Di Kampung Giriharja, Kecamatan Baleendah, Kabupaten Bandung, Minggu (9/11/2025), dentang gamelan berpadu dengan suara anak-anak yang berlarian di sekitar sanggar. Dari sebuah saung kecil, barisan boneka wayang golek tersusun rapi, menunggu untuk dihidupkan oleh tangan-tangan muda yang meneruskan warisan leluhur.
Naka Albari Sunarya, dalang muda asal Giriharja, menuturkan bahwa fungsi wayang kini telah bergeser dibanding masa lalu.
“Kalau dulu fungsi wayang itu juru pendidik, juru penerang, dan juru penghibur. Sekarang lebih ke hiburan,” ujarnya. Menurutnya, masyarakat saat ini lebih tertarik pada tontonan yang ringan dan menghibur.
Namun, perubahan itu tak membuat para dalang berhenti berkarya. Mereka terus beradaptasi dengan zaman dan menjadikan teknologi sebagai sahabat.
“Dalang sekarang bukan hanya tampil di panggung, tapi juga di layar. Teknologi bukan lawan, tapi kawan,” kata Naka. Ia melihat banyak dalang muda mulai memanfaatkan media sosial untuk memperluas penonton, dari desa hingga ke mancanegara.
Wayang masih menjadi primadona di Jawa Barat. Dari semua kesenian tradisi, pertunjukan wayang golek tetap paling banyak diminati. Beberapa dalang legendaris bahkan bisa mengisi panggung hampir setiap hari dalam sebulan. Namun, diluar Jawa Barat, minat terhadap kesenian daerah cenderung menurun.
Sebagai generasi penerus seni wayang, para dalang muda Giriharja juga menghadapi tantangan fasilitas dan dukungan yang terbatas. Ia berharap pemerintah memberi ruang lebih besar bagi pendidikan seni tradisi.
Namun semangat tak pernah padam di kampung seni ini. Lewat media digital, para seniman muda mencoba menghadirkan wayang kontemporer. Kalau bisa memanfaatkan teknologi dengan bijak, nilai tradisionalnya tetap bisa dijaga.
Di Giriharja, wayang bukan sekadar pertunjukan. Ia adalah napas kehidupan, tempat nilai – nilai kesabaran, kebijaksanaan, dan humor rakyat dipelajari tanpa harus duduk di kelas. Tokoh – tokoh seperti Cepot dan Dawala bukan hanya pelawak di panggung, melainkan penyampai kritik sosial yang cerdas.
“Wayang itu bisa bicara sosial apa saja, termasuk kehidupan sehari – hari. Dari situ penonton merasa dekat,” ujar Naka Albari Sunarya salah satu dalang muda sambil menata bonekanya.

Kini, di tengah derasnya arus digital, seni tradisi itu justru menemukan bentuk baru. Dalang – dalang muda Giriharja mulai menggabungkan cerita klasik dengan teknologi modern. Mereka menyiapkan pertunjukan lewat live streaming, menambah tata cahaya dan musik modern tanpa menghilangkan ruhnya.
Suasana Giriharja pun tak pernah benar – benar sepi. Setiap denting gamelan, setiap langkah kaki kaki menuju Giriharja, seakan menjadi bukti bahwa tradisi masih berdenyut. Dari kampung kecil di kaki perbukitan Bandung, seni wayang terus beradaptasi tanpa kehilangan jati dirinya.
Wayang golek tetap menjadi simbol keteguhan: lentur, namun tidak rapuh; berubah, namun tetap berakar. Dan selama masih ada generasi muda yang mau menyalakan lampu blencong di malam hari, cahaya wayang di Giriharja tak akan pernah padam. (*)