Bila kita melewati titik-titik strategis, seperti lampu merah, halte, terminal (Cicaheum, Leuwipanjang), termasuk terminal bayangan elf di kawasan Bundaran Cibiru, kita acap kali melihat para pengemis, anak jalanan yang mencari belas kasih pengendara (motor, mobil) dan pejalan kaki. Pemandangan ini seolah-olah menjadi bagian dari rutinitas jalanan kota, hadir tanpa pernah benar-benar hilang.
Rupanya di balik wajah mereka yang meminta belas kasihan, tersimpan segala persoalan sosial yang mendera dan mendalam. Rasa iba sering kali mendorong orang untuk berbagi, ya sekadar memberi recehan, tapi pertanyaan mendasar yang kerap terabaikan, sampai kapan situasi ini terus berulang dan terjadi?
Kehadiran pengemis, anak jalanan tidak hanya mengingatkan pada sisi rapuh kehidupan perkotaan, melainkan menantang bagi kita untuk lebih peka terhadap ketidakadilan sosial yang melahirkan kondisi tak berdaya ini.
Bandung, dengan citra sebagai kota kreatif dan tujuan wisata, menyimpan ironi di sudut-sudut jalannya. Di satu sisi, pembangunan dan modernitas terus digerakkan. Nyatanya pada sisi lain, masih ada wajah-wajah yang tersisih dari arus kesejahteraan, kemiskinan.
Maraknya aktivitas ini harus menjadi refleksi bersama tentang pembangunan sejati bukan hanya soal infrastruktur megah, wah, justru yang harus dicamkan bagaimana setiap warga, terutama kelompok yang paling rentan ini mendapat ruang hidup yang layak dan bermartabat.
Konon, penghasilan dari mengemis, mengamen yang mencapai 14 juta (Rp 10.920.000-Rp 14.040.000) dalam sebulan menjadi faktor tumbuh suburnya para pengemis di Kota Bandung ini. Apalagi dengan adanya "kampung pengemis" di wilayah Sukajadi tepatnya di Kelurahan Sukabungah pada RW 04 dan RW 11 (Cibarengkok) menjadi bukti nyata atas pekerja "nyaba", "turun ka jalan", "mangkat", “milari anu welas asih”, dan “milari anu Ridho”.
Alkisah, Munah, perempuan tua yang setiap hari duduk bersila di salah satu trotoar simpang empat Jalan Sudirman-Soekarno Hatta, Rajawali dan Cibeureum, Bandung, mengaku selalu mendapatkan uang dari para pengendara dengan hanya menadahkan tangan setiap kali lampu merah menyala. Ada dua (tiga) pengendara yang melempar recehan, lima ratus, seribu, (dua ribu) rupiah saat lampu merah menyala.
Dengan kondisi ini Munah mendapat kesempatan 30 kali menadahkan tangan. Jika setiap kali lampu merah menyala Munah mendapat Rp 2.000, dalam satu jam penghasilannya Rp 60.000. Bila dalam sehari ia "bekerja" tujuh sampai sembilan jam, maka penghasilannya sehari itu Rp 420.000-Rp 540.000. Kalau dalam sebulan, katakanlah 30 hari dikurang empat hari libur, Munah bisa terus "bekerja" 7-9 jam sehari di perempatan jalan protokol itu, walhasil total penghasilannya sebulan akan mencapai Rp 10.920.000-Rp 14.040.000. (Tribun Jabar, 22/2/2017).

Bandung jadi 'surga' Pengemis
Aktivitas kaum Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS), seperti gelandangan dan pengemis (gepeng) di Kota Bandung terus meningkat seiring citra Bandung sebagai kota wisata.
Data dari Dinas Sosial, mayoritas pengemis bukan warga asli, bahkan ada yang berasal dari luar pulau. Kehadiran mereka biasanya melonjak menjelang Idul Fitri atau saat menunggu musim panen di kampung halaman.
Kepala Bidang Rehabilitasi Dinsos, Galuh Karsana, menyebutkan dalam sebulan seorang pengemis bisa meraup hingga Rp14 juta. “Bayangkan saja selama dua jam berdiam di perempatan jalan mereka akan dapat paling rendah Rp 40.000," ujarnya.
Para pengemis umumnya tinggal di kos-kosan kecil dengan sewa Rp350–400 ribu per bulan dan beroperasi di pinggiran kota agar mudah kabur dari razia. Aksi mereka terorganisir, dengan sistem tukar lokasi untuk menghindari petugas.
Galuh menegaskan, donasi masyarakat di jalan menjadi pemicu utama maraknya pengemis. “Untuk itu kami berpesan untuk tidak berdonasi di jalan. Lebih baik berdonasi pada lembaga resmi," ujarnya.
Meskipun ada ancaman hukuman 10 tahun bagi koordinator pengemis, Bandung tetap menjadi "surga" dengan tujuan utama untuk mengemis. (Ayo Bandung, Selasa, 28 Februari 2017 | 17:52 WIB)

Keberagamaan Pengemis
Memang, selama pemerintah tidak berdaya dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pekerjaan susah didapat, maka dipastikan para “milari anu welas asih” ini akan terus langgeng. Pasalnya, keberadaan pekerja "turun ka jalan" ini tidak hanya berkaitan erat dengan kemiskinan, ekonomi, budaya, sosial, tapi dengan sikap keberagamaan para “milari anu Ridho” dalam menjalani kehidupan ini agar tetap bertahan dan terjaga keberlangsungannya.
Betapa tidak, hasil penelitian Heny Gustini Nuraeni tentang keberagamaan pengemis: studi kasus di kampung pengemis, Sukajadi Kota Bandung menguraikan kemiskinan merupakan isu penting yang tidak hanya menjadi tanggungjawab negara, tapi menjadi perhatian agama (Islam).
Ajaran-ajaran agama (Islam) sesungguhnya tidak dapat dilaksanakan secara maksimal dan komperhensif, jika penganutnya tidak mampu secara finansial.Ini tentu akan berpengaruh terhadap pengalaman keagamaan yang dimiliki penganut agama.
Disertasi Program Religious Studies Pascasarjana UIN SGD Bandung ini menunjukkan; Pertama, di kalangan pengemis ditemukan adanya keyakinan terhadap Tuhan, nenek moyang mereka, mitos; adanya penggunaan simbol-simbol keagamaan berupa doa-doa, jampi-jampi dan penggunaan magic.
Kedua, dalam perbuatan, ritual ada pengemis yang rajin melakukan shalat dan ada pula yang malas-malasan melaksanakannya, bahkan ada yang menjalankan puasa dan berhaji. Diantara pengemis yang memiliki kepercayaan terhadap mitos, ritual yang dilakukan berupa ziarah kubur, mendatangi ahli magic, melaksanakan puasa wedal, puasa mutih dan melakukan semedi.
Ketiga, semua itu bertujuan untuk melancarkan usaha mereka dalam persekutuan keagamaan ditemukan bahwa terdapat pengemis yang aktif di majelis taklim dan memiliki jemaah sendiri, bahkan berperan sebagai guru mengaji.
Dari temuan di atas dapat disimpulkan bahwa agama hanya berfungsi untuk memenuhi kebutuhan mereka, apakah ekonomi ataupun yang lainya. Mengingat pengemis merupakan sebuah budaya dan menjadi kultur sosial, agama tidak dapat dipisahkan dari budaya mengemis ini.
Pengemis sebagai manusia memiliki hasrat keberagamaan yang memiliki keyakinan dan kepercayaan yang mampu memberi makna yang bisa menjalankan hubungan antara dirinya dengan Tuhan.Mereka memiliki keterlibatan emosi dan sentimen pada pelaksanaan ajaran agama yang diyakininya.
Dengan demikian, penelitian ini menyatakan; Pertama, pengemis sebagai masyarakat marginal memiliki cara beragama yang khas. Keyakinan dan kepercayaan terhadap Tuhan dan leluhur, ritual keagamaan yang disesuaikan dengan keadaan dirinya, tanpa harus memperdulikan aturan (tata tertib) sebenarnya. Bagi mereka berdoa, puji, terima kasih, penilaian diri sendiri, tobat merupakan tingkah laku agama. Agama diperlukan sesuai dengan kebutuhan meraka.
Kedua, menjadi pengemis merupakan sebuah budaya kemiskinan dan mengemis sudah menjadi kultur sosial bagi sebagian masyarakat. Karena itu agama tidak dapat dipisahkan dari budaya mengemis. (Disertasi Heny Gustini Nuraeni, 2014:ii, 345-347).

Komodifikasi Agama
Kendati dalam masyarakat ada anggapan menjadi pengemis itu termasuk dalam pekerjaan hina, bahkan sering disebut sebagai sampah masyarakat. Rupanya di “Kampung Pengemis”, yang berada di RW 04 dan di RW 11 (Cibarengkok) Kelurahan Sukabungah Kecamatan Sukajadi pengemis itu pekerjaan “mulia, sungguh-sungguh”. Walaupun agama kerap dijadikan komoditi oleh para “milari anu Ridho” ini.
Dalam pandangan mereka, menjadi pengemis bukan sebuah perbuatan yang bertentangan dengan norma keagamaan, justru mereka berfikir bahwa norma agama yang ada telah memberikan inspirasi yang menakjubkan bagi pekerjaannya.
Apalagi mereka sering mendengarkan ceramah para Ustad yang mengatakan bahwa tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah. Ini dianggap sebagai peluang dan memberi kesempatan kepada para konsumen untuk memberi mereka uang dan yang pasti pahala untuk para dermawan.
Uniknya, pengemis mempunyai gaya hidup hedonis serba materi, agama hanya hayalan belaka. Ini sejalan dengan pemikiran Karl Marx, bahwa manusia merealisasikan diri hanya dalam khayalan agama, karena struktur masyarakat nyata tidak mengijinkan manusia merealisasikan diri dengan sungguh-sungguh.
Para pengemis tidak benar-benar menghayati keagamaan yang mereka anut, ritual yang dilakukan seperti shalat dan puasa tidak merubah pola pikir dan cara hidup mereka yang tetap memilih menjadi pengemis, sesudah kaya pun mereka tetap saja mengemis, bahkan aktivitas itu ditularkan kepada keturunannya hingga empat generasi.
Rupanya, urusan model pengemis kerap menggunakan simbol-simbol keagamaan; dengan cara memberikan doa pada yang memberikan uang, mampu mengetuk rasa keberagamaan para dermawan, membaca Al-Quran dan mendemonstrasikan hafalan Quran, menggunakan magic dan mitos, membaca solawat dengan diiringi rebana, pengemis wanita memakai baju muslim dan laki-laki memakai baju koko.
Untuk modus operandi pengemis ada 18 bentuk; datang dari rumah ke rumah, menggendong bayi, manusia silver, menuntun tunanetra, menggendong orang cacat, berpura-pura tidak melihat, membawa anak yatim dan proposal, membawa monyet, menari dan menggunakan topeng, membawa kemoceng, menggunakan alat tradisional seperti kecapi dan suling, duduk sambil membaca Al-Quran, menggunakan hafalan shalawat dan Al-Quran, membaca shalawat dan tape recorder, membawa kotak amal untuk masjid, bermain drama di bis kota, berdakwah di bis kota dan memperalat anak asuh.
Baca Juga: Komunikasi Politik Pajak
Nyatanya di kalangan pengemis ini mereka melakukan modifikasi terhadap ajaran-ajaran agama sehingga mampu menghasilkan keuntungan secara ekonomi sesuai dengan keinginan dan harapan, mereka telah melakukan komodifikasi keagamaan. Barang-barang keagamaan dikalangan pengemis muncul dalam berbagai bentuk, rupa, dan warna. Menghafal Al-Qur’an, doa, jampi-jampi, berbagai jenis minyak pengasihan, rajah untuk mendapatkan kekuatan, sesaji, untuk manusia yang dianggap keramat. Ini semua memiliki nilai pertukaran dan kegunaan bermotifkan ekonomi (uang). (Jurnal Dakwah, Vol. XVI, No. 2 Tahun 2015:258-289)
Walhasil, tumbuh suburnya pengemis di Kota Bandung bukan hanya dilatar belakangi oleh faktor kemiskinan, sosial, budaya, susahnya mencari pekerjaan, ketidak memiliki kemampuan (ahli) dalam bekerja, tapi pemahaman keagamaan yang menerima takdirnya sebagai pengemis yang tidak bisa dirubah menjadi pemicu keberadaan “kampung pengemis.” Ini perlu kita kritisi cara berpikir dan berkeyakinan model itu, sehingga terlahir teologi aktif yang terus menggerakkan hati, pikiran, keyakinan untuk bekerja dan mendapatkan uang.
Tentunya, upaya mengentaskan persoalan pengemis, pengamen ini tidak hanya dibebankan kepada pemerintah Kota Bandung, tetapi harus menjadi tanggung jawab bersama dalam menyelesaikan persoalan pengemis dan kemiskinan ini.
Caranya carilah nafkah, sesuai dengan kemampuan masing-masing yang telah diberikan bekal, potensi yang baik dan halal, bukan mengandalkan belas kasihan orang untuk menerima dermaan dan sedekah. Mudah-mudahan kita termasuk kedalam golongan umat yang selalu aktif memberi daripada menerima. Apalagi meninta-minta dengan cara paksa. Semoga. (*)