Budaya minum kopi telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia sejak lama. Dulu, kopi identik dengan warung kecil atau angkringan tempat para bapak mengobrol santai tentang politik, ekonomi atau kehidupan sehari-hari.
Warung kopi sederhana itu berfungsi sebagai ruang sosial rakyat, tempat bercengkerama, bertukar kabar, dan melepas lelah setelah bekerja. Kopi bukan sekadar minuman, melainkan bagian dari ritme sosial yang membumi.
Namun dalam dua dekade terakhir, makna dan cara menikmati kopi mengalami transformasi besar. Salah satunya di Kota Bandung, kota yang dikenal kreatif dengan populasi anak muda yang dinamis, budaya ngopi berubah menjadi gaya hidup modern.
Kafe-kafe bermunculan di berbagai sudut kota dengan konsep estetik dan suasana nyaman. Kopi tidak lagi sekadar diseduh di warung pinggir jalan, tapi diracik dengan teknik modern oleh barista profesional, disajikan dengan latte art yang menarik, dan dinikmati sambil bekerja atau bersantai.
Perubahan ini mencerminkan pergeseran nilai sosial, dari kebiasaan sederhana menjadi simbol gaya hidup baru. Awalnya, budaya Coffee Shop lebih banyak digemari oleh kalangan menengah urban, seperti mahasiswa, pekerja kreatif, dan profesional muda yang terbiasa dengan gaya hidup global.
Namun kini, fenomena ngopi di kafe telah melampaui batas-batas kelas sosial. Bukan hanya di pusat kota, tetapi juga di pinggiran dan pedesaan, budaya ngopi terus berkembang. Setiap sudutnya terdapat kafe dengan konsep unik, ada yang industrial, rustic, sampai yang hidden gem di gang sempit. Kini banyak juga Coffee Shop yang tumbuh dengan pesona tersendiri, memadukan keindahan alam dan nuansa tradisional. Semuanya menjadi ruang sosial baru tempat orang berkumpul dan berinteraksi.
Dari kacamata kajian budaya populer, fenomena “ngopi” bisa dibaca sebagai bentuk konsumsi simbolik. Artinya, aktivitas minum kopi tidak lagi hanya soal rasa atau kebutuhan kafein, tetapi tentang citra diri, gaya hidup, dan selera budaya yang ingin ditampilkan. Dalam pandangan John Storey, budaya populer sering lahir dari praktik sehari-hari yang kemudian dimaknai ulang oleh masyarakat.
Budaya ngopi di Bandung adalah contoh konkret bagaimana pengaruh global, seperti tren coffee shop ala Barat, diadaptasi dan diberi makna lokal oleh masyarakat. Suasana santai, keramahan, dan kebersamaan khas budaya lokal melebur dengan gaya modern yang estetik dan produktif. Akibatnya, ngopi bukan sekadar konsumsi, tapi juga bentuk ekspresi identitas sosial.
Kopi, Media Sosial, dan Identitas Anak Muda

Perkembangan budaya ngopi juga sangat dipengaruhi oleh media sosial. Foto secangkir kopi di meja kayu, caption “me time dulu,” atau tag lokasi kafe hits menjadi bagian dari budaya digital masyarakat urban. Ngopi bukan lagi aktivitas pribadi, tetapi pengalaman yang dibagikan secara publik sebagai bentuk ekspresi diri.
Dalam konteks teori Pierre Bourdieu tentang “distinction,” selera seseorang mencerminkan posisi sosialnya. Pilihan kafe, jenis kopi, dan cara seseorang menikmati kopi bisa menjadi simbol identitas sosial. Namun menariknya, di kota Bandung fenomena ini tidak sepenunya elitis, justru makin inklusif, banyak kafe di daerah pedesaan menawarkan harga terjangkau, membuka ruang bagi semua kalangan untuk ikut menikmati budaya ngopi tanpa sekat.
Bagi anak muda Bandung, kafe bukan hanya tempat nongkrong, tetapi juga ruang produktif. Banyak yang bekerja secara daring, membuat konten, atau sekadar mencari inspirasi. Dengan begitu, ngopi menjadi bagian dari gaya hidup kreatif khas Bandung, santai, terbuka, dan penuh ide.
Baca Juga: Budaya Scrolling: Cermin dari Logika Zaman
Fenomena ngopi di Bandung memperlihatkan bagaimana budaya bisa bergerak dan bertransformasi. Dari warung kopi rakyat hingga kafe modern, dari aktivitas sederhana hingga simbol identitas sosial, semua menyatu dalam satu benang merah, yaitu kopi sebagai perekat sosial.
Ngopi di Kafe bukan lagi hanya ritual minum, tetapi representasi dari semangat masyarakat yang kreatif dan terbuka terhadap perubahan. Dari pusat kota hingga pedesaan, kopi menjadi medium yang menghubungkan orang, ruang, dan budaya. Dalam secangkir kopi, terseduh dinamika sosial Bandung, hangat, beragam, dan terus berkembang. (*)