Sore hari itu bertepatan dengan hari Pahlawan, 10 November, hujan rintik-rintik turun pelan menyapu halaman Gedung Sate. Seusai bertugas di teater mini Command Center, saya melangkah keluar. Mobil online tak satu pun merespons pesanan, barangkali cuaca membuat para pengemudi enggan turun ke jalan. Akhirnya, saya naik angkot LedengâCicaheum, kendaraan yang menjadi saksi hidup banyak kisah warga Bandung.
Di dalam angkot yang bergoyang pelan, saya disapa oleh seorang pengemudi dengan senyum ramah. Dari dialah, sebuah kisah menarik mengalir: kisah tentang seni, perjuangan, dan kenekatan menjemput mimpi di tengah keterbatasan. Kisah seorang pria yang dikenal banyak orang sebagai Ambu Encuy.
Menghidupkan Seni di Antara Mesin dan Jalanan
Di dunia seni tradisi Sunda, nama Ambu Encuy semakin familiar, baik di panggung-panggung kampung maupun linimasa media sosial. Namun, sedikit yang tahu bahwa di balik karakter âAmbuâ, sosok ibu yang penuh wibawa di panggung, terdapat kehidupan penuh liku dari seorang lelaki bernama Incu Setiawan.
Lahir di Bandung pada 23 September 1987, Incu tumbuh sebagai anak yang menyukai seni sejak SMP. Tetapi seperti banyak remaja lain, ia terseret arus pilihan pendidikan yang tak sesuai minat. Ia masuk SMKN 2 Ciliwung jurusan Teknik Mesin, jurusan yang ia sebut sebagai âsalah jalurâ. Namun di sekolah itulah ia mulai serius menggeluti seni: menjadi pemain umbul-umbul, pemain payung agung, hingga belajar Jaipong dari Pak Gondo yang sekarangbergabung ke tim seni KDM.
Bagi Incu, seni bukan hanya menjadi pelarian, melainkan menjadi ruang ekspresi bahkan menjadi alasan hidup.
Setelah tamat SMK tahun 2006, ia bekerja di sebuah pabrik, PT Panitia Utama, di bagian molding/matres. Sembilan tahun lamanya ia bertahan di dunia yang jauh dari panggung seni. Namun ritme mesin tak mampu mematikan ritme kendang dalam dadanya.
Hidup tak selalu memberi jalan lurus. Ketika berhenti dari pabrik, Incu mencoba berdagang snack di kantin-kantin sekolah, menitipkan kerupuk tempe ke beberapa warung mulai Bandung hingga Lembang, dengan berjalan kaki membawa sekarung kerupuk di pundaknya. Setahun penuh ia bertahan, sampai akhirnya mengambil jalan baru, menjadi sopir angkot.
Awalnya ia hanya membawa angkot milik orang lain, jurusan LedengâCicaheum. Namun pengalaman bertahun-tahun di jalanan melahirkan tekad: ingin punya angkot sendiri, agar tak selalu bergantung pada juragan.
Perjuangan itu membuahkan hasil. Tujuh tahun kemudian, ia berhasil membeli angkot sendiri. Sangat khas dan cukup kontras dibanding angkot lainnya. Jok dimodifikasi lagi menjadi nuasa hijau yang menyejukan mata. Itulah titik kemandiriannya.
Meski hidupnya banyak dihabiskan di balik setir, kecintaan terhadap seni tidak pernah padam. Bahkan semakin kuat. Ia terus tampil dalam pertunjukan Jaipong, pertunjukan payung agung, hingga menjadi bagian dari Wayang Giri Harja 2 dan Mekar Giri Harja 2. Tidak ada peran yang ia anggap kecil: supir, ambu, lengser, pengiring gongâsemuanya ia jalani dengan cinta.
Nama âAmbu Encuyâ diambil dari nama panggilan neneknya dari pihak ayah. âAmbuâ berarti ibu. Dan âEncuyâ adalah penghormatan kepada sosok yang menjadi akar dalam hidupnya. Dari peran-peran kecil, ia naik menjadi sosok Ambu dalam berbagai acara adat Sunda. Sementara di balik panggung, ia tetap sosok Incu, seorang suami dan ayah dari dua anak yang lahir dari pernikahannya pada 2011.
Titik balik digital terjadi ketika seorang teman mengajak Incu membuat konten kreatif. Dunia media sosial membuka ruang baru. Ia mulai membuat video tentang kehidupan sebagai Ambu dan lengser. Mulai merekam proses make-up, latihan tari, perjalanan ke lokasi acara, dan keseharian di balik setir angkot.
Di kanalnyaâAmbu Encuyâia membagikan konten-konten yang sederhana namun mengena. Konten-konten itu bukan hanya hiburan, tetapi juga bentuk edukasi, dokumentasi, dan pelestarian budaya Sunda.
âNgamumule budaya Sunda bukan hanya wacana. Harus dilakukan.â Begitu ia berkata, sambil membenarkan selendangnya.
Dunia berubah. Teknologi berkembang dengan kecepatan yang kadang membuat seni tradisi terpinggirkan. Namun Ambu Encuy melihat peluang. Ia percaya para seniman harus mampu ngigeulan jamanâmengikuti laju zaman tanpa kehilangan akar budaya.
Ia berharap generasi muda semakin mencintai budaya sendiri, memperkuat budi pekerti dan sopan santun. Ia juga risau melihat permainan tradisional yang kian hilang: loncat tinggi, sapintrong, galah. Menurutnya, permainan itu menyehatkan dan membentuk karakter.
Harapan itu meluncur dari pengendara angkot yang setiap hari bersinggungan dengan kehidupan nyata: macet, terik, hujan, dan hiruk-pikuk kota.
Baca Juga: Turisme Bandung dan Menjaga Rasa 'Urang' Sunda
Saat tiba di tujuan, hujan mereda. Saya melompat turun dari angkot, membawa serta kisah yang lebih hangat dari jaket yang saya kenakan. Di balik kemudi yang sederhana, saya melihat seorang seniman yang terus menjaga nyala kecil budaya Sunda.
Ia bukan selebritas. Ia bukan tokoh besar. Namun dari sudut-sudut kota Bandung, dari jalanan, dari panggung kampung, ia menjadi penjaga tradisi.
Ambu Encuy mengajarkan satu hal: bahwa menjaga budaya tak membutuhkan panggung megah; cukup hati yang tulus dan langkah yang konsisten.
Dan mungkin, di dalam diri setiap kita, ada sedikit nyala yang menunggu untuk dijaga. (*)
