pasalnya, ke depan, tantangan terbesar bukan hanya merancang kegiatan wisata yang menarik, tetapi memastikan bahwa setiap langkah wisatawan membawa manfaat bagi alam dan masyarakat. Karena sejatinya, pariwisata yang baik bukan hanya soal destinasi, tapi juga tentang dampak yang ditinggalkan.
“Visi Hiking Fest ini mudah-mudahan bisa tersampaikan dengan baik ke publik karena memang dasar kita membuat sebuah aktivitas ini sebagai sebuah langkah kecil yang coba kita sampaikan. Menjadi kebaikan, menjadi keberkahan semua teman-teman dan menjadi kegiatan yang sukses dan berkolaborasi secara berkelanjutan,” pungkas Budhi.
Link pembelian produk brand lokal outdoor dari Mahameru: