Eddy Tansil saat sidang korupsi Bapindo. (Sumber: Panji Masyarakat Agustus 1994)

Ayo Jelajah

Hikayat Pelarian Eddy Tansil, Koruptor Legendaris Paling Diburu di Indonesia

Rabu 05 Nov 2025, 12:49 WIB

AYOBANDUNG.ID - Kalau ada olimpiade untuk pelarian paling licin, Indonesia boleh jadi punya kandidat juara dunia: Eddy Tansil. Namanya masih menghantui arsip Kejaksaan Agung dan Interpol sampai hari ini. Lelaki yang dulu dijuluki “raja bir” itu bukan hanya pebisnis cerdas, tapi juga penulis skenario kabur yang bahkan Hollywood pun bisa iri.

Lahir di Jakarta sekitar tahun 1950-an, Eddy memulai hidupnya dengan sederhana—katanya. Ia menjajakan becak, merakit sepeda motor, dan hidup pas-pasan di awal karier. Tapi Orde Baru sedang tumbuh subur: ekonomi menanjak, proyek negara bertebaran, dan yang punya kenalan di lingkar kekuasaan bisa mendadak makmur. Eddy punya bakat dan... koneksi. Dua kombinasi yang jarang gagal di zaman Soeharto.

Jelang akhir 1970-an, ia terjun ke industri minuman beralkohol. Perusahaannya berkembang cepat, bir lokal mengalir deras dari pabriknya, dan media menjulukinya “raja bir Indonesia.” Namun, rasa haus Eddy tak berhenti di botol. Ia ingin lebih dari sekadar bisnis bir: ia ingin jadi konglomerat sejati. Maka lahirlah PT Golden Key Group (GKG) di awal 1990-an, dengan proyek-proyek petrokimia yang menggiurkan dan janji investasi raksasa di luar negeri, terutama di China.

Baca Juga: Hikayat Skandal Dimas Kanjeng, Dukun Pengganda Uang Seribu Kali Lipat

Tapi, seperti namanya, Golden Key bukan sekadar kunci emas untuk bisnis. Ia adalah kunci untuk membuka pintu uang negara, tepatnya dari Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo). Tahun 1992, Eddy mengajukan kredit jumbo Rp1,3 triliun untuk membangun pabrik polipropilena di China. Surat rekomendasi datang dari Laksamana (Purn) Sudomo, mantan Menkopolkam yang disebut-sebut sebagai pelindung politik Eddy. Surat itu seperti tiket VIP ke kas negara.

Bapindo mengucurkan dana tanpa banyak tanya, tanpa jaminan memadai, dan tanpa audit ketat. Rupanya, yang lebih penting dari proposal bisnis di era itu adalah siapa yang menandatangani surat pendukungnya. Proyek di China ternyata cuma angan-angan, tapi uang sungguhan sudah mengalir deras ke rekening pribadi Eddy dan jaringan perusahaannya.

Baru pada akhir 1993, bau amisnya mencuat. Anggota DPR AA Baramuli menuding ada kredit raksasa bermasalah di Bapindo senilai triliunan rupiah. Media langsung mengendus. Tempo menurunkan laporan khusus, menulis bagaimana sang raja bir berubah jadi “raja manipulasi kredit.”

Pada Februari 1994, Kejaksaan Agung akhirnya menangkap Eddy Tansil bersama salah satu pejabat Bapindo. Ia ditahan di Jakarta setelah pemeriksaan maraton hingga dini hari.

Baca Juga: Hikayat Tragedi Lumpur Lapindo, Bencana Besar yang Tenggelamkan Belasan Desa di Sidoarjo

Di pengadilan, jaksa membeberkan bukti bahwa uang pinjaman itu tak pernah dipakai membangun pabrik, melainkan berputar di bisnis pribadi dan rekening luar negeri. Tapi Eddy santai. Ia mengaku hanya korban sistem perbankan yang “kaku dan salah paham.”

Ujungnya, pada 1995, pengadilan menjatuhkan vonis: 20 tahun penjara, denda Rp30 juta (ya, tiga puluh juta—setara satu unit motor bebek saat itu), dan uang pengganti Rp500 miliar. Hukuman berat, tapi tak seberat nasib bangsa yang uangnya melayang.

Eddy dibawa ke LP Cipinang, Jakarta Timur. Di sana, penjara tampak lebih seperti vila eksklusif. Ia punya kamar lebih luas, kunjungan bebas, dan kabarnya bisa pesan makanan hotel. Para sipir menyebutnya “tahanan VVIP.” Tapi di balik senyum ramahnya, Eddy sedang menulis bab paling epik dalam sejarah korupsi Indonesia: pelarian besar-besaran dari Cipinang.

Baca Juga: Yang Dilakukan Ratu Belanda Saat KAA Dihelat di Bandung

Eddy Tansil saat dikawal aparat. (Sumber: Majalah Sinar 5 September 1994)

Kisah Pelarian dari Lapas Cipinang

Pelarian Eddy bukan ide dadakan. Ia sudah merencanakannya jauh-jauh hari, dengan disiplin seorang CEO dan kesabaran seekor kucing di depan tikus. Sehari sebelum kabur, Jumat, 3 Mei 1996, ia sudah membicarakan rencana keluar penjara dengan komandan jaga LP Cipinang. Saat itu, Eddy memang rutin keluar penjara untuk pengobatan jantung di rumah sakit.

Sabtu, 4 Mei 1996, rencananya matang. Sebuah mobil Suzuki Carry masuk ke lapas sekitar pukul 18.30. Tak ada yang aneh. Mobil itu sering keluar-masuk karena Eddy memang sering dapat izin berobat ke Rumah Sakit Harapan Kita. Tapi kali ini, tak ada pengawalan, tak ada surat resmi. Hanya “uang rokok” yang berpindah tangan.

Carry itu keluar gerbang Cipinang tanpa pemeriksaan. “Aman,” kata komandan jaga. Tak ada yang berani membantah. Sang koruptor triliunan itu berhasil meninggalkan penjara tanpa drama.

Baca Juga: Sejarah Lapas Sukamiskin Bandung, Penjara Intelektual Pembangkang Hindia Belanda

Dua hari kemudian, baru ketahuan bahwa Eddy tak pernah kembali dari “berobat”. Kepala LP Cipinang panik, lapor ke atasannya, dan 7 Mei 1996 malam laporan resmi masuk ke Dirjen Pemasyarakatan. Tapi nasi sudah jadi kerak.

Pada 8 Mei, Menteri Kehakiman Oetojo Oesman marah besar di depan wartawan. “Saya yang paling bertanggung jawab!” katanya. Kepala LP Cipinang dicopot. Dua puluh petugas diperiksa. Tapi publik tak percaya. Semua tahu ini bukan sekadar kelalaian: ini operasi uang.

Soeharto murka. Ia bentuk tim pencari gabungan dari kepolisian, kejaksaan, intelijen, bahkan menyewa Kroll Associates dari New York, perusahaan detektif internasional yang pernah memburu aset Ferdinand Marcos dan Saddam Hussein. Indonesia belum pernah seambisius ini mengejar satu orang.

Langkah ini terasa seperti kombinasi antara panik dan ambisi: negara yang gagal mengawasi satu penjara sekarang memanggil firma yang biasa memburu diktator.

Kroll bukan detektif sembarangan. Di bawah pimpinan Jules Kroll, mereka pernah mengungkap harta tersembunyi Ferdinand Marcos di Manhattan—empat gedung apartemen mewah, rekening Swiss, dan koleksi seni senilai jutaan dolar. Mereka juga pernah ditugasi pemerintah Kuwait melacak $10 miliar yang dicuri Saddam Hussein selama invasi. Bahkan Rusia Yeltsin pernah memakai jasa mereka untuk melacak dana partai komunis yang diselundupkan ke bank-bank Eropa.

Baca Juga: Jejak Sejarah Cimahi jadi Pusat Tentara Hindia Belanda Sejak 1896

Jadi, ketika Indonesia mempekerjakan Kroll pada pertengahan 1996, harapannya tinggi: jika Marcos dan Saddam saja bisa dilacak, apalagi satu pengusaha bir dari Jakarta. Tapi kenyataannya, memburu Eddy Tansil bukan perkara teknologi, melainkan politik.

Tim Kroll tiba di Jakarta, memeriksa catatan imigrasi, mewawancarai pejabat pelabuhan di Batam, dan menelusuri laporan mata-mata lokal yang mengaku melihat “orang mirip Eddy” di kapal menuju Singapura. Mereka bahkan menyusup ke jaringan perbankan swasta untuk menelusuri transfer uang dari rekening Golden Key.

Kroll menemukan jejak Eddy sempat melintas Batam, lalu Singapura. Tapi tanpa perjanjian ekstradisi, pemerintah hanya bisa menatap peta. Di Singapura, apartemen keluarga Eddy sudah kosong. Beberapa laporan bilang ia lanjut ke Hong Kong, yang lain menyebut ke Australia, bahkan Kanada.

Tapi, apapun versinya, satu hal jelas: Eddy berhasil mempermalukan negara. Ia membuktikan bahwa tembok setebal apapun tak ada gunanya jika lubang di dalamnya bernama uang.

Tahun-tahun berlalu, upaya memburu Eddy masih seperti menulis surat cinta ke udara. Tahun 2011, Kejaksaan Agung kembali mengirim permohonan ekstradisi ke China. Dua tahun kemudian, Jaksa Agung Basrief Arief mengatakan Eddy “terlacak di sana.” Tapi tak ada kelanjutannya. Pemerintah China bungkam, mungkin karena politik, mungkin karena tidak mau repot.

Pada 2021, sebagian asetnya dilelang oleh Kejagung: tanah, saham, dan properti. Tapi nilai totalnya hanya remah-remah dari kerugian negara Rp1,3 triliun. Dua dekade lebih berlalu, dan negara yang dulu dibobolnya masih gagal menutup luka.

Baca Juga: Hikayat Cipaganti Group, Raksasa Transportasi Bandung yang Tumbang Diguncang Skandal

Rumor tentang keberadaannya terus hidup. Ada yang bersumpah melihatnya di Guangzhou, rambut memutih, duduk di restoran Tionghoa. Ada juga yang yakin ia sudah meninggal dan dimakamkan diam-diam agar tak menimbulkan kehebohan diplomatik. Namun, seperti banyak kisah klasik Indonesia lainnya, tak ada yang bisa dipastikan.

Yang pasti, nama Eddy Tansil telah berubah dari sekadar koruptor menjadi legenda urban: lambang betapa mudahnya hukum dilipat jika dompet cukup tebal. Ia bukan hanya buron, tapi simbol zaman ketika uang bisa membuka semua pintu, termasuk pintu penjara.

Tags:
Eddy TansilBuronanKorupsi

Hengky Sulaksono

Reporter

Hengky Sulaksono

Editor