Bandung adalah kota yang mengajarkan nada. Ada kalanya kita tidak tahu, atau kurang informasi terhadap beberapa musisi lokal yang ternyata prestasi mereka mendunia. Siapa yang menyangka kalau beberapa musisi Bandung telah mencatat sejarah musik pada level dunia. Faktanya, musik adalah hiburan yang memiliki destinasi pariwisata yang tiada henti menawarkan daya tarik tersendiri, baik lokal maupun mancanegara.
Siapa musisi Bandung yang diangkat dalam artikel ini? Tidak terlepas dari catatan sejarah dan tumbuh menjadi bagian era milenium. Mungkin liputan tentang mereka agak dilupakan, tetapi sejarah musik tidak akan menghapusnya dari catatan sejarah, khususnya di dunia musik.
Mocca, band pop-jazz indie asal Bandung, adalah salah satu kelompok musik Indonesia yang paling sukses di luar negeri. Beranggotakan Arina Ephipania (vokal), Riko Prayitno (gitar), Achmad Pratama (bass), dan Indra Massad (drum), Mocca lahir dari kultur kampus ITB dan komunitas musik indie Bandung akhir 1990-an.
Karya-karya mereka telah mendunia. Album debut mereka, My Diary (2002), dengan gaya musik swing, bossa nova, dan jazzy pop ala film tahun 60-an, menjadi fenomena di Asia. Lagu-lagunya seperti âI Remember,â âSecret Admirer,â âMe and My Boyfriend,â serta âLucky Meâ diputar luas di Jepang, Korea Selatan, Thailand, Singapura, bahkan menjadi OST berbagai film dan drama Asia.
Mereka mengadakan tur di Asia berkali-kali dan memiliki fanbase besar di Jepang dan Koreaâlebih dulu viral di sana bahkan sebelum era media sosial. Tidak salah, mereka telah mengangkat identitas Bandung.
Mocca bukan hanya band dari Bandung; mereka mewakili semangat kota itu. Musik mereka lahir dari kultur kreativitas ala Bandung: kafe, seni kampus, komik, dan komunitas indie. Atmosfer kota yang hangat, romantis, dan penuh cerita sederhanaâterpantul dalam lirik-lirik tentang persahabatan dan cinta yang polos.
Gerakan Bandung Indie Pop era 2000-an yang mendunia dan diakui sebagai salah satu pusat perkembangan musik indie di Asia Tenggara. Mocca sering menyebut Bandung sebagai rumah kreatif merekaâtempat mereka menulis lagu, berlatih, dan membangun jejaring artis independen. Bahkan dalam konser luar negeri, mereka kerap memperkenalkan Bandung sebagai kota asal yang penuh seniman dan tempat kelahiran gaya musik mereka.
Berikut sejarah singkat riwayat musisi ini:
- 1997â1999: Arina dan Riko membentuk cikal bakal Mocca saat masih kuliah.
- 2002: Album My Diary dirilis indie dan langsung meledak.
- 2000â2010: Lagu-lagu mereka menjadi soundtrack di berbagai film Asia; tur internasional berlangsung.
- 2014âsekarang: Tetap aktif, merilis album seperti Home (2014) yang sangat personalâmenceritakan perasaan rindu kampung halaman, yaitu Bandung.
Di samping itu, ada beberapa nama lain musisi Bandung yang mendunia (Singkat):
- The S.I.G.I.T â rock band dengan tur internasional hingga Australia & Eropa.
- Burgerkill â band metal yang mendapat penghargaan global, termasuk Metal Hammer Golden Gods Awards.
- Bottlesmoker â duo elektronik dengan tur di Eropa & Asia.
Lebih lanjut, berikut sebuah narasi tentang bagaimana Bandung mengilhami karya musisi-musisi asal kota iniâterutama Mocca, namun dengan kehadiran ruh musik Bandung secara lebih luas.

Bandung selalu punya cara membisikkan inspirasi. Pada pagi hari, embun yang menggantung di dedaunan Jalan Ganesha tampak seperti not-not kecil yang menunggu dipetik oleh siapa saja yang mau mendengarnya. Di kota inilah Arinaâsuara bening dari Moccaâdulu sering berjalan sambil membawa buku catatan kecil. Setiap sudut Bandung baginya adalah ruang latihan menulis lirik: angin dingin yang turun dari Lembang, aroma roti dari toko jadul dekat kampus, atau tawa mahasiswa yang berhamburan dari ruang-ruang kelas. Semuanya masuk ke dalam lagu-lagunya, perlahan berubah menjadi melodi manis yang kelak terbang jauh meninggalkan kota ini.
Bagi Mocca, Bandung adalah rumah yang tidak pernah benar-benar pergi. Ketika mereka menulis My Diary, album yang kelak membuat Asia jatuh cinta, mereka sebenarnya sedang menulis tentang cara Bandung membuat seseorang merasa âakrab sekaligus asingââseperti cinta pertama yang manis tapi gugup. Setiap denting gitar dan setiap gesekan shaker terasa seperti langkah-langkah ringan seseorang menyusuri Braga pagi hari, ketika toko-toko antik mulai membuka mata.
Riko sering bilang bahwa melodi mereka âlahir dari suasana.â Suasana itu bukan sesuatu yang diciptakan; Bandung sendiri yang membangunnya selama puluhan tahun. Kota ini adalah galeri terbuka: mural-mural yang belum sempat digantikan iklan, lampu kuning tua di trotoar Dago, dan musik dari kafe-kafe yang saling tumpang tindih seperti percakapan sahabat lama. Dari ruang-ruang seperti ini, lahirlah karya yang terdengar sederhana namun terasa dekatâseperti surat cinta yang tidak pernah lekang.
Bandung juga mengajarkan mereka tentang kemandirian. Di akhir 90-an, dunia musik indie tumbuh di garasi-garasi kecil, studio kampus, dan kamar kos. Tidak ada yang mewahâhanya semangat untuk membuat sesuatu yang jujur. Dari budaya itu lahir bukan hanya Mocca, tetapi juga dentuman bising Burgerkill, letupan rock The S.I.G.I.T, serta denting elektronik Bottlesmoker. Bandung mengizinkan ragam suara tumbuh seperti tanaman liar: liar, bebas, tapi tetap indah dalam keteraturannya.
Ketika Mocca tampil pertama kali di luar negeri, mereka membawa Bandung tanpa perlu mengatakannya. Dalam senyum ramah, dalam nada-nada hangat, dalam cara mereka mengawali konser dengan sapaan lembutâsemua ada Bandung di sana. Para penonton di Jepang, Korea, atau Thailand mungkin tidak tahu letak Bandung di peta, tetapi mereka bisa merasakan sesuatu yang berbeda dalam musik itu: kehangatan kota kecil yang besar hati, tempat kreativitas tidak pernah tidur.
Setiap mereka kembali dari tur, Bandung selalu menyambut seperti ibu yang menunggu pulang anaknya. Kota itu tidak bertanya apa-apa; hanya menyediakan lagi udara sejuk dan ruang sunyi tempat mereka bisa menulis lagu baru. Dan dari Bandung, mereka kembali terbang, membawa cerita lain, nada lain, cinta lain.
Kini, jika kita berjalan sore-sore di sekitar Dipatiukur atau Taman Saparua, mungkin kau akan mendengar seseorang memainkan gitar, atau sekelompok anak muda mencoba membuat band baru. Dan tanpa mereka sadari, Bandung sedang bekerja lagiâmengangkat pelan-pelan setiap nada yang mereka ciptakan, menyimpannya, membiarkannya tumbuh, hingga suatu hari musik itu mungkin juga akan pergi jauh, sejauh Mocca dan kawan-kawannya.
Karena di kota ini, musik bukan sekadar bunyi. Ia adalah cara Bandung mencintai dunia. (*)
