BAHASA Sunda bukan sekadar kosakata. Dalam bahasa itu, tersimpan nilai-nilai yang tak gampang ditimbang maupun ditakar dengan angka-angka kunjungan turis.
Turisme memang membawa manfaat nyata untuk Bandung. Ekonomi bergerak. Tempat usaha baru muncul. Orang-orang mendapatkan lahan pekerjaan.
Tapi, ada dinamika lain. Banyak papan nama kini pakai bahasa Inggris. Muncul pula mural bertema global. Kafe menggunakan nama asing. Dan itu sesungguhnya bukan dosa.
Kota Bandung toh berkembang. Namun, setiap pergantian nama adalah pilihan. Kira-kira, maukah kita menukar sebutan lama yang penuh makna dengan logo yang bisa dipahami di mana-mana?
Di sudut-sudut jalan di Bandung, masih ada para penjual bubur maupun kupat tahu yang menyapa dengan bahasa Sunda. Di situ terasa getar asli kota ini. Dan itu mungkin pengalaman yang sering dilewatkan wisatawan yang buru-buru mencari spot foto Instagramable.
Soal transmisi
Bahasa menyangkut soal transmisi antar-generasi. Ketika rumah makan mengganti pelayan lokal dengan staf dari luar, ketika warung kopi mengadopsi playlist internasional, anak muda kian akrab dengan bahasa global. Di sini, bahasa Sunda menjadi pilihan, bukan kebutuhan.
Namun, jangan salah. Anak muda Bandung tak butuh “ditegur”. Mereka bisa mencintai kotanya dan memilih gaya hidup modern. Persoalannya mungkin adalah: apakah ada ruang yang menjaga agar gaya hidup modern itu tetap berakar pada nilai lokal?
Sektor pariwisata sering memproduksi versi Sunda yang “aman” dan mudah dikonsumsi. Cukup secuil tarian di panggung, lagu yang dipotong, suvenir dengan embel-embel nyunda. Itu memang membantu mengerek brand, tapi sekaligus mereduksi kompleksitas budaya menjadi produk.
Ada juga mekanisme pembelajaran yang positif. Komunitas budaya, sanggar, dan kelompok musik tradisi yang masih aktif. Mereka bukan hanya tampil di pentas, mereka juga mengajarkan bahasa Sunda, teknik, dan filosofi kasundaan. Sayang, upaya mereka tidak selalu mendapat sorotan yang setimpal.
Daya tarik
Kota yang keren biasanya memiliki daya tarik kuat. Misalnya, lewat festival musik, pameran seni, dan event-event kreatif memancing kunjungan. Hal baiknya, acara-acara itu bisa menjadi ruang pengenalan budaya Sunda jika dirancang dengan niat.
Banyak kampus di Bandung sesungguhnya menghasilkan generasi yang sadar budaya. Dalam hal ini, mahasiswa bisa menjadi mediator. Mereka diharapkan dapat menerjemahkan nila-nilai kasudaan ke wacana baru, menggabungkan tradisi dan modernitas tanpa kehilangan akar kasundaan.
Tata ruang juga bisa turut berperan. Ruang publik yang inklusif memberi kesempatan semua lapisan masyarakat bertemu dan dapat diupayakan agar tetap menonjolkan bahasa lokal -- bahasa Sunda.
Peran pemerintah lokal penting pula. Bukan hanya lewat ajang promosi wisata, tetapi lewat kebijakan kebahasaan dan budaya. Misalnya, memberi insentif buat pelaku budaya lokal, menjaga pasar tradisional, atau menginisiasi program-program pendidikan bahasa dan budaya Sunda di sekolah.
Tapi, jangan berharap pada solusi tunggal. Pelestarian bahasa dan budaya Sunda memerlukan kerja kolektif. Mulai dari keluarga, komunitas, sekolah, media, dan pelaku ekonomi kreatif. Semua harus berkontribusi, dengan cara yang saling melengkapi.
Masih hidup

Di banyak sudut Bandung, bahasa Sunda masih hidup dengan kuat. Warga bercakap tentang tetangga, tentang hujan, tentang Persib dalam bahasa Sunda. Pelajaran pentingnya adalah bahasa Sunda hidup lewat rutinitas kecil.
Wisata kuliner tak jarang bisa menjadi pintu masuk bahasa. Makanan membawa istilah, ritual makan, dan cerita. Jika resto-resto yang ikut meramaikan turisme Bandung menjaga nama menu asli Sunda, maka bahasa dan budaya Sunda bisa turut hadir tanpa paksaan.
Seni pertunjukan juga bisa menjadi medium penguatan. Pertunjukan yang mengajak audiens berdialog dalam bahasa Sunda, bukan sekadar menyaksikan, memberi kesempatan bahasa ini berkembang.
Komunitas kreatif Bandung tentu memiliki potensi besar. Karya desain, musik, film, dan teater yang diproduksi bisa dipakai sebagai sarana untuk mengenalkan basa Sunda dan kasundaan secara kontemporer.
Cara beretika
Bahasa Sunda mengandung tata cara beretika yang tetap relevan di kota besar. Misalnya, menahan ego, memberi tempat pada orang lain, dan berbicara dengan lemah-lembut. Nilai-nilai seperti ini jika dipraktikkan membantu Kota Bandung tetap ramah, terutama ketika banyak orang datang dari berbagai daerah.
Kita boleh bangga pada Bandung yang bisa menarik perhatian dunia. Namun, hal ini harus diseimbangkan. Bukan hanya pada soal memoles facade, tetapi juga merawat akar kasundaan-nya. Bandung yang ideal adalah kota yang membuat tamu merasa diterima tanpa membuat tuan rumah merasa terpinggirkan.
Perubahan generasi juga sejatinya memberi harapan. Banyak seniman muda yang memadukan bahasa Sunda dengan bahasa global dalam musik, puisi, atau film pendek karya mereka. Mereka menunjukkan bahwa pelestarian budaya bukan soal mengubur modernitas, tapi soal melakukan dialog secara kreatif.
Di sisi lain, sektor pendidikan formal turut mempengaruhi. Sekolah yang mengajarkan bahasa Sunda, cerita rakyat Sunda, dan praktik kebudayaan Sunda akan memberi alat bagi generasi muda untuk mengidentifikasi diri mereka. Tanpa itu, kebanggaan akan Kota Bandung dan kasundaan-nya mungkin cuma jadi label estetis semata.
Tak perlu memusuhi
Kita tak perlu memusuhi kafe hipster atau festival besar bergaya asing. Lebih berguna bila mengajak dialog nan konstruktif. Contohnya, bagaimana kafe dapat menjadi tempat belajar kecil tentang bahasa dan budaya Sunda, bagaimana festival modern memberi ruang untuk komunitas lokal yang fokus pada aspek kasundaan.
Bisa juga lewat cara praktis nan sederhana. Umpamanya, menata nama jalan sehingga lebih menonjol nuansa kasundaanya, menempatkan informasi bilingual (Indonesia–Sunda), dan memfasilitasi pasar seni lokal di tengah event-event besar. Langkah-langkah kecil bisa memberi efek besar pada kelangsungan bahasa Sunda.
Semuanya pada akhirnya menyangkut masalah pilihan. Maukah kita menjadikan Bandung hanya sebagai label keren yang cepat habis dimakan tren, atau sebagai kota yang tetap menyimpan rasa menjadi urang Sunda di dalam rutinitasnya?
Pilihan itu bukan perkara nostalgia, atau romantisme, melainkan perkara bagaimana menjaga kelanggengan bahasa dan budaya Sunda agar tetap hidup serta relevan.
Bandung akan terus berubah. Dan itu pasti. Yang bisa kita lakukan adalah menjaga agar perubahan itu juga menyisakan ruang yang cukup untuk bisik-bisik lembut bahasa Sunda, untuk salam nan someah, dan untuk rasa kasundaan yang membuat kota ini bukan sebatas indah dipandang mata, tetapi benar-benar sebagai rumah yang menentramkan jiwa. (*)