Ada yang sedang hangat di akun-akun instragam yang bahas tentang ASN belakangan ini, bukan sekadar undangan halal bihalal atau undangan webinar, tapi kabar manis, rencana pengangkatan langsung PPPK menjadi PNS.
Bagi sebagian, ini terdengar seperti lagu kebangsaan baru birokrasi, “akhirnya nasib kami disamakan juga!” Bagi sebagian lain, terutama yang sudah bertahun-tahun melewati ritual CPNS, pelatihan dasar, hingga ujian psikotes penuh keringat, kabar ini terasa seperti, “loh, kok mereka naik kelas tanpa ikut ujian remedial?”
Begitulah, di republik yang penuh kehangatan politik ini, setiap kebijakan punya dua sisi, satu untuk optimisme, satu lagi untuk sinisme.
***
Mari kita mulai dari yang rasional. PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) sejatinya adalah solusi cepat untuk menambal kekurangan tenaga di sektor publik, terutama guru, tenaga kesehatan, dan penyuluh. Mereka bekerja keras, sering kali di pelosok, dengan masa kontrak yang tidak menentu dan sistem karier yang belum seindah PNS.
Wajar jika kemudian muncul gagasan, “kalau sudah terbukti loyal dan berprestasi, kenapa tidak langsung jadi PNS saja?”
Namun, masalahnya tidak semudah itu. PNS dan PPPK lahir dari dua filosofi yang berbeda, yang satu career-based system, yang lain position-based system. Yang satu diangkat untuk jangka panjang, yang lain berdasarkan perjanjian kerja.
Menyatukannya tanpa desain yang jelas seperti mencoba mencampur minyak goreng dengan air gallon, sama-sama penting, tapi tak bisa disatukan begitu saja.
Birokrasi kita, yang dikenal ahli dalam segala bentuk “kaget administratif”, tentu menyambut kabar ini dengan beragam ekspresi.
Di kantor-kantor pemerintahan, mulai muncul dua kelompok, yang satu mengirimkan emoji tangan berdoa di grup WA sambil berucap “semoga jadi kenyataan”, yang lain memilih diam tapi menyimpan rasa getir dalam hati, campuran antara heran dan nostalgia akan perjuangan masa lalu.
Seorang ASN senior pernah berkelakar, “dulu saya jadi PNS butuh tiga kali gagal tes dan satu tahun diklat dasar, sekarang orang bisa langsung naik kelas hanya bermodal SK PPPK.”
Ada canda, tapi juga luka kecil di baliknya. Karena bagi birokrat, status bukan sekadar formalitas, ia simbol perjalanan panjang menuju pengakuan profesional.
Politik di Balik Seragam
Mari jujur saja, setiap kali isu kesejahteraan ASN muncul menjelang tahun politik, publik sudah bisa menebak arahnya. Ada aroma populisme yang samar, tapi familiar, memanjakan aparatur jelang pemilu adalah jurus klasik.
Siapa yang tak mau dicintai oleh empat juta lebih ASN dan keluarga mereka yang tersebar dari Sabang sampai Merauke?
Namun, kebijakan publik idealnya tidak lahir dari rasa ingin disukai, melainkan dari perhitungan rasional dan keadilan struktural.
Pertanyaannya, apakah pengangkatan PPPK menjadi PNS ini disertai dengan evaluasi kinerja, kebutuhan formasi, dan kajian keuangan negara?
Ataukah ini sekadar bentuk “terima kasih politik” yang dikemas dengan jargon meritokrasi?
Karena tanpa perencanaan yang matang, kebijakan yang niatnya mulia bisa menjadi beban fiskal yang panjang, atau bahkan menimbulkan rasa tidak adil di antara sesama aparatur.

Mengubah status PPPK menjadi PNS tanpa proses kompetitif mengandung risiko logika yang menarik, jika kontrak bisa otomatis jadi karier, maka apa bedanya dengan sistem CPNS yang selama ini dijaga ketat dengan merit system?
Jika PPPK bisa “naik kelas” tanpa ujian, lalu bagaimana nasib mereka yang menunggu formasi CPNS dengan sabar bertahun-tahun?
Dalam birokrasi, rasa keadilan itu penting. Sebab ASN tidak hanya bekerja dengan aturan, tetapi juga dengan rasa. Begitu rasa keadilannya terkoyak, loyalitas akan ikut goyah. Dan itu berbahaya bagi lembaga publik yang hidup dari kolaborasi dan kepercayaan internal.
Menyamakan atau Menyederhanakan?
Pendukung kebijakan ini punya argumen kuat, PPPK telah lama berkontribusi di sektor vital, bahkan lebih produktif dari sebagian PNS yang nyaman di zona nyaman. Mereka berhak mendapat pengakuan formal atas pengabdiannya.
Tetapi pengakuan tidak harus selalu berbentuk penyamaan status.
Ada banyak cara lain seperti jalur konversi dengan uji kompetensi, sistem karier fungsional terbuka, atau penghargaan berbasis kinerja dan lama pengabdian. Semuanya bisa memberikan rasa adil tanpa mengorbankan merit system.
Karena yang berbahaya bukanlah kesetaraan, melainkan penyederhanaan yang gegabah. Reformasi ASN seharusnya memperkuat struktur, bukan mengaburkan batas tanggung jawab dan jenjang profesionalisme.
Fenomena ini menegaskan satu hal, birokrasi kita hidup di era sensasi kebijakan. Yang penting terdengar manis, viral, dan penuh empati sosial. Namun, setelah euforia mereda, tinggal para administrator dan bendahara yang pusing menyusun regulasi turunan, anggaran, dan sistem penggajian baru.
Padahal, jika benar ingin meningkatkan kesejahteraan ASN, jalannya bukan hanya lewat status, tapi lewat sistem kerja yang sehat dan penghargaan berbasis kompetensi. PPPK dan PNS mestinya bisa tumbuh berdampingan, bukan saling iri, tapi saling isi. Satu punya fleksibilitas, satu punya keberlanjutan. Keduanya bisa jadi duet sempurna dalam birokrasi modern.
Baca Juga: Bandung sebagai Wisata Literasi: Kota Kreatif yang Menulis Dirinya Sendiri
Akhirnya, isu PPPK jadi PNS ini seperti cermin kecil dari wajah birokrasi kita: selalu hidup antara logika dan rasa, antara harapan dan kecurigaan. Setiap kebijakan baru menimbulkan tawa di satu sisi, dan gumaman getir di sisi lain.
Tapi begitulah seni menjadi ASN di negeri ini, selalu harus siap antara kemungkinan naik pangkat dan naik darah.
Mungkin sudah saatnya kita berhenti menilai reformasi birokrasi dari status, dan mulai menilainya dari dampak. Karena di ujung hari, masyarakat tidak peduli apakah pelayan publiknya PNS atau PPPK yang penting, mereka hadir, melayani, dan bekerja dengan hati.
Dan kalaupun nanti PPPK benar-benar bisa langsung jadi PNS, semoga bukan karena tekanan politik, tapi karena negara sudah punya keyakinan, mereka memang pantas. Kalau tidak, jangan-jangan, birokrasi kita justru makin banyak pejabat baru, yang bingung membedakan antara “melayani publik” dan “melayani kebijakan.” (*)