Gedung apartemen dan Tempat Penampungan Sampah. Satu sudut di Dago Elos (Foto: Elly Dzarrah)

Ayo Netizen

Pesona Bandung dan Luka di Kaki

Senin 17 Nov 2025, 16:00 WIB

Bandung selalu punya cara untuk memikat. Sejak masa kolonial hingga kini, pesonanya tak pernah pudar—udara pegunungan yang dulu menenteramkan, jalan-jalan yang berliku penuh kenangan, serta ritme kota yang memadukan kesibukan dan kelembutan.

Namun di tengah hiruk-pikuk pariwisata yang terus diglorifikasi, Bandung seakan terperangkap dalam bayangan citranya sendiri. Ia ingin terus tampak muda, kreatif, dan memesona, tapi lupa bahwa pesona sejati tak pernah lahir dari pencitraan. Ia tumbuh dari kehidupan warga yang berakar di tanahnya sendiri.

Beberapa tahun terakhir, Bandung menjadi laboratorium pariwisata urban. Pemerintah daerah, korporasi, dan pelaku industri berlomba-lomba menjual narasi Bandung kota kreatif, kota kuliner, sebuah slogan yang begitu sering digaungkan hingga kehilangan maknanya.

Setiap akhir pekan, ribuan wisatawan datang mencari “pengalaman Bandung”: secangkir kopi di kafe estetik, foto di mural warna-warni, atau berbelanja di pasar yang dikurasi menjadi spot instagramable. Kota ini diperlakukan bukan sebagai ruang hidup, melainkan panggung visual tempat setiap sudutnya mesti menarik perhatian.

Namun di balik citra itu, ada warga yang perlahan kehilangan ruang. Naiknya harga tanah dan sewa tempat tinggal membuat banyak keluarga lama di kawasan Dago, Braga, Tamansari dan Cihampelas tersingkir ke pinggiran. Ruang publik yang dulu menjadi tempat berkumpul kini berubah menjadi ruang komersial, tempat orang lebih banyak membeli daripada bertegur sapa.

Bandung yang dahulu dikenal dengan kebersahajaan dan kedekatan sosialnya kini digantikan oleh hubungan transaksional yang serba cepat. Kota yang dulu menumbuhkan kreativitas kini justru mengubah kreativitas menjadi komoditas.

Kehidupan ekonomi kota pun bergeser. Pariwisata memang membuka banyak lapangan kerja baru - barista, penjaja suvenir, pemandu lokal, pengemudi ojek daring - namun sebagian besar berada di ranah ekonomi informal, tanpa jaminan sosial dan keberlanjutan. Bandung menjadi contoh klasik gig economy : semua orang bekerja, tapi sedikit yang benar-benar hidup dari pekerjaannya. Di satu sisi, geliat ekonomi wisata memberi napas baru bagi kota. Di sisi lain, ia memperdalam jurang ketimpangan dan menciptakan ilusi kesejahteraan yang rapuh.

Bus Wisata Bandros terjebak Macet di Jalan Asia Afrika, Kota Bandung. (Sumber: Ayobandung)

Tetapi di balik geliat ekonomi yang tampak semarak, kota ini mulai menanggung beban yang tak ringan. Paling kasat mata dari industri wisata Bandung hari ini adalah beban ekologis dan infrastruktur yang tak lagi sanggup menampung hasrat konsumsi kota.

Setiap akhir pekan, ribuan mobil pribadi menyesaki jalan-jalan sempit di pusat kota dan kawasan utara. Lalu lintas macet menjadi pemandangan rutin; jarak dua kilometer bisa ditempuh dalam satu jam. Jalanan berlubang dibiarkan bertahun-tahun, seolah menjadi metafora keterlambatan tata kelola kota. Di beberapa titik, genangan air dan jalan rusak bahkan telah menelan korban, namun pemerintah tampak lebih sibuk menghias trotoar daripada memperbaiki fondasi.

Di sisi lain, sampah pariwisata tumbuh seperti bayangan yang tak pernah selesai disapu. Gunungan sampah dari hotel, kafe, dan wisata kuliner menjadi wajah baru Bandung di pagi hari setelah keramaian malam berlalu. Sungai Cikapundung - yang pernah menjadi kebanggaan kota - kini kembali tercemar oleh limbah rumah tangga dan sampah wisata. Ironisnya, banyak kampanye “kota hijau” justru berhenti pada poster dan festival. Seolah-olah keberlanjutan lingkungan bisa diciptakan melalui dekorasi, bukan kesadaran ekologis yang nyata.

Krisis ruang kota muncul bersamaan. Setiap sudut yang berpotensi menarik perhatian segera dikomersialisasi. Ruang publik menyusut, sementara estetika kota dikuasai oleh logika pasar. Alih-alih menjadi ruang pertemuan warga, Bandung menjelma menjadi etalase gaya hidup. Bahkan ruang-ruang kreatif yang dulu lahir dari semangat komunitas kini sering dijadikan bagian dari promosi - pariwisata diundang, ditampilkan, lalu dilupakan begitu saja setelah lampu-lampu padam.

Ironinya, yang paling kehilangan justru mereka yang membangun denyut kehidupan kota: warga biasa, komunitas akar rumput, dan seniman independen. Mereka yang dulu menghidupkan Bandung dengan gotong royong dan eksperimentasi kini berhadapan dengan tembok transparan bernama “branding kota”. Kreativitas yang lahir dari pergulatan sosial perlahan tersingkir oleh kreativitas yang disetir oleh pasar. Akibatnya, Bandung tampak semarak di permukaan, tapi hampa di kedalaman.

Namun tak semua harapan padam. Di tengah arus komersialisasi, masih banyak ruang yang berjuang menjaga ruh kota. Komunitas literasi seperti Lawang Buku dan Pasar Biru, inisiatif seni alternatif, serta gerakan warga di kampung-kampung kota menunjukkan bahwa kreativitas sejati tak bisa dibeli. Mereka membuktikan bahwa Bandung yang sejati bukan sekadar kota wisata, melainkan ruang belajar Bersama - tempat gagasan, solidaritas, dan imajinasi tumbuh dalam percakapan sehari-hari. Mereka mengajarkan bahwa kota kreatif sejati bukan kota yang penuh kafe dan mural semata, melainkan kota yang memberi ruang bagi warganya untuk berpikir dan berkarya tanpa harus tunduk pada logika pasar.

Pariwisata memang tak bisa dihapuskan; ia bagian dari dinamika kota modern. Tetapi yang perlu diingat, wisata yang berkelanjutan tidak hanya menghitung jumlah pengunjung, melainkan juga menghargai kehidupan warga dan keseimbangan ekologis. Bandung perlu menata ulang visinya: dari city of experience menjadi city of coexistence - kota yang bisa menampung berbagai lapisan kehidupan tanpa menindas satu sama lain. Kebijakan pariwisata seharusnya diarahkan pada pemberdayaan komunitas lokal, perlindungan ruang publik, perbaikan infrastruktur dasar, dan tata kelola sampah yang transparan.

Bandung memiliki kesempatan untuk menjadi contoh kota kreatif yang manusiawi. Tapi itu hanya mungkin jika ia berani menatap cermin dan mengakui luka-lukanya. Sebab kreativitas sejati tidak lahir dari citra, melainkan dari kesadaran dan empati. Barangkali Bandung memang akan selalu dirindukan oleh banyak orang. Namun kerinduan itu hanya bermakna bila kota ini juga masih bisa dirindukan oleh warganya sendiri. (*)

Tags:
fenomena turisme Bandung

Abah Omtris

Reporter

Aris Abdulsalam

Editor