Subuh hari Senin, 12 Jumadilawal 1447 H, mulai pukul 05.15 s/d 06.30 wib udara terasa sejuk menembus layar gawai para peserta Gerakan Subuh Mengaji (GSM) ‘Aisyiyah Jawa Barat. Dalam edisi ke-295 ini, kajian menghadirkan sosok akademisi dan pendidik inspiratif, Dr. Elfan Fanhas Fatwa Khomaeny. Wakil Rektor III UM Tasikmalaya tersebut mengajak jamaah merenungi satu tema krusial: Pengasuhan Anak di Era Digital.
Di tengah derasnya arus teknologi, topik ini menjadi refleksi penting bagi keluarga Muslim modern: bagaimana mendidik anak agar tumbuh sesuai fitrahnya di dunia yang serba cepat dan terkoneksi, tanpa kehilangan arah spiritual dan nilai-nilai kemanusiaan.
Era digital membawa dua sisi: peluang dan ancaman. Teknologi menawarkan ruang belajar tanpa batas, namun sekaligus menghadirkan risiko yang menakutkan. Orang tua kini tidak hanya berperan sebagai pengasuh, tetapi juga “navigator” moral di tengah samudra informasi.
Dr. Elfan mengingatkan bahwa anak-anak hari ini tidak hidup di dunia digital, melainkan bersama dunia digital. Gawai, media sosial, dan algoritma menjadi bagian dari lingkungan tumbuh mereka. Maka, tantangannya bukan sekadar membatasi akses, tetapi menanamkan nilai agar anak mampu memilah dan memaknai apa yang mereka temui.
Setiap anak memiliki fase tumbuh kembang yang unik: fisik, emosional, sosial, dan spiritual. Dalam pengasuhan modern, orang tua sering terjebak dalam kecepatan, ingin anak cepat bisa, cepat sukses, cepat dewasa. Padahal, seperti ditegaskan Dr. Elfan, “Setiap fase tumbuh butuh ruang alami agar jiwa anak tidak kehilangan keseimbangannya.”
Anak yang secara biologis “balig” belum tentu “baleg”, belum matang secara psikologis dan spiritual. Al-Qur’an dalam QS Al-Ahqaf ayat 14–15 menegaskan bahwa kedewasaan sejati tercapai saat manusia matang secara fisik, psikis, emosi, dan spiritual, terutama pada usia sekitar 40 tahun. Kematangan ini bukan hanya soal umur, tetapi kemampuan memahami diri, mengelola emosi, dan hidup dengan nilai serta tujuan yang bermakna.
Media digital memberi kemudahan, tetapi juga meninggalkan jejak pada tubuh dan jiwa anak. Kajian psikologi menunjukkan beberapa risiko serius: Cybercrime dan e-bullying yang melukai rasa aman dan kepercayaan diri, Gangguan tidur dan fisik akibat paparan cahaya layar berlebihan, Gangguan emosi dan sosial, di mana anak kehilangan kemampuan empati, fokus, dan komunikasi nyata.
Kondisi ini tidak hanya memengaruhi individu, tapi juga menipiskan kehangatan relasi keluarga. Maka, literasi digital berbasis nilai menjadi kebutuhan mendesak dalam setiap rumah.
Dr. Elfan mengelaborasi pengasuhan modern dengan tiga pendekatan transendensi yang berpadu indah: Pertama, Teori Transcendent Parenting (Sum Sum Lin), Menekankan optimalisasi pemanfaatan media digital dengan kesadaran nilai. Orang tua bukan musuh teknologi, tetapi pemandu yang menuntun anak agar teknologi menjadi alat kebaikan. Kedua, Konsep Self-Transcendence (Paul T. P. Wong), Mengajak manusia melampaui ego diri, dari motivasi eksternal menuju motivasi intrinsik. Kedewasaan sejati lahir ketika seseorang hidup berdasarkan nilai dan norma, bukan sekadar dorongan prestasi atau pengakuan.
Ketiga, Spiritual Transcendence (Ralph L. Piedmont). Menunjukkan dimensi spiritual yang memberi rasa keterhubungan dengan sesuatu yang lebih besar dari diri. Dalam konteks keluarga, ini berarti menumbuhkan kesadaran bahwa setiap manusia adalah bagian dari “orkestra kehidupan” saling terhubung, saling menumbuhkan.
Menariknya, hasil penelitian terhadap 6.634 orang tua menunjukkan bahwa semakin baik tingkat holistic transcendent parenting, maka tingkat kecemasan orang tua justru menurun. Mereka yang memandang pengasuhan sebagai ibadah dan perjalanan spiritual lebih tenang menghadapi tantangan anak-anak digital.
Namun ada anomali: pada tingkat holistic parenting yang terlalu tinggi, kecemasan justru meningkat karena ekspektasi yang berlebihan. Orang tua ingin anaknya “sempurna” sesuai nilai ideal, bukan sesuai proses tumbuh yang realistis.
Inilah titik refleksi penting: pengasuhan bukan kompetisi, tetapi perjalanan bersama. Orang tua bukan hakim, tetapi teladan; bukan pengontrol, tetapi penuntun.
Dalam Islam, kedewasaan (balig) bukan sekadar tanda biologis, tetapi juga kematangan spiritual (baleg). QS Al-Ahqaf 14–15 menggambarkan bahwa manusia baru mencapai kesempurnaan diri saat memiliki keseimbangan antara tubuh, pikiran, emosi, dan iman.
Dalam perspektif Paul T. Wong, kedewasaan sejati (self-transcendence) ditandai oleh: Motivasi yang berpindah dari eksternal menuju nilai intrinsik, Kehidupan yang dipandu norma dan makna, Kebahagiaan yang lahir dari rasa kagum, syukur, dan kepuasan batin, Keterhubungan spiritual, merasakan kesatuan hidup dan kehadiran Ilahi dalam keseharian.
Orang tua yang matang dalam spiritualitas akan lebih tenang, sabar, dan realistis menghadapi dinamika anak. Sebab, mereka sadar bahwa tugas pengasuhan adalah menuntun fitrah, bukan mencetak kesempurnaan.
Dr. Elfan menutup kajiannya dengan kalimat yang layak direnungkan:
“Orang tua tidak cukup hanya mendidik. Mereka harus menjadi contoh lebih dulu.”
Anak belajar bukan dari ceramah, melainkan dari kebiasaan. Cara orang tua berinteraksi dengan ponsel, berbicara, mengelola emosi, dan memanfaatkan waktu menjadi cermin pertama bagi anak.
Menjadi digital role model berarti menunjukkan bahwa teknologi dapat digunakan untuk kebaikan, belajar, dan dakwah bukan sekadar hiburan.
Baca Juga: Literasi Digital Sejak Dini, Bekal Anak Masa Kini
Gerakan Subuh Mengaji ‘Aisyiyah Jawa Barat telah menghadirkan ruang reflektif yang sangat dibutuhkan di tengah hiruk pikuk zaman. Dari majelis subuh selama satu jam, tersirat pesan yang jauh melampaui waktu:
Bahwa pengasuhan adalah ibadah panjang, pengabdian penuh cinta, dan investasi spiritual untuk peradaban. Di era digital yang serba canggih, keluarga tetap menjadi madrasah pertama dan utama tempat anak belajar makna, nilai, dan kasih sayang yang tak tergantikan oleh layar apa pun. Semoga. (*)