RUANG terbuka hijau di Kota Bandung kian menyusut. Bandung semakin padat. Bangunan menjamur. Halaman rumah menyempit.
Pohon-pohon ditebang pelan. Untuk kebutuhan lahan parkir. Untuk keperluan perluasan jalan. Untuk kepentingan proyek komersial.
Deforestasi mikro makin sering terjadi. Potong satu pohon. Tambah satu beton. Dampaknya, suhu kota merangkak naik. Malam terasa lebih hangat. Siang semakin terik. Orang gampang gerah dan kepayahan.
Fenomena tersebut punya nama ilmiah: urban heat island. Teori tentangnya diapungkan oleh TR Oke, seorang pakar klimatologi perkotaan.
Oke menjelaskan mekanisme urban heat island secara sederhana. Menurutnya, semakin banyak bahan yang menyimpan panas, sementara vegetasi berkurang, maka, suhu permukaan naik.
Di Bandung, hal tersebut nyata. Aspal semakin luas. Gedung semakin banyak. Adapun naungan pohon kian sedikit.
Hasilnya, bukan cuma rasa tidak nyaman. Ada konsekuensi lain yang nyata pula. Konsumsi energi meningkat. AC menjadi kebutuhan pokok.
Imbas susulannya, tagihan listrik rumah maupun kantor membengkak. Beban puncak PLN melonjak. Subsidi energi sulit dicegah. Dan krisis kecil membayangi.
Di sisi lain, kesehatan warga dapat ikut terganggu. Heat stress alias stres karena panas jadi ancaman. Orang lanjut usia kian rentan. Anak-anak pun bisa kena dampak buruknya.
Buntut lain minimnya vegetasi, air hujan sukar meresap. Aliran air cepat menuju sungai. Banjir cileuncang lebih sering menghampiri. Tanah kehilangan fungsi.
Ketimpangan ruang hijau muncul. Kawasan elite terlihat rindang. Permukiman padat kering gersang. Keadilan lingkungan terlihat njomplang.
Dalam hal ini, perencanaan kota punya andil. Pemegang kebijakan sibuk merancang program. Pengembang perlu lahan. Profit menjadi alasan. Ruang hijau akhirnya kerap jadi korban.
Peta tutupan lahan
Data soal tutupan lahan penting. Peta tutupan lahan harus terbuka. Kebijakan pohon kota harus tegas. Tidak sekadar menanam seremonial. Ada target kronologis. Ada pengukuran nyata.
Skema insentif perlu dirancang. Pemilik lahan diberi kompensasi. Pengembang dipaksa menanam lebih. Corporate social responsibility (CSR) diarahkan ke penghijauan.
Rooftop garden sebaiknya digalakkan. Subsidi material diberikan. Koridor hijau di sepanjang sungai juga penting. Sungai menjadi ruang ekologi, bukan tempat sampah. Riparian buffer harus dipulihkan.
Trotoar harus rindang. Naungan pohon mesti berjejer sepanjang jalan dan sejauh mata memandang. Pejalan kaki pasti lebih nyaman. Polusi juga berkurang.
Sekolah perlu pula lahan hijau. Anak-anak butuh bermain di lahan penuh pohon. Pendidikan lingkungan perlu dimulai sejak dini agar generasi berikut ikut peduli.
Kampung-kampung harus dilindungi. Permukiman tradisional punya pohon. Jangan digusur tanpa kompensasi.
Pasar tradisional juga bisa hijau. Atap pasar bisa menjadi taman. Udara di sekitar bakal lebih sejuk. Penjual senang, pembeli betah.
Transportasi ramah iklim mestinya menjadi kewajiban. Kurangi ketergantungan pada kendaraan pribadi. Sepeda dan pejalan kaki dijadikan prioritas.
Energi terbarukan harus masuk kota. Misalnya, panel surya dan microgrid untuk fasilitas publik.
Bank tanah hijau bisa dipertimbangkan, yakni tanah khusus untuk ruang hijau. Komunitas diberi hak untuk akses dan pengelolaannya.
Menanam saja tidak cukup

Inventaris pohon kudu dibuat. Data setiap batang tercatat. Jenis, diameter, dan manfaatnya. Agar tidak mudah ditebang. Agar nilai ekologinya terlihat.
Pemeliharaan jangan disepelekan. Menanam saja tidak cukup. Siram teratur. Pupuk berkala. Pohon sehat memperkuat kota.
Setiap izin bangun mesti punya syarat hijau. Rasio lahan terbuka wajib dipenuhi. Ada sanksi bagi yang melanggar. Tegas tanpa kompromi.
Ruang hijau publik perlu merata. Jangan hanya terkonsentrasi di pusat kota. Wilayah pinggiran juga penting. Keadilan ekologis harus hadir nyata.
Taman lingkungan bisa ikut menjadi solusi. Lahan sempit pun bisa hijau. Kebun komunitas dapat mempererat warga, sepanjang dijaga dan dipelihara bersama.
Konsep kota spons relevan diterapkan. Permukaan harus berpori. Air cepat masuk tanah. Sungai tidak kewalahan. Banjir menjauh.
Material ramah iklim perlu dipakai. Batu berongga. Paving grass. Fasad hijau. Dinding gedung pun bisa ditanami.
Drainase berkelanjutan wajib disiapkan. Kolam retensi disebar luas. Air tidak langsung dibuang. Air disimpan untuk masa kering.
Kolaborasi adalah kunci. Pemerintah merumuskan aturan. Swasta mendukung pembiayaan. Warga menjadi pengawas.
Gerakan menanam mesti rutin. Satu rumah, satu pohon. Satu gang, satu taman kecil. Semua ikut andil. Semua bangga berkontribusi.
Narasi ruang hijau harus kuat. Media mengabarkan manfaatnya. Influencer ikut bersuara.
Bandung mungkin perlu teladan kota lain. Melihat kota yang berhasil. Mempelajari yang gagal. Bandung bisa melakukan adaptasi. Jangan malu meniru.
Kota nyaman atau pengap
Kota Bandung bisa lebih hijau tanpa menunggu krisis besar. Keputusan sekarang menentukan esok. Jika kita menunda, kerusakan makin parah.
Pilihan sekarang di depan mata. Mau kota nyaman atau kota pengap. Mau anak cucu menikmati udara segar atau menanggung siksaan panas.
Bandung dikenal sebagai kota kembang. Julukan itu jangan dibiarkan sekadap basa-basi. Buktikan melalui tindakan. Pertahankan pesona hijau yang tersisa.
Setiap batang pohon punya cerita. Ia penyelamat kecil. Ia penyaring udara. Ia pelindung pejalan kaki. Ia harapan masa depan.
Mari menjaga pohon yang ada. Jangan biarkan ia tumbang sia-sia. Karena ketika satu hilang, panas bertambah.
Ruang hijau bukan bonus. Ia fondasi kota sehat. Ia kebutuhan pokok. Ia hak semua warga.
Menghijaukan kota bukan utopia. Ia bisa dicapai. Sedikit demi sedikit. Terus menerus. Tanpa putus asa.
Kota yang baik adalah kota yang peduli. Peduli pada bumi. Peduli pada sesama. Peduli pada generasi berikutnya.
Mulai dari hari ini. Dari halaman sendiri. Dari sekolah. Dari kantor tempat bekerja. Dari taman lingkungan.
Jika semua bergerak, perubahan tidak lagi wacana. Ia akan tumbuh. Seperti pohon. Perlahan, pasti, menghidupkan. Dan kota Bandung kembali rindang. (*)