Program Makanan Bergizi Gratis (MBG) (Sumber: Pemprov Jateng)

Ayo Netizen

Eskalasi Kekecewaan terhadap MBG: Perspektif Kualitas Kebijakan

Kamis 16 Okt 2025, 12:44 WIB

Makan Bergizi Gratis (MBG) merupakan program inisiasi dari Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming sebagai janji kampanye mereka kala pemilihan Presiden dan Wakil Presiden periode 2024-2029.

Tentu saja kebijakan itu menuai harapan rakyat-rakyat kecil yang haus akan kebijakan yang riil dan langsung menyentuh tangan rakyat. Bagaimana tidak, salah satu janji yang didengungkan tersebut langsung memberikan energi persentase yang membuat elektabilitas pasangan Prabowo-Gibran meningkat.

Hal tersebut didukung hasil survei yang menunjukkan bahwa mayoritas responden yakin program makan bergizi gratis di era Prabowo-Gibran akan berjalan dengan baik. Sebanyak 57,3 persen responden percaya program itu akan terwujud (Litbang Kompas, 2024).

Hasil Pemilihan Umum 2024, Prabowo-Gibran terpilih secara resmi menjadi Presiden dan Wakil Presiden periode 2024-2029. Tepat setelah seratus hari program kerjanya, tanggal 29 Januari 2025, beberapa program telah dilakukan dan sejumlah kebijakan telah diambil oleh pemerintah.

Penghapusan utang UMKM merupakan kebijakan besar yang diambil pemerintah di awal masa kerjanya. Selanjutnya beberapa kebijakan pemerintah diantaranya penyelenggaraan pilkada serentak, peningkatan kesejahteraan guru, kenaikan upah minimum nasional, penurunan harga tiket pesawat, kenaikan harga pembelian pemerintah dan penghentian impor beras, peluncuran paket stimulus ekonomi, makan bergizi gratis, penurunan biaya haji, pembaharuan kebijakan devisa hasil ekspor, pembangunan infrastruktur, penanganan cepat bencana, efisiensi anggaran, serta mendorong investasi dan memperkuat kerja sama luar negeri.

Sejak 6 Januari 2025, program MBG dimulai secara resmi di sejumlah daerah di Indonesia, dengan telah melalui uji coba sebelumnya. Target program prioritas pemerintah ini ialah siswa PAUD hingga SMA, santri, ibu hamil, dan ibu menyusui untuk meningkatkan gizi dan kualitas sumber daya manusia. Pada pelaksanaannya, MBG tidak berjalan dengan mulus dan lancar.

Data pemerintah melalui Badan Gizi Nasional, Kementerian Kesehatan, dan BPOM sudah tercatat total korban dari kasus keracunan MBG ini berada di kisaran 5 ribu orang. Gejala yang dirasakan oleh korban keracunan ini mulai dari diare, gatal-gatal di seluruh badan, mual muntah, bengkak wajah, gatal tenggorokan, sesak nafas, pusing, sampai sakit kepala.

Keracunan menu MBG hingga September 2025 ini mencakup beberapa daerah, diantaranya Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Sumba Timur, Kabupaten Bombana, Kabupaten Cianjur, Kota Bogor, Kabupaten Lebong, Kabupaten Banggai Kepulauan, Kabupaten Garut, Kabupaten Bandung Barat, dan Kabupaten Ketapang.

Kondisi yang cukup memprihatinkan ini tentu saja jangan diabaikan dan dianggap sepele, karena menimbulkan eskalasi kekecewaan rakyat terutama “emak-emak” yang banyak menyuarakan hal ini melalui media sosial. Ada yang membuat status “berikan mamak 15ribu, MBG akan disulap menjadi menu hotel dan restoran”. Ada juga yang membuat status “jika memang 10ribu atau 15ribu malah tidak sesuai ekspektasi, lebih baik alihkan saja dana MBG untuk keperluan daerah terpencil, dsb”.

Kedua, adanya masalah distribusi dan transparansi pelaksanaan program. Banyak orang tua mengeluhkan ketidakmerataan penerimaan bantuan, bahkan ada laporan adanya penyalahgunaan dana atau korupsi yang membuat makanan bergizi tersebut tidak sampai ke tangan yang membutuhkan. Hal ini memperparah rasa ketidakadilan dan kekecewaan, terutama di kalangan masyarakat yang sangat bergantung pada bantuan tersebut.

Selain itu, kurangnya komunikasi yang efektif dari pihak penyelenggara program membuat aspirasi dan keluhan orang tua tidak terdengar dengan baik. Mereka merasa suaranya diabaikan sehingga rasa frustrasi pun bertambah. Ibu-ibu, sebagai ujung tombak keluarga dalam mengatur pola makan dan kesehatan, merasa dikecewakan ketika program yang seharusnya mendukung mereka justru tidak berjalan optimal.

Program Makan Bergizi Gratis (MBG). (Sumber: setneg.go.id)

Program MBG sejatinya menjadi langkah strategis pemerintah untuk memastikan masyarakat, khususnya kelompok rentan seperti ibu-ibu dan anak-anak, mendapatkan asupan nutrisi yang cukup demi menunjang kesehatan dan tumbuh kembang. Namun, ironisnya, dalam pelaksanaannya, program ini sering kali menimbulkan kekecewaan yang semakin meningkat dari masyarakat.

Alangkah lebih baiknya jika kebijakan MBG ini dimonitor dan dievaluasi. Monitoring dilakukan karena program MBG ini sudah berjalan selama sembilan bulan lebih. Evaluasi dilakukan untuk meninjau hal apa saja yang menjadi permasalahan dari kebijakan MBG ini, untuk selanjutnya dapat dilakukan perbaikan.

Ditinjau dari perspektif kualitas kebijakan, tentu ada hal yang terabaikan dalam perumusan kebijakan MBG ini. Empat dimensi dalam mengukur kualitas kebijakan tentu dapat menjadi pedoman dalam evaluasi kebijakan ini. Dimensi pertama, dalam perencanaan kebijakan, dapat digambarkan bahwa keterlibatan pemangku kepentingan dan kelompok sasaran kebijakan masih belum maksimal, padahal orang tua dapat dilibatkan dalam penyusunan kebijakan ini. Selain itu, adanya keterbatasan petunjuk teknis yang sistematis dalam mengatur program MBG secara detail.

Implementasi kebijakan sebagai dimensi yang kedua, pengabaian dapat terjadi dari distribusi makanan yang tidak merata dan terlambat sehingga mempengaruhi kualitas makanan (menjadi basi dan kurang segar). Selain itu kurangnya pengawasan mutu selama proses produksi dan distribusi sehingga menimbulkan buruknya kualitas makanan bahkan sampai menimbulkan keracunan bagi penerima makanan.

Dimensi ketiga yaitu evaluasi dan keberlanjutan, bentuk pengabaian dapat terjadi dengan sistem evaluasi yang belum rutin dan sistematis, minimnya pemantauan dan pelaporan berkala yang transparan untuk memperbaiki program, bahkan perencanaan anggaran belum pasti dan belum jelasnya keberlanjutan program ke depannya, walaupun ada angin surga bahwa Kementerian Keuangan akan menganggarkan kembali MBG ini di tahun 2026 nanti.

Yang terakhir dimensi transparansi dan partisipasi publik, pengabaian dapat terjadi pada informasi tentang pelaksanaan, anggaran, dan mekanisme pengadaan yang kurang terbuka untuk publik. Selanjutnya kurangnya mekanisme pengaduan dan partisipasi aktif masyarakat dalam pemantauan program.

Belum efektifnya komunikasipun membuat harapan publik tidak realistis dan menimbulkan kekecewaan. Yang tidak kalah pentingnya yaitu minimnya keterlibatan masyarakat dalam proses perencanaan dan evaluasi, sehingga program kurang responsif terhadap kebutuhan lokal.

Kebijakan MBG ini harus didekati dengan prinsip partisipatif, adaptif, dan berbasis data. Tanpa melibatkan pihak paling terdampak (seperti ibu-ibu), program bisa kehilangan arah dan kepercayaan publik.

Secara keseluruhan, eskalasi kekecewaan ini bukan hanya sekadar masalah administratif, tetapi telah menjadi cerminan kurangnya perhatian terhadap kebutuhan dasar masyarakat.

Untuk itu, kembali lagi, apakah pemerintah akan menampung eskalasi kekecewaan masyarakat terhadap MBG ini melalui perbaikan kebijakan MBG? Harapannya, MBG adalah bentuk pertolongan perbaikan gizi siswa, ibu hamil dan ibu menyusui, tanpa adanya korban lagi dalam pelaksanaan MBG ini. (*)

Tags:
kebijakan pemerintahMBGMakan Bergizi Gratis

Sulistianingsih

Reporter

Aris Abdulsalam

Editor