Poster film GIE (2005). (Sumber: IMDB)

Ayo Netizen

Seperti Kita, Gie Juga Manusia Biasa

Selasa 28 Okt 2025, 06:13 WIB

Di tengah hiruk pikuk politik Indonesia, GIE hadir sebagai film biopik tentang seorang aktivis keturunan Tionghoa, Soe Hok-gie, yang hidup pada era 1960-an.

Film ini diadaptasi dari buku hariannya yang dibukukan berjudul "Catatan Seorang Demonstran" dan disutradarai oleh Riri Riza, serta diproduseri oleh Mira Lesmana. Kisahnya dimulai sejak masa remaja Gie di SMP Strada, tahun 1956.

Remaja dari Kebon Jeruk

Soe Hok-gie (Nicholas Saputra) dikenal sebagai seorang pemuda yang berani, bahkan sejak ia masih duduk di bangku sekolah. Misalnya, ada adegan ketika Pak Arifin—guru sekolahnya—menyebut bahwa pengarang "Pulanglah Dia si Anak Hilang" adalah Chairil Anwar karena tidak ada perbedaan antara pengarang dan penerjemah.

Hal itu ditentang oleh Gie remaja (Jonathan Mulia) karena ia tahu pengarang aslinya, namun teman-teman sekelasnya tidak. Karena berdebat dengan gurunya itu, Gie dijemur di bawah terik matahari di lapangan.

Ketika Han remaja bertanya pada Gie, kenapa dirinya terus melawan, Gie remaja menjawab bahwa tidak mungkin mereka bisa hidup bebas jika tidak karena melawan, seperti Sukarno, Hatta, atau Syahrir yang berani memberontak dan melawan kesewenang-wenangan.

Cerita kemudian berlanjut dari masa SMP-SMAnya ke masa kuliah di Fakultas Sastra, Universitas Indonesia, di mana sifat "melawan" dan "kritis"nya juga ikut terbawa ke bangku kuliah.

Foto stills dari film GIE (2005). Sumber: X/@FilmIndoSource

Kelahiran dan Kematian Sang Demonstran

Ketika berkuliah di Fakultas Sastra Universitas Indonesia, ia semakin giat menulis dan mengkritik pemerintah atau kebijakan yang dirasanya tidak sesuai, bahkan sampai menulis untuk Gerakan Mahasiswa Sosialis (GMSos). Ia juga terkadang menggelar diskusi bersama teman-temannya.

Sifat kritis dalam dirinya tidak langsung muncul. Sejak remaja, Gie sudah senang membaca buku. Dari situlah tumbuh rasa "kepedulian" dan "kemanusiaan"-nya. Ketika ada yang tidak beres dan tidak terasa benar, ia tidak segan untuk mengoreksi hal tersebut.

Dari apa yang telah ia perbuat, seperti menulis di surat kabar (misalnya Gerakan Pembaharuan, Sinar Harapan, atau Kompas), berdiskusi, atau mengikuti demonstrasi, dirinya malah mendapat musuh, bukan dukungan. Ketika Orde Baru dimulai, ia sempat hampir ditabrak mobil, dilempari kertas yang berisi tulisan ancaman pembunuhan dan dibuntuti oleh pria asing sewaktu hendak pulang.

Salah satu adegan dalam film GIE (2005). Sumber: X/@Aottacca (Sumber: X/@Aottacca)


Universitas Indonesia tempatnya mengabdi pun tidak luput dari sasaran kritiknya. Terlihat dari tulisannya yang berjudul "Wadjah Mahasiswa UI Jang Bopeng Sebelah". Alasan menulisnya disampaikan lewat monolog yang sebenarnya adalah surat untuk Herman, yaitu:

Akibatnya, ia mulai dijauhi oleh orang-orang di kampus (termasuk rekan dosen), dan hal-hal itu dituangkan dirinya dalam catatan hariannya yang merupakan satu-satunya teman ia bisa bebas bercerita dan berbicara, meski ia tahu tidak akan ada balasan apa-apa.

Kembali dari Tiada ke Tiada

Selain orang-orang di kampus, Gie juga ditinggalkan oleh Sinta, kekasih barunya. Ia juga mendengar kabar Han diculik karena aktivitas politik dari tantenya Han. Sementara teman-temannya kembali pada kehidupan masing-masing, ia tak punya teman untuk bercerita sama sekali. Di titik ini, kita melihat Gie sebagai manusia biasa yang sendiri dalam keyakinannya.

Pada akhirnya, GIE bukan sekadar kisah seorang aktivis, melainkan potret manusia yang rapuh dan sunyi di tengah idealisme. Keberaniannya menunjukkan bahwa melawan ketidakadilan sering kali berarti berjalan sendiri. Namun justru dari kesendirian itulah nilai perjuangan menjadi nyata. (*)

Tags:
aktivis keturunan TionghoaSoe Hok-gie

Luther

Reporter

Aris Abdulsalam

Editor