Bangunan Gereja Kristen Pasundan Jemaat Palalangon di Cianjur, Jejak Interaksi Sunda dan Kekristenan. (Sumber: Dokumentasi Pribadi | Foto: Arfi Pandu Dinata)

Ayo Netizen

Membayangkan Sunda Tanpa Kristen (?)

Minggu 28 Sep 2025, 11:10 WIB

Di Palalangon, Cianjur. Di Cikembar, Sukabumi. Di Cideres, Majalengka. Tumbuh ruang hidup yang disebut dengan kampung Sunda Kristen, mematahkan anggapan liar kalau Sunda soal satu agama. Meski jika kita amati lebih mendalam, terselip pilu segregasi sosial entah akibat kolonialisme atau resistensi di masa lalu. 

Begitu juga wajah inkulturasi Katolik yang muncul di Cigugur, Kuningan. Paroki Kristus Raja menyulam budaya Sunda dalam upacara seren taun, degung, dan hiasan janur kelapa. Kehadirannya berhasil menepis stigma kalau Sunda selalu sama. Tapi lagi-lagi di balik itu, jika kita mau mencari tahu, tersimpan trauma masa lalu dari kisah para pencari suaka kala negara memaksa warga memilih agama. 

Namun kini kita katakan, “biarlah”. Biarlah di tengah dilema itu, kita belajar jujur menjadi Sunda adanya, menggenggam keragaman dan kerapuhan sekaligus.

Pelayanan Kristus yang (Masih) Kita Warisi

Sunda tanpa Kristen barangkali akan lain warnanya. Seperti dicatat oleh Jan Sihar Aritonang dan Karel Steenbrink dalam A History of Christianity in Indonesia (2008), sekolah guru pertama di Bandung yang berdiri pada 1901 dan berani memakai bahasa Sunda sebagai bahasa pengantar lahir dari tangan para zendeling.

Bayangkan ruang kelas itu, bangunan dengan papan tulis kayu, cahaya matahari menembus jendela besar, penginjil yang sabar menuntun anak-anak membaca dan menulis dalam bahasa mereka sendiri.

Begitu pula rumah sakit modern pertama di Tanah Sunda, Cideres di Majalengka (1897) dan Immanuel di Bandung (1910), yang membuka pintu bagi pelayanan kesehatan modern. Tempat warga bisa mendapat perawatan medis, di antara aroma antiseptik yang menggantung di lorong dan ubin dingin. Darinya juga terdengar langkah yang berderap ringan dan denting baki logam saat obat diantarkan untuk harapan kesembuhan.

Pelayanan pendidikan dan kesehatan ini bukan sekadar proyek sosial modern, melainkan wujud nyata kesaksian iman dalam menjadi terang Kristus. David J. Bosch dalam Transforming Mission: Paradigm Shifts in Theology of Mission (1991) menekankan bahwa misi Kristen yang sejati tak hanya menyampaikan Injil lewat kata-kata, tetapi meneladani karya Yesus sebagai guru (rabbi) yang mengajar dengan telaten dan penyembuh (rofeh) yang bisa merawat luka manusia.

Setiap kelas yang yang diisi gelak tawa anak-anak, dan setiap bilik pasien yang bercurah angan kesehatan, berhasil menembus batas status manusia, menghadirkan Tuhan dalam doa hidup yang lebih baik.

Dari karya-karya pelayanan sosial ini, benih gereja bersamaan disemai dan tumbuh di Tanah Sunda. Kehadiran sekolah dan rumah sakit membuka ruang bagi komunitas untuk bersatu dalam iman kristiani. Pada tahun 1934 Gereja Kristen Pasundan (GKP) muncul di tengah identitas Sunda di Pulau Jawa bagian barat dengan Rad Ageung-nya (Majelis Besar), sementara komunitas Tionghoa Kristen merintis jemaat sendiri pada 1928 dan kemudian lahir Gereja Kristus pada 1958. Langkah ini diikuti Gereja Kristen Indonesia yang berdiri setelah perjalanan panjang sejak 1927.

Gereja-gereja ini mungkin kini lebih sering disederhanakan sebagai organisasi bagi orang-orang kristiani yang hidup di Tanah Sunda. Namun karyanya seperti layanan pendidikan dan kesehatan bermekaran di mana-mana, membuka ruang inklusif bagi semua orang.

Bidan Bagi Bahasa Sunda Modern

Dunia Kristen juga mengambil peran melalui rekonstruksi bahasa Sunda modern. Menurut Atep Kurnia dalam “Het Soendaneesch Vereischte: Bahasa Sunda bagi para Pegawai Perkebunan di Priangan, 1890-1928” (Lopian, 2021), semenjak pertengahan kedua abad ke-19, sejumlah misionaris aktif mengkaji bahasa Sunda. Tokoh-tokohnya antara lain J.R.F. Gonggrijp, Adriaan Geerdink, G.J. Grashuis, W.H. Engelmann, Sierk Willem Coolsma, dan Hendrik Jan Oosting.

Gonggrijp mendirikan kursus bahasa Sunda pertama di Delft bagi calon pengajar dan pegawai kolonial. Coolsma menerbitkan Handleiding bij de beoefening der Soendaneesche Taal (1873) untuk memudahkan misionaris dan pegawai Eropa memahami bahasa dan budaya Sunda, sekaligus mendukung penerjemahan Injil. Grashuis menyusun antologi tulisan Sunda sebagai buku teks. Oosting menyiapkan pedoman belajar Sunda bagi pengajar di Eropa.

Geerdink pada tahun 1875 menerbitkan Soendaneesch-Hollandsch Woordenboek, sebuah kamus dwibahasa Sunda-Belanda. Beberapa tahun kemudian Oosting menyumbangkan dua kamus penting, yaitu Soendasch-Nederduitsch Woordenboek (1879) yang menulis bahasa Sunda dengan aksara hanacaraka, dan Nederduitsch-Soendasch Woordenboek (1887) kamus dwibahasa Belanda-Sunda.

Di samping itu, Coolsma menyusun Soendaneesch-Hollandsch Woordenboek pada 1884 dan kemudian merevisinya pada 1913. Tiga tokoh ini adalah bagian lima orang dari generasi pertama penyusun kamus Sunda.

Para misionaris juga memainkan peran penting dalam menentukan cara menulis dan membaca bahasa Sunda dengan aksara Latin. Mikihiro Moriyama dalam Semangat Baru: Kolonialisme, Budaya Cetak, dan Kesastraan Sunda Abad ke-19 (Edisi Revisi, 2013) menuliskan peran W. H. Engelmann, sebagai penerjemah dari Nederlands Bijbelgenootschap (Perhimpunan Alkitab Belanda), yang menawarkan gagasan soal penulisan vokal pepet pendek dan panjang dengan tanda e dan eu. Di tengah diskursus itu Grashuis, misionaris dari Nederlandsche Zendingsvereeniging (Serikat Penginjil Belanda) dan dosen bahasa Sunda pertama di Universitas Leiden, ikut menimbrung dengan menyodorkan berbagai sistem transliterasi. Dia yang memperkenalkan tujuh vokal Sunda dan menyarankan penggunaan huruf u untuk vokal pepet panjang. 

Tanpa pengaruh Kekristenan, rekonstruksi bahasa Sunda modern baik dalam kamus, pedoman belajar, maupun transliterasi aksara Latin mungkin akan berjalan sangat berbeda. Kita mungkin tak menyadari bahwa susunan bahasa Sunda seperti yang kita kenal sekarang lahir dibidani oleh para misionaris. Inovasi, penyesuaian, dan sistematisasi bahasa diperkenalkan melalui interaksi dengan pendidikan dan kegiatan misi.

Pennycook dan Makoni dalam “The Modern Mission: The Language Effects of Christianity” (Journal of Language, Identity & Education, 2009) menerangkan bahwa pilihan misionaris untuk menggunakan bahasa lokal melampaui sekadar pemilihan medium. Ia menandai pembentukan dan penataan ulang bahasa itu sendiri. Proyek bahasa misionaris menjadi kekuatan yang menentukan, membentuk, dan mencipta bahasa-bahasa di berbagai penjuru dunia.

Warisan para ahli bahasa ini adalah sebuah dunia di mana pandangan dan penggunaan bahasa tertentu dijalankan atas nama penyebaran ajaran Kristen. Dengan begitu pengaruh misionaris Kristen tidak hanya tampak dalam praktik keagamaan dan pendidikan, tetapi juga menorehkan jejak yang abadi dalam rupa dan hidup bahasa itu sendiri.

Trinitas dan Tritantu

Kristen dan Sunda tidak berhenti pada lembar sejarah. ia terus bernapas, bergumul, dan meneguhkan wajahnya dalam potret kiwari. Salah satu cerminnya adalah pemikiran Pdt. Hariman A. Pattianakota, yang menawarkan kerangka teologi kontekstual berwatak Sunda.

Dalam tulisannya “Gereja Tiga Dimensi: Upaya Mengkonstruksi Eklesiologi Kontekstual bagi Pembangunan Jemaat dan Penataan Gereja di Gereja Kristen Pasundan Berdasarkan Paradigma Trinitas dan Tritangtu” (2019), ia mengeksplorasi model bergereja yang unik, mempertemukan iman Kristen universal dengan gagasan kebudayaan lokal Sunda. Gereja Tiga Dimensi lahir dari dialog antara Trinitas, kerangka iman universal Kristen, dan Tritantu, struktur nalar budaya Sunda.

Lewat pengalamannya sebagai pendeta di GKP, ia menegaskan bahwa gereja bukanlah institusi dingin atau entitas asing yang berdiri sendiri. Gereja adalah komunitas yang hidup dan bergerak bersama masyarakatnya, menjadi sineger tengah yang menyulam iman ke dalam jalinan sosial dan budaya. Ia juga menegaskan bahwa gereja harus membuka diri, berbagi, hadir nyata, dan ikut serta bersama umat, menjembatani relasi antara iman dan dunia.

Ibadah Penahisan Pendeta di GKI Taman Cibunut, Bandung (Sumber: Dokumentasi Pribadi | Foto: Arfi Pandu Dinata)

Dalam pandangan Gereja Tiga Dimensi, persoalan gereja tidak bisa dilepaskan dari masyarakat dan bangsa. Gereja yang baik adalah gereja yang tumbuh dari akar iman, mengalir bersama budaya di sekitar gereja bertumbuh, dan menebarkan jalinan relasi yang berkelanjutan. Dengan begitu keberadaan gereja bukan sekadar bangunan, tetapi organisme hidup yang meneguhkan dan menumbuhkan komunitas di sekitarnya.

Dari pemikiran Pdt. Hariman A. Pattianakota ini, setidaknya kita bisa menangkap dua pelajaran penting. Pertama, ada peringatan panggilan misi untuk internal umat Kristiani agar melanjutkan karya kebaikan mereka. Sehingga imannya tidak sebatas jadi identitas, tetapi nyata dan bermanfaat bagi sesama. Kedua, tersirat pesan bahwa orang Kristen yang hadir di Tanah Sunda terus berupaya sungguh-sungguh untuk hidup bersama masyarakat, menempatkan diri bukan sebagai asing, melainkan sebagai bagian dari jaring-jaring sosial dan budaya kita.

Dari sinilah kita belajar soal saling pengertian yang hakiki, di balik keyakinan bahwa agama dan budaya dapat berjalan berdampingan.

Lokal Global

Sunda dan Kristen adalah bagian dari kebudayaan kita. Lihatlah Pdt. Prof. Dr. Ihromi, M.A, putra Garut yang tumbuh sebagai orang Sunda tulen, namun suaranya lantang hingga forum-forum mancanegara. Ia bukan hanya pendeta yang berdarah Sunda, melainkan seorang akademisi kelas dunia. Berkelana mencari ilmu di Harvard, jadi doktor magna cum laude di Jerman, jadi pakar bahasa Ibrani dan Semit yang perdana di Indonesia.

Kiprahnya selaku wakil ketua Dewan Gereja-Gereja se-Dunia mengingatkan kita pada akar keluarganya, Sunda yang berbeda agama. Darinya dia berangkat, merentang jauh, menjembatani iman dan ilmu, membuka ruang dialog antaragama, sekaligus menegaskan bahwa orang Kristen Sunda bukanlah orang asing di tanahnya sendiri.

Di tengah lembaran fakta demi fakta di atas, Sanggar Mekar Asih menyalakan api lain lewat konten dan musik rohani yang nyunda. Dari YouTube kita bisa menyimak suara-suara mereka, kidung doa dalam bahasa ibu yang hangat. Di balik karya itu ada ketekunan yang sederhana, lafal Kekristenan yang tidak melulu diidentikkan sebagai lidah asing.

Dua wajah ini, seorang teolog besar yang menembus batas dunia dan sebuah sanggar kecil yang menghidupkan iman lewat budaya, menjadi penanda bahwa Kekristenan di Sunda punya denyutnya sendiri. Dari Ihromi kita belajar tentang keberanian mengangkat iman ke percakapan global, dan dari Sanggar Mekar Asih kita merasakan kehangatan iman yang mengakar di lokal.

Mebayangkan Sunda tanpa Kristen, rasanya terlalu sulit. Sunda mungkin akan tetap ada, tetapi dirinya akan banyak kehilangan gema dari suara-suara ini. Suara kemanusiaan di jalur pendidikan dan kesehatan, suara profetik yang datang dari gereja, suara Sunda yang dibukukan dengan rapi, suara dalam untai pemikiran teologi, suara ketokohan, dan suara iman ala lokal. Semua adalah kontribusi nyata yang turut merangkai identitas Sunda. Mugi Gusti ngaberkahan. (*)

Tags:
kebudayaanKristenSunda

Arfi Pandu Dinata

Reporter

Aris Abdulsalam

Editor