Pagi di kawasan Pasar Buku Palasari selalu punya cerita. Saya selalu berupaya datang di pagi hari jika ke kawasan ini. Bukan hendak membeli buku, karena tentunya para penjual buku belum lagi ada. Saya sengaja datang untuk mencari sarapan kuliner khas Minangkabau. Mungkin bagi sebagian masyarakat di Bandung sudah mengenal Katupek Kapau Uni Rita di Palasari. Tidak jarang juga saya mencari sarapan ala Minangkabau di warung kaki lima Katupek Uda Naldi di kawasan Citarum. Belum lagi dengan Sate Padang yang terkenal di seberang Universitas Padjajaran, kampus Jalan Dipatiukur.
Kedai-kedai ini terletak di kaki lima atau mempunyai tempat yang sederhana. Namun kuliner Minang tidak terbatas untuk kalangan kaum ekonomi menengah ke bawah. Sebut saja Rumah Makan Simpang Raya, Rumah Makan Bumus, Rumah Makan Sabana Kapau, dan masih banyak lagi rumah makan yang menyajikan kuliner Minangkabau di Bandung. Rumah makan ini dapat saya katakan sebagai tempat makan premium. Mengingat tempatnya yang besar, bersih, mewah, dan juga tarif yang lebih tinggi dari rumah makan kebanyakan. Namun demikian, penetapan ini bukan tanpa dasar. Sehingga wajar saja ada istilah âada harga ada rupaâ.
Pemandangan ini sudah akrab di Bandung. Di setiap sudut kota, dari kaki lima hingga restoran berpendingin udara, kuliner Minangkabau hadir dengan berbagai wajah. Ada yang mempertahankan gaya tradisional, ada pula yang tampil modern dengan konsep kafe. Semuanya punya satu kesamaan, yaitu cita rasa yang membuat orang dapat melepas rindu dengan Ranah Minang. Oleh karenanya wajar jika banyak orang yang kembali datang.
Jejak Rasa dari Barat ke Priangan
Perjalanan kuliner Minangkabau di Bandung tidak bisa dilepaskan dari kisah para perantau. Banyak yang datang dengan niat sederhana untuk mencari penghidupan. Mereka membawa bekal paling berharga, yaitu kemampuan memasak dan berniaga. Dari situ, lahirlah warung-warung kecil di pinggir jalan yang kini tumbuh menjadi jaringan rumah makan Padang di seluruh penjuru kota.
Rasa yang kuat dan bumbu yang berani membuat masakan Minang mudah diterima lidah siapa pun. Dalam waktu singkat, kuliner Minang menjadi bagian dari selera kota ini. Meski sejatinya rumah makan ini sudah mempunyai pelanggan tersendiri, yaitu para pelajar atau perantau yang tinggal di Kota Bandung.
Jika mengingat cerita Abang penjual Nasi Padang menggunakan roda di kawasan Dago Atas pada era tahun 2009an, âKuncinya tetap di rasa. Kalau enak, orang tidak peduli tempatnya kecil atau besarâ. Oleh karenanya wajar jika para penjual Nasi Padang akan berupaya menyamakan cita rasa masakan dengan daerah asalnya
Bandung dikenal sebagai kota yang cepat menerima hal baru. Warganya terbuka, gemar mencoba, dan punya semangat eksplorasi. Itu sebabnya, berbagai kuliner dari daerah lain mudah tumbuh di sini. Keberadaan Kota Bandung yang terbuka turut membuka peluang bagi perkembangan kuliner Minangkabau.
Pelaku kuliner Minangkabau mulai memadukan nilai tradisi dengan ide-ide segar. Ada rumah makan yang dibuat dengan konsep kaki lima. Ada pula restoran yang menyajikan nasi Kapau dalam konsep prasmanan modern. Perubahan ini menunjukkan kemampuan pelaku usaha menyesuaikan diri dengan ritme kota tanpa kehilangan karakter asli masakannya.
Bandung memberi ruang untuk itu. Di tengah dinamika gaya hidup urban, cita rasa Minang justru menemukan bentuk baru. Bagaimana tidak, saya dapat menikmati segelas Teh Talua di dalam ruangan sejuk berpendingin.

Sebagai kota kreatif dunia, Bandung sudah memiliki ekosistem yang mendukung sektor kuliner. Pemerintah kota memberi ruang bagi usaha kecil, mengadakan pelatihan, dan membuka peluang lewat berbagai festival makanan. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata serta Dinas Koperasi dan UMKM sering melibatkan pelaku kuliner lokal dan perantau dalam berbagai ajang promosi.
Langkah ini memberi dampak langsung. Usaha kuliner Minangkabau tidak lagi berjalan sendiri. Mereka masuk ke dalam arus besar ekonomi kreatif Bandung, bersama para pelaku kopi, roti, dan jajanan kekinian.
Namun, tantangannya tetap besar. Persaingan di bidang kuliner semakin ketat. Di sinilah pentingnya arah kebijakan yang memperhatikan keberagaman pelaku usaha. Dukungan terhadap pelatihan, akses bahan baku, dan promosi digital bisa membantu mereka bertahan sekaligus berkembang.
Bandung memiliki potensi untuk menjadi etalase kuliner Nusantara. Setiap daerah membawa rasa dan kisahnya sendiri, dan kota ini bisa menjadi panggung yang mempertemukan semuanya.
Restoran Minangkabau Kini
Beberapa tahun terakhir, restoran Minangkabau di Bandung tampil dengan wajah baru. Desainnya lebih modern, konsepnya lebih rapi, tapi esensinya tidak berubah. Rendang masih dimasak dengan santan dan rempah yang sama, hanya cara penyajiannya yang disesuaikan dengan gaya hidup kota.
Kreativitas seperti ini membuat kuliner Minang terus hidup di Bandung. Kuliner Minangkabau tidak berhenti sebagai pelepas rindu para perantau. Tetapi berkembang dan diminati masyarakat luas di Kota Bandung. Di satu sisi hal ini adalah peluang bisnis yang membutuhkan tenaga kerja. Namun di sisi lain keberadaannya juga sebagai bentuk penghargaan terhadap tradisi Minangkabau.
Masyarakat Bandung sendiri tampaknya menyambut baik keberadaan kuliner Minangkabau. Beberapa tempat yang saya kunjungi bahkan memberlakukan sistem antrian kepada pengunjungnya. Tentunya hal ini menjadi pertanda positif bagi pertumbuhan ekonomi di Kota Bandung. Jika disimak lebih jauh, bahkan para wisatawan yang berkunjung juga menyempatkan diri untuk menikmati Kuliner Minangkabau di Kota Bandung.
Maraknya kuliner Minangkabau membawa dampak ekonomi yang luas. Banyak tenaga kerja terserap, rantai pasokan bahan makanan bergerak, dan sektor wisata kuliner ikut hidup. Wisatawan yang datang ke Bandung kini tidak hanya mencari surabi atau seblak, tapi juga ingin mencicipi rendang dan sate Padang dari tempat yang sedang viral di media sosial.
Keberagaman ini memperkaya citra Bandung sebagai kota wisata kuliner. Pemerintah kota bisa memanfaatkan momentum ini dengan memperluas promosi kuliner lintas budaya. Misalnya dengan membuat peta wisata kuliner tematik yang menghubungkan makanan khas berbagai daerah yang tumbuh di Bandung.
Langkah semacam itu tidak hanya menarik wisatawan, tetapi juga memperkuat identitas Bandung sebagai kota yang terbuka dan penuh rasa.
Modernisasi sering membawa risiko sehingga nilai-nilai tradisi perlahan tergerus oleh tren. Namun, pelaku kuliner Minang di Bandung umumnya punya kesadaran kuat menjaga resep dan cara memasak warisan keluarga. Di dapur mereka, rempah masih digiling manual, santan masih diperas dari kelapa segar.
Kesetiaan pada cara lama ini menjadi bentuk penghormatan terhadap asal-usul mereka. Sementara dari sisi pelanggan, ada penghargaan tersendiri pada keaslian rasa yang tetap terjaga.
Rendang, gulai, dan dendeng balado tidak hanya menjadi sajian menu semata. Keberadaan kuliner khas Minangkabau ini menjadi simbol kebanggaan yang terus diwariskan.
Baca Juga: Ditinggal Wahana Dreamland, Bukit Teletubies Cicalengka Bertahan berkat Kopi
Perkembangan kuliner Minangkabau di Bandung menunjukkan bagaimana rasa bisa menjembatani banyak hal, diantaranya budaya, ekonomi, bahkan arah kebijakan pemerintah kota. Di tangan para perantau, masakan Minang menemukan ruang tumbuh di kota yang menghargai kreativitas dan keberagaman.
Bandung menjadi rumah kedua bagi cita rasa dari Sumatera Barat. Di sini, rendang dan sambal lado tidak hanya memanjakan lidah, tapi juga memperkaya identitas kota yang terus bergerak maju.
Selama pemerintah kota terus memberi ruang bagi pelaku usaha dan masyarakat tetap setia pada rasa yang jujur. Sehingga kuliner Minangkabau akan tetap hidup di Bandung. Kuliner Minang tidak menjadi pelengkap saja, tetapi juga menjadi bagian dari denyut nadi kehidupan Kota Bandung. (*)
