Masuk jurusan studi agama-agama, kata orang memangnya belajar apa? Tapi duduk di kelas psikologi umum satu semester, dan tambah satu tahun anteng di mata kuliah psikologi agama jilid 1 dan 2 bikin aku melihat agama dari sisi yang benar-benar berbeda.
Aku sering banget lihat orang yang piawai menilai manusia lainnya, entah stigma “kurang beriman,” atau “gak serius beragama.” Tapi pelan-pelan, aku mulai mengerti bahwa literasi publik kita masih rendah soal beragama itu sebagai proses hidup yang sangat manusiawi. Aku belajar bahwa keberagamaan itu berkembang seiring usia, pengalaman, dan refleksi diri, bukan cuma soal kepatuhan ritual atau pengetahuan pada ajaran.
Memoriku masih membekas, saat tema diskusi membahas soal cara anak-anak yang mencerap Tuhan, aku terkejut sendiri. Anak-anak punya imaji kalau Tuhan itu duduk laksana raja di singgasana dan bermahkota. Bagi usia ini, agama identik dengan hukuman dan aturan yang menakutkan. Bandingkan dengan lansia, yang seringkali beragama dengan renungan kematian, hidup di alam baka, atau refleksi eksistensi. Pokoknya materi-materi ini adalah bagian terbaik di studi agama-agama yang pernah aku alami.
Satu hal lain yang paling bikin aku takjub ialah pengalaman beragama. Di sini aku belajar bahwa ini inti dari kehidupan religius seseorang yakni sesuatu yang benar-benar dirasakan, bukan sekadar dipikirkan atau dihafalkan. Dosen-dosen menjelaskan istilah mysterium tremendum et fascinans, pengalaman yang menakutkan sekaligus memikat, yang bikin kita tersedot ke sesuatu yang nirduniawi.
Kita pastinya pernah masuk sedikit atau banyaknya dalam momen itu mungkin saat meditasi, adorasi, merapal mantra, berdoa yang khusyu, atau sekadar melihat pemandangan alam. Rasanya hening banget kan? Semua fokus ke batin, seakan ada energi yang menarik kesadaranku ke pusat pengalaman itu. Kita sulit menjelaskannya dengan logika, tapi yakinlah tubuh dan pikiran meresponsnya.
Di kelas, kami juga belajar soal kenabian dan wahyu, pengalaman menerima wangsit atau pencerahan. Aku dan teman-teman sempat skeptis, “Apakah itu delusi?” Tapi banyak literasi yang menekankan, selama pengalaman itu enggak merugikan orang lain, tidak ada kriminalitas, kekerasan, atau motif uang, itu adalah bagian dari perjalanan psikologis dan keagamaan seseorang.

Begitupun dengan topik konversi agama, yang selalu jadi huru-hara di luar sana. Tapi dalam studi aku jadi mikir tentang orang yang goyah imannya, bergumul dengan pertanyaan besar, dan akhirnya melakukan adaptasi religius baru yang intens. Aku pikir mereka yang berpindah agama itu keren banget. Mereka penuh keberanian, mau menerima resiko penolakan sosial, dan pastinya keterguncangan jiwa. Bayangkan saja, sesuatu yang sejak kecil dibiasakan lalu kemudian ditinggalkan-diubah, pahamkan maksudku soal “keren” di sini?
Seiring waktu terjerembab masuk dunia psikologi agama, aku akhirnya mengenal tentang trauma religius. Ternyata ada loh orang yang pernah dididik keras atau terpapar kekerasan dalam konteks agama. Luka batin itu nyata, dan bisa muncul sebagai gangguan kejiwaan yang berat. Termasuk hal lain, soal komentar teologis pada masalah kesehatan mental. Wah, ini sih seru banget.
Lapisannya kompleks, dalam banyak hal bukan moral semata, dan perlu empati serta penyembuhan. Kita melihat polemik ini dari soal keragaman gender dan seksualitas, adiksi dan depresi, isu bunuh diri, kesendirian, korban pemerkosaan, demensia, disabilitas, sampai kerasukan hantu.
Struktur psikologi agama menarik kajian yang lebih kaya. Kita mengenal kategori baru yang disebut spiritualitas dan New Age, yang kadang dianggap di luar mainstream.
Tahukah kamu bahwa ada kluster agama-agama yang menegaskan porsi esoteris lebih banyak ketimbang dimensi yang lainnya? Agama-agama tertentu lebih suka mengulas perihal konsentrasi, disiplin, kultivasi diri, dan sentuhan ‘dalam’. Di situ aku betul-betul mengenal bahwa agama dan kesejahteraan psikologis itu punya dunianya sendiri. Buddha, Falun Dafa, Scientology, SUBUD, Yahudi Kabbalah, Teosofi, okultisme, gnostisisme, dan rumpun lainnya, boleh dicek ya.
Wahai para peminat studi agama, ingatkah kita dengan Freud yang selalu jago bikin merinding sekaligus tersenyum dalam ungkapan “Agama itu penyakit jiwa yang menjangkit manusia sedunia”. Meski gagasan babon ini sangat kontroversial, tapi keberadaanya kayak alarm refleksi dalam kamar studi agama.
Bahwa agama bukan cuma ritual, teks, atau doktrin, tapi juga cerminan pergulatan mental manusia. Dalam lanskap deretan teori agama klasik, dari Tylor-Frazer sampai Geertz, Freud Si Psikoanalis muncul sebagai pengingat bahwa pengalaman religius punya sisi psikologis yang dalam.
Psikologi agama kunci buat kita memahami hubungan internal-halus antara manusia dan yang ilahi, menyingkap lapisan emosional, kognitif, perilaku, kehendak, dan eksistensial yang biasanya tersembunyi, memberi ruang bagi narasi keagamaan yang kadung dilihat sebagai fenomena sosial, budaya, atau teologis semata. (*)