Kamis sore, 30 Oktober 2025, berita itu menyebar cepat di berbagai kanal media: Wakil Wali Kota Bandung, Erwin, diperiksa Kejaksaan Negeri Kota Bandung.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Anang Supriatna, menyebutkan bahwa Erwin diperiksa terkait “sejumlah kasus dugaan tindak pidana.” Kasusnya belum diungkap sepenuhnya, namun kabar itu sudah lebih dari cukup untuk membuat warga kota tertegun.
Ada rasa getir yang sulit disembunyikan. Bandung, kota yang selama ini dielu-elukan sebagai kota cerdas, kota kreatif, kota berbudaya, kini kembali menghadapi kabut tebal di ruang pemerintahannya. Dugaan jual beli jabatan, pengondisian proyek, dan penyalahgunaan kewenangan kembali menggema di lorong kepercayaan publik.
Di tengah suasana itu, publik menunggu: bukan sekadar klarifikasi, tetapi kebenaran yang jernih.
Pemeriksaan terhadap pejabat publik bukan hal baru di negeri ini. Namun setiap kali kasus seperti ini mencuat, satu hal yang selalu terasa: krisis integritas belum juga sembuh dari tubuh birokrasi kita.
Kejaksaan menyebut Erwin diperiksa sebagai saksi dalam dugaan jual beli jabatan di lingkungan Pemkot Bandung. Erwin sendiri membantah keras tudingan OTT. Ia menegaskan datang ke kejaksaan “dalam rangka memenuhi panggilan hukum sebagai warga negara yang baik.”
Pernyataan itu sah dan patut dihargai. Namun publik tentu punya hak untuk bertanya lebih jauh: mengapa praktik seperti jual beli jabatan selalu berulang di pemerintahan daerah?
Peneliti ICW (Indonesia Corruption Watch) pada 2024 mencatat, setidaknya 80 persen kasus korupsi daerah berakar pada jual beli jabatan dan pengaturan proyek. Fenomena ini ibarat penyakit kronis yang menjalar di balik meja birokrasi. Kekuasaan dijadikan alat transaksi, bukan amanah pelayanan.
Di Bandung sendiri, aroma maladministrasi dan konflik kepentingan sudah lama menjadi “rahasia umum.” Dari perizinan usaha, proyek infrastruktur, hingga penempatan jabatan strategis, semuanya kerap dikaitkan dengan kepentingan politik dan patronase.
Di panggung lebih besar daripada satu kota, data nasional memperlihatkan kenyataan yang mengejutkan. Menurut laporan ICW, sepanjang tahun 2023 tercatat sekitar 791 kasus korupsi di seluruh Indonesia, dengan kerugian negara mencapai lebih dari Rp 28,4 triliun. Lebih jauh, survei nasional oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) Indonesia tahun 2024 berada di angka 3,85 dari skala 0-5 menurun dibanding tahun sebelumnya.
Di tingkat lokal Kota Bandung, data dari laporan Pemerintah Kota menyebut bahwa indeks integritas organisasi di lingkungan Pemkot Bandung masih berada di angka sekitar 3,13 hingga 3,49 dari skala ideal 3,6. Dengan kata lain: Kota Bandung yang sedang menjadi sorotan pemeriksaan pejabatnya pun bukan berada di zona “bersih dari risiko” secara struktur.
Berangkat dari data ini, pemeriksaan terhadap Wakil Wali Kota Bandung menjadi lebih dari sekadar berita tungga, ia adalah manifestasi konkret dari tantangan sistemik: Ketika korupsi daerah masih berjibun dan kepercayaan publik terus menipis, maka pemeriksaan terhadap pejabat lokal bukan kejadian luar biasa, tetapi indikator penyakit. Ketika indeks integritas ASN di Kota Bandung belum mencapai angka ideal, maka potensi budaya birokrasi yang rentan termasuk jual beli jabatan tetap nyata. Ketika masyarakat merasakan bahwa angka-angka indikator moral publik menurun, maka disrupsi ke dalam pelayanan publik dan tata kelola pemerintahan pun berdampak langsung bagi kepercayaan warga.
Oleh sebab itu, kasus ini seharusnya menjadi wake-up call bukan hanya bagi satu individu, melainkan bagi seluruh sistem pemerintahan, budaya birokrasi, dan masyarakat sipil.
Kasus pemeriksaan Erwin, entah apa pun hasilnya nanti, membuka kembali luka lama: apakah jabatan publik masih dimaknai sebagai pengabdian, atau sudah berubah menjadi komoditas?

Birokrasi yang seharusnya menjadi tulang punggung pelayanan publik kini tengah dirundung virus yang lebih berbahaya dari korupsi uang: korupsi moral.
Korupsi uang bisa diukur nilainya; korupsi moral tidak. Ia merusak dari dalam, mengubah mental melayani menjadi mental melayani diri sendiri.
Fenomena jual beli jabatan adalah contoh paling nyata dari korupsi moral itu. Ia tidak hanya mencederai sistem meritokrasi, tetapi juga menular ke bawah: membuat ASN yang jujur merasa sia-sia, membuat masyarakat kehilangan kepercayaan, dan menumbuhkan generasi muda yang skeptis terhadap politik.
Rasulullah SAW pernah bersabda,
“Apabila amanah disia-siakan, tunggulah kehancurannya.” (HR. Bukhari)
Amanah adalah roh kepemimpinan. Tanpa amanah, jabatan hanyalah kursi kosong yang menunggu tumbangnya integritas.
Kita bisa memaklumi jika seorang pejabat diperiksa. Hukum harus bekerja. Tetapi yang tidak bisa dimaafkan adalah jika sistem terus membiarkan budaya salah itu tumbuh.
Sebab di saat yang sama, masyarakat menonton—dan perlahan kehilangan iman terhadap makna kejujuran dalam politik lokal.
Baca Juga: Proyeksi Ekonomi Jawa Barat 2025: Menakar Potensi dan Risiko Struktural
Kota Bandung selalu punya wajah ganda: kreatif tapi juga kompleks, indah tapi sering retak dari dalam. Pemeriksaan Wakil Wali Kota hari ini bukan sekadar berita hukum; ia adalah peringatan moral bagi seluruh penyelenggara pemerintahan—bahwa kepercayaan publik bukan milik abadi, melainkan utang yang harus dibayar dengan integritas.
Sejarah membuktikan, kota ini tidak pernah tumbuh dari kekuasaan, tapi dari gerakan warga yang menjaga nurani. Dari guru yang jujur, aparatur yang bersih, hingga pemuda yang berani bersuara.
Maka di tengah kabar pemeriksaan dan isu korupsi, mungkin kita perlu bertanya bukan hanya kepada pejabat, tetapi juga kepada diri sendiri:
“Apakah kita masih menjaga Bandung dengan hati bersih?”
Karena kota yang baik bukan dibangun oleh pejabat yang banyak, melainkan oleh pemimpin yang benar dan warga yang tidak lelah berharap. (*)
