Bagi kalian pecinta kuliner Sunda pastinya tahu dong dengan pepatah “Anu amis teu kudu mahal, asal ngahudang rasa syukur.” Artinya, Yang manis tharus mahal, asal membangkitkan rasa syukur.
Di balik sejuknya angin pegunungan dan hamparan sawah hijau di tanah Priangan, tersimpan cerita tentang bagaimana masyarakat Sunda hidup berdampingan dengan alam. Tanah yang subur memberi padi, singkong, kelapa, dan gula aren — bahan-bahan yang kelak menjadi dasar dari camilan tradisional yang melegenda.
Bagi orang Sunda, masakan dan jajanan bukan sekadar pengisi perut. Ia adalah bagian dari kehidupan sosial. Setiap camilan punya momen: ada yang disajikan untuk tamu, ada yang dibuat bersama keluarga menjelang hari raya, ada pula yang hanya muncul saat panen tiba. Dari situ, lahirlah budaya rasa yang erat kaitannya dengan nilai silih asih, silih asah, silih asuh — saling menyayangi, belajar, dan membimbing dalam kebersamaan.
Kehidupan agraris orang Sunda melahirkan kreativitas luar biasa dalam mengolah hasil bumi. Saat panen padi berlimpah, muncul opak dan rangginang. Ketika singkong tumbuh subur di ladang, jadilah peuyeum, keripik singkong, dan burayot. Dari gula aren di pegunungan, lahirlah rasa manis alami yang kemudian menjadi ciri khas camilan dari tatar Priangan. Bahan-bahan ini diolah dengan alat sederhana — wajan tanah, kukusan bambu, dan tungku kayu — tapi menghasilkan cita rasa yang tak tertandingi. Bukan sekadar karena resepnya, tapi karena dibuat dengan rasa ikhlas dan gotong royong.
Jadilah dapur di rumah Sunda bukan sekadar tempat memasak. Ia adalah pusat kehidupan. Di sanalah ibu-ibu dan anak gadis belajar mengenal rasa, bercakap sambil menyiapkan adonan, dan tertawa bersama di antara kepulan asap wajan. Camilan seperti burayot tidak pernah lahir dari satu tangan, melainkan dari kebersamaan. Proses pembuatannya yang panjang — dari menyiapkan bahan, menggoreng, hingga melapisi dengan gula merah panas — dilakukan bersama. Tak heran jika setiap gigitan burayot membawa kenangan tentang tawa dan cerita.
Seiring waktu, banyak camilan tradisional mulai tergeser oleh makanan instan. Tapi bagi masyarakat Sunda, tradisi rasa tak mudah hilang. Di pasar-pasar tradisional, aroma manis borayot dan wajit masih setia menggoda. Di rumah-rumah kampung, kue awug masih dikukus dalam wadah anyaman bambu. Semua itu menjadi bukti hidup bahwa tradisi masih bernafas di dapur sederhana.
Asal-Usul Burayot

Jika kamu berkunjung ke Garut atau Tasikmalaya, jangan heran kalau di beberapa pasar tradisional masih terlihat jajanan berwarna cokelat keemasan yang tergantung manis di etalase warung. Itulah burayot — camilan khas Sunda yang namanya unik dan rasanya legit hingga sulit dilupakan.
Burayot bukan hanya soal rasa manisnya, tetapi juga tentang bagaimana sebuah camilan sederhana mampu menyimpan sejarah panjang, filosofi hidup, dan kehangatan tradisi masyarakat Sunda. Nama burayot berasal dari bahasa Sunda yang berarti menggantung atau menjuntai. Nama ini muncul karena cara penyajiannya yang khas: potongan kue digantung menggunakan tusuk bambu panjang setelah digoreng dan dilapisi gula merah.
Konon, burayot pertama kali muncul di wilayah Garut bagian selatan pada masa ketika gula aren menjadi komoditas utama di pedesaan. Para ibu rumah tangga yang memiliki sisa bahan seperti tepung singkong dan gula merah mencoba mengolahnya menjadi camilan untuk anak-anak mereka.
Karena proses pembuatannya mudah dan bahan-bahannya murah, burayot cepat populer di kalangan masyarakat kampung. Maka, seiring waktu berjalan, burayot menjadi camilan yang selalu hadir saat acara hajatan, syukuran panen, dan hari raya. Bentuknya yang menggantung, mengilap, dan manis menjadi simbol rejeki yang menetes tanpa henti — seperti harapan agar keberkahan hidup selalu mengalir.
Membuat burayot bukan sekadar memasak — tapi ngaruat rasa nu aya. Prosesnya sederhana namun penuh makna filosofi: burayot dibiarkan menggantung di atas bambu agar kering dan tidak saling menempel. Dari sinilah muncul arti filosofis: “Hirup kudu borayot” — hidup itu harus bergantung kepada yang benar, kepada nilai, kepada Gusti Nu Maha Kawasa.
Bagi sebagian masyarakat, menggantung burayot juga punya makna spiritual: mengingatkan manusia untuk tidak serakah, sebab rejeki akan datang bila dijalani dengan ikhlas dan sabar — seperti gula yang meleleh perlahan menempel pada setiap adonan.
Bagi orang Sunda, makanan bukan hanya untuk dimakan, tapi untuk dirasakan dengan hati.
Borayot mengajarkan nilai-nilai kehidupan:
- Kesabaran, karena proses membuatnya tidak bisa tergesa.
- Kerendahan hati, karena dibuat dari bahan sederhana.
- Kebersamaan, karena dikerjakan bersama.
- Syukur, karena setiap hasilnya adalah pemberian alam.
Semua itu menjadikan camilan ini bukan sekadar produk budaya, tapi juga guru kehidupan kecil yang manis. Ketika tangan menjemput sepotong burayot, sesungguhnya kita sedang menyentuh sejarah dan kebersamaan. Dalam setiap gigitan, ada tawa masa kecil, doa orang tua, dan kehangatan kampung halaman. Itulah kekuatan kuliner tradisional Sunda — sederhana tapi bermakna, manis tapi mendalam. Dan seperti gula yang menempel di setiap adonan, rasa kebersamaan itu akan terus melekat di hati siapa pun yang mengenalnya. (*)