Setelah tunjangan rumah gagal naik karena protes masyarakat melalui aksi demo di sejumlah daerah yang ada di Indonesia. Tuntutan demo 17+8 bahkan hingga kini belum sepenuhnya di respon oleh anggota dewan. Tuntutan yang mencerminkan antara keresahan sosial, krisis ekonomi serta krisis legitimasi yang dirasakan oleh rakyat ketika banyak kebijakan kontroversional dibuat.
Suara gaungan rakyat mulai meredup di ranah publik dan menyisakan pertanyaan bagaimana nasib demokrasi serta daya tahan gerakan rakyat di Indonesia di masa depan. Sementara tuntutan 17+8 tak kunjung mendapat perhatian dari sejumlah anggota dewan. Beberapa tuntutan yang diajukan kepada anggota dewan yang berbicara serampangan kian terlupakan.
Kini Ahmad Sahroni bisa hidup damai dari suara rakyat yang pernah menuntut keadilan. Bahkan dirinya baru-baru ini diberitakan menghadiri acara wisuda setelah diduga menyelesaikan studi S3 nya di Universitas Borobudur dengan gelar doktor. Bahkan Uya Kuya sudah kembali melakukan aktivitas sebagai podcaster di tengah-tengah tugasnya sebagai anggota dewan. Sudewo sebagai bupati yang pertama kali menyulut aksi demo di Pati pun tetap melanjutkan jabatannya.
Sedih ya? Terlahir menjadi warga negara Indonesia?
Setelah tunjangan rumah gagal naik, mendadak media asing Reuters memberitakan bahwa sejumlah anggota Dewan Perkawilan Rakyat (DPR) justru menaikan dana reses hampir dua kali lipat dari anggaran sebelumnya. Pada periode 2019-2024 anggaran berjumlah 400 juta tapi pada periode 2024-2029 mengalami kenaikan drastis menjadi 702 juta. Bahkan melalui pantauan berita dari Kompas.com terdapat kelebihan pembayaran dana reses 756 juta yang pada mulanya dianggarkan 702 juta rupiah.
Dilansir dari media Reuters bahwa setiap anggota DPR kini akan mendapatkan Rp.700 juta ($42.200) untuk setiap reses yang sudah naik dari anggaran sebelumnya 400 juta. Kini sebanyak 580 juta anggota DPR di Indonesia mengambil sekitar lima kali reses dalam setahun.

Jumlah fantastis yang bisa dinikmati anggota dewan diluar gaji perbulan yang berkisar 65 juta tersebut digunakan untuk bekerja di luar gedung DPR selama 2-4 minggu. Seharusnya masa reses tidak hanya sekedar waktu berkeliling di daerah pemilihan (dapil) masing-masing. Menurut aturan seharusnya masa tersebut digunakan anggota dewan untuk mendengar dan menyerap aspirasi dari masyarakat dan bukan waktu yang bisa digunakan untuk liburan.
Aspirasi seharusnya bukan hanya didengar lalu dilupakan tapi dicari langkah penemuan solusi bagaimana keluhan tersebut bisa segera diselesaikan oleh pihak pemerintahan. Masih dilansir dari Reuters kenaikan tersebut diakibatkan pada periode 2019-2024 tidak memperhitungkan kenaikan harga makanan pokok dan biaya transportasi.
Memang luar biasa pejabat kita, kenaikan tersebut menjadi penting untuk ditambahkan karena mereka memegang jabatan. Tapi bagaimana dengan nasib rakyat di tengah krisis ekonomi yang semakin menurun tajam dan dibiarkan berjuang dan bertahan sendirian. Aksi judol dan pinjol kian tidak pernah terselesaikan. Sementara masyarakat dibiarkan menumpuk hutang atau bahkan mengakhiri hidupnya karena krisis ekonomi yang kian hari tidak bisa ditangani dan mendapat perhatian khusus dari pemerintah.
Angka kemiskinan makin melesat tajam, biaya pendidikan semakin mahal, kesejahteraan kesehatan pun kian tak dipedulikan hingga kasus Raya menjadi bukti betapa bobroknya sistem kesehatan di negara tercinta ini. Adakah para pemimpin negeri ini mempunyai hati, empati dan simpati sekecil debu sekalipun ? nahasnya ketika rakyatnya sengsara mereka masih saja memperdulikan kesejahteraan dirinya sendiri.
Wahai para pemimpin negeri ini, apakah kalian tidak malu? bahkan ketika media asing pun mengakui dalam liputan beritanya bahwa Indonesia yang kaya dengan komoditas dan memegang ekonomi terbesar di Asia Tenggara serta masuk sebagai anggota G20 tapi Bank Dunia mengatakan masih banyak puluhan juta orang di Indonesia yang masih hidup dalam garis kemiskinan.
Bahkan Lucius Karus selaku peneliti di Formappi mengungkapkan kekesalannya
Dari pernyataan tersebut kita sebagai warga negara seolah telah di prank. Kita mudah tenang dengan iming-iming pemerintah yang meredam kemarahan kita melalui tindakan-tindakan manipulatif. Kita mudah puas dengan langkah yang diambil pemerintah dan melupakan begitu saja apa yang menjadi hak dan keadilan kita sebagai warga negara.
Panjang Umur Perjuangan!