Dalam ingatan kolektif masyarakat Sunda, nama Prabu Siliwangi menempati ruang istimewa. Ia bukan hanya seorang penguasa Pajajaran, tetapi juga sosok yang diwariskan sebagai simbol kepemimpinan arif, penjaga harmoni, dan penata kerajaan dengan visi panjang.
Sejarah dan legenda tentangnya hidup dalam prasasti, naskah, hingga cerita rakyat, menyisakan jejak yang bisa ditafsirkan ulang sebagai sumber inspirasi tata kelola birokrasi modern.
Sri Baduga Maharaja, nama resmi Prabu Siliwangi yang bertakhta di Pakuan Pajajaran pada abad ke-15. Dari prasasti Batutulis di Bogor kita mengetahui beberapa kebijakan pentingnya: pembangunan parit untuk irigasi dan pertahanan, pendirian balai pertemuan rakyat, serta penetapan hutan larangan sebagai kawasan konservasi.
Catatan sederhana ini sesungguhnya merekam prinsip pengelolaan pemerintahan yang sistematis. Bagi masyarakat modern, langkah-langkah tersebut adalah bentuk awal birokrasi, yakni sistem aturan, struktur, dan kebijakan yang memastikan keteraturan hidup bersama.
Birokrasi sebagai Harmoni
Jika kita menengok filsafat Sunda kuna, ada sebuah ungkapan yang terus bergema yaitu tata titi tentrem kerta raharja. Ungkapan ini bermakna kehidupan yang tertata rapi, damai, dan sejahtera. Inilah visi yang mendasari pemerintahan Prabu Siliwangi. Birokrasi dalam kerangka itu bukan semata-mata soal administrasi, melainkan instrumen untuk menjaga keseimbanganantara manusia dengan sesamanya, manusia dengan alam, dan manusia dengan kekuasaan.
Di masa kini, kita sering memandang birokrasi hanya dalam kacamata efisiensi atau efektivitas. Padahal, warisan Siliwangi menunjukkan bahwa birokrasi juga harus berjiwa. Birokrasi hadir untuk mengayomi, bukan sekadar mengatur. Dengan cara pandang ini, kita diingatkan bahwa tata kelola pemerintahan tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai budaya yang membentuk karakter masyarakatnya.
Bagi rakyat Pajajaran, keberadaan aturan tertulis memberikan kepastian. Mereka tahu hak dan kewajibannya, mereka mengenali batas wilayah yang harus dijaga, dan mereka memahami apa yang dianggap larangan atau anjuran. Kepastian ini menjadikan birokrasi tidak semata bayangan kuasa raja, melainkan sistem yang bisa diprediksi. Dalam bahasa modern, Siliwangi sedang membangun rule of law, sesuatu yang hingga kini menjadi tantangan serius birokrasi Indonesia.
Salah satu kebijakan penting Siliwangi adalah pembangunan bale-bale pertemuan di pusat kerajaan. Bale bukan hanya bangunan fisik, tetapi institusi sosial. Di tempat itulah rakyat bertemu, bangsawan berdiskusi, dan keputusan kerajaan disosialisasikan. Dengan kata lain, bale adalah ruang komunikasi publik.
Jika ditarik ke masa kini, fungsi bale dapat disejajarkan dengan prinsip transparansi dan partisipasi dalam pemerintahan modern. Rakyat bukan sekadar objek, melainkan subjek yang memiliki ruang menyampaikan aspirasi. Birokrasi menjadi medium untuk menyalurkan suara rakyat, bukan sekadar menyalurkan perintah atasan. Spirit bale inilah yang hari ini bisa kita maknai ulang sebagai embrio e-government, forum konsultasi publik, atau kanal keterbukaan informasi.

Lebih dari aturan dan struktur, birokrasi memerlukan teladan. Dalam berbagai cerita rakyat, Prabu Siliwangi digambarkan sebagai pemimpin yang melindungi rakyat kecil. Ia menjaga keseimbangan, menolak kekuasaan yang menindas, dan lebih memilih jalan keteladanan. Karisma Siliwangi bukan semata berasal dari garis darah kerajaan, melainkan dari kepercayaan rakyat terhadap integritasnya.
Dalam konteks modern, ini mengingatkan kita bahwa birokrasi tidak hanya tegak oleh sistem merit dan regulasi, tetapi juga oleh etika kepemimpinan. Aparatur sipil negara, mulai dari level terbawah hingga tertinggi, dituntut menghadirkan integritas dan keberpihakan. Tanpa itu, birokrasi hanya akan menjadi mesin dingin tanpa keadilan. Prabu Siliwangi memberi pesan: birokrasi harus manusiawi.
Kebijakan hutan larangan yang ditetapkan Prabu Siliwangi adalah contoh bagaimana tata kelola kerajaan tidak mengabaikan lingkungan. Dalam prasasti disebutkan bahwa kawasan tertentu ditetapkan sebagai hutan larangan, tidak boleh dirusak atau dieksploitasi. Kebijakan ini bukan sekadar konservasi, melainkan strategi birokrasi untuk memastikan keberlanjutan hidup rakyat.
Pelajaran ini sangat relevan bagi birokrasi Indonesia hari ini. Di tengah krisis iklim, kebijakan pembangunan tidak bisa dilepaskan dari keberlanjutan lingkungan. Birokrasi modern harus mampu mengintegrasikan prinsip ekologi dalam setiap keputusan, sebagaimana yang telah dilakukan Siliwangi berabad-abad lalu.
Relevansi bagi Birokrasi Indonesia
Mengapa kita perlu belajar dari Prabu Siliwangi? Karena birokrasi Indonesia saat ini tengah menghadapi tantangan besar yaitu digitalisasi, globalisasi, tuntutan transparansi, serta krisis integritas. Banyak kebijakan baik berhenti di atas kertas karena birokrasi tidak mampu menginternalisasi nilai. Padahal, jika kita menengok ke belakang, nilai-nilai itu sudah ditanamkan oleh leluhur.
Dari Siliwangi kita belajar bahwa birokrasi harus berakar pada budaya lokal, bukan hanya meniru model barat. Kita juga belajar bahwa birokrasi bukan sekadar mesin pengatur, tetapi sarana mewujudkan harmoni sosial. Lebih jauh, kita belajar bahwa kepemimpinan adalah soal keteladanan, bukan sekadar jabatan.
Memang, kita tidak bisa menyalin praktik birokrasi abad ke-15 ke abad ke-21. Konteksnya berbeda, tantangannya pun tidak sama. Namun, sejarah memberi kita inspirasi nilai. Menafsir ulang Siliwangi bukan berarti romantisme, melainkan upaya mencari pijakan lokal dalam membangun birokrasi yang relevan.
Di tengah kritik publik bahwa birokrasi Indonesia lamban, koruptif, dan kaku, kita memerlukan inspirasi segar. Warisan Prabu Siliwangi menunjukkan bahwa birokrasi bisa menjadi sarana membangun keteraturan, kesejahteraan, dan keberlanjutan. Kuncinya ada pada visi, aturan yang jelas, ruang partisipasi, kepemimpinan beretika, serta keseimbangan dengan alam.
Dengan demikian, Prabu Siliwangi bukan sekadar legenda atau tokoh sejarah. Ia adalah cermin. Melalui dirinya, kita diingatkan bahwa birokrasi sejatinya adalah jalan menuju kehidupan tata titi tentrem kerta raharja yaitu tertata, damai, dan sejahtera. Tugas kita sekarang adalah menafsir ulang nilai itu dalam konteks Indonesia modern, agar birokrasi benar-benar hadir sebagai pelindung dan pengayom rakyat. (*)