Ilustrasi terorisme di media sosial (Sumber: Kompas | Foto: wall street journal)

Ayo Netizen

Radikalisme, Internet, dan Anak Muda?

Kamis 20 Nov 2025, 07:54 WIB

Malam itu, udara di wilayah Bandung Timur terasa lebih dingin dari biasanya. Bekas hujan yang sejak sore mengguyur Cibiru masih tersisa. Genangan air memenuhi jalanan dari Bunderan hingga Puskesmas.

Sambil menunggu hasil print warna tugas Aa Akil, anak kedua yang berusia 10 tahun di foto copian Manisi 45, seorang kawan tiba-tiba bertanya,

“Kenapa tidak menulis tentang aksi bom rakitan yang belajar dari internet di SMAN 72 Jakarta?” celetuknya

“Masih, Kang!” kujawab singkat.

Laki-laki berbadan tegap langsung menimpali, “Mana, kan suka menulis tentang radikalisme, internet, dan anak muda?

Peledakan di SMAN 72 Jakarta, Kelapa Gading, Jakarta Utara. (Sumber: (Pikiran Rakyat, 12 November 2025) | Foto: Istimewa)

Tindakan Radikal, Amarah Perundungan

Pengamat terorisme Universitas Malikussaleh Aceh, Al Chaidar, menegaskan kasus ledakan bom rakitan di SMAN 72 Jakarta merupakan peristiwa yang unik. Secara hukum, tindakan ini memang masuk dalam kategori terorisme. Namun, berbeda dari kebanyakan kasus serupa, pelaku tidak terhubung dengan jaringan teror mana pun dan melakukan aksinya secara mandiri.

Menurutnya, radikalisasi berbasis internet umumnya memiliki pola yang jelas. Adanya jaringan yang dikenal, bahan-bahan yang dapat diunduh, komunikasi antara pelaku dan kelompoknya. “Dalam kasus ini, semua itu tidak ditemukan,” ujarnya.

Bagi pengamat terorisme Universitas Indonesia, Solahudin menilai peristiwa itu lebih merupakan moral disengagement through ideological justification, pemutusan ikatan moral yang dibungkus dengan pembenaran ideologis pribadi, bukan aksi teror yang memiliki keterhubungan dengan jejaring radikal. “Aksinya memang mirip teror, tetapi mens rea-nya pribadi, berupa balas dendam, bukan ideologi. Dalam terorisme, motif adalah pembeda utama antara kekerasan kriminal umum dan tindakan terorisme,” jelasnya. (Kompas, Minggu 09 November 2025)

Polisi menetapkan siswa pelaku peledakan di SMAN 72 Jakarta sebagai anak berhadapan dengan hukum (ABH). Hasil penyelidikan Densus 88 menunjukkan pelaku bertindak mandiri tanpa keterkaitan dengan jaringan teror mana pun. Parahnya, selama ini diketahui sering mengakses dark web dan mempelajari cara merakit bahan peledak melalui internet. Dari lingkungan sekolah ditemukan tujuh peledak, empat di antaranya sempat meledak. Penggeledahan rumah pelaku mengungkap sejumlah barang bukti yang memperkuat dugaan seluruh rangkaian aksi dilakukan secara individu.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat pelaku mengalami perubahan perilaku signifikan dalam beberapa bulan terakhir, mulai menjadi tertutup sampai intens mengakses konten bernada radikal di platform digital. Motif pelaku diduga merupakan perpaduan antara emosi pribadi yang tidak tersalurkan dan internalisasi narasi ekstrem dari ruang digital. KPAI merekomendasikan deteksi dini, penguatan dukungan psikososial sekolah, penyempurnaan regulasi penanganan kekerasan sebagai langkah pencegahan paparan ekstremisme pada anak. (Pikiran Rakyat, Rabu 12 November 2025)

Pelaku di SMAN 72 Jakarta, Kelapa Gading, Jakarta Utara Sering Nonton Film Ekstrem (Sumber: Instagram | Foto: @sman72jakarta)

Internet Jadi Persemaian Kelompok Radikal

Internet, dalam konteks kekerasan atas nama agama aksi terorisme, kekerasan terhadap minoritas dan kasus konflik antara umat beragama adalah salah satu media yang paling banyak digunakan untuk menyalurkan hasrat demokrasi tersebut. Banyak dari kalangan ekstrimis muslim yang memanfaatkan momen dan media tersebut untuk menyebarkan ideologi jihad mereka. (Jurnal Indo-Islamika, Volume 1, Nomor 2, tahun 2012/1433:197)

Memang segala ide, gagasan radikalisme, terorisme disebarkan dengan mudah memenfaatkan kemajuan teknologi. Di komunitas muslim lahirlah sebutan Islam Virtual. Melalui internet banyak yang menyampaikan penafsiran mereka sendiri tentang Islam dan asas yang berkaitan dengan Islam. Ini memiliki implikasi yang serius dengan adanya macam-macam materi dan perspektif yang tersedia dan secara acak yang dimana informasi ini dapat diakses. Pengalaman pertama seseorang dengan Islam di dunia maya adalah mungkin apa yang dinamakan kelompok skirmatis (terpecah-pecah) organisasi radikal sebagai suatu penefsiran ortodok arus utama. (Gary R Bunt, 2005:5)

Hasil penelitian John Obert Voll tentang jaringan teroris bukan lagi mata rantai terpenting dalam kaiatan dengan transformasikan politik komunitas muslim di seluruh dunia, melainkan jaringan intelektual dan pertukaran ideologi melalui media internet (email).

Imam Samudara, mulai aktif di dunia maya, jelang peledakan Bom II Bali sejak Juni 2005 hingga dipindahkan ke Nusa Kambangan. Pada Bom II Bali, Noordin M. Top dan Abdul Azis membangun situs khusus sebagai medium untuk melakukan mengkoordinasi semua kegiatan yang terkait dalam pelaksanaan aksi teror. Max Fiderman (Agung) membuat situs anshor.net dari kartu kredit. (Agus SB, 2014:6, 19-20 dan Agus SB, 2016:92)

Ilustrasi Ayo Rehat dari Media Sosial (Sumber: ayobandung.com | Foto: Fathia Uqimul Haq)

Paradoks Dunia Maya, Pusaran Media Sosial

Kekuatan internet terletak pada keparadokskan dan kekontradiksinya. Pasalnya, cyberspace merupakan ruang maya yang dibentuk melalui jaringan antarkomputer. Ketika mengembara di dalamnya kita akan menemukan berbagai panorama yang penuh paradoks dan kontrdiksi; kesenangan-ketakutan, kebaikan-keburukan, keaslian-kepalsuan. Paradoks cyberspace memang sama saja dengan paradoks di dalam dunia nyata, tetapi ia bersifat ekstrem, kuat, langsung, intens.

Jeff Zaleski menyajikan sebuah peta pemikiran di balik cyberspace dengan menampikan berbagai gagasan, termasuk paradoknya dari berbagai cyberist, cyberreligionistis, cyberprogrammers. Mereka optimis terhadap realitas baru cyberspace yang dianggap akan dapat menggantikan realitas yang ada dan dapat menjadi semacam agama baru, spiritualitas baru, Tuhan baru. Di samping itu Zaleski menggambarkan bagaimana sikap fatalis mereka dalam menghadapi berbagai sisi buruk dan menakutkan dari dunia baru.

Pada sisi lain, Zeleski menampilkan peta pengguna cyberspace oleh berbagai kelompok real religionist (Hindu, Buddha, Yahudi, Kristen, Islam) bagaimana dunia baru ini digunakan sebagai sarana penyebaran ajaran agama, komunikasi antarumat beragama, bahkan sebagai penyalur energi spiritual. Bagaimana cyberspace menjadi sarana yang positif dan efektif bagi realitas keberagamaan di dalam masyarakat global ini.

Mark Slouka, kritikus budaya Amerika sangat sinis terhadap orang di balik teknologi informasi dengan melontarkan kritik pedas terhadap para filsuf dan ideologi yang ada di balik teknologi cyberspace yang menanamkan diri net religionists, orang-orang yang mempunyai obsesi ingin menjadi Tuhan. Mereka adalah orang-orang yang percaya dunia pikiran dapat dimuat (dibuatkan simulasinya) dalam komputer. Percaya masa depan manusia tidak berada di RL (Real Life) tetapi dalam berbagai bentuk VR (Virtual Reality). Cyberspace merupakan sebuah bentuk lebih tinggi daripada spiritualitas. Mereka melalui teknologi komputer seakan-akan menciptakan semacam gerakan kenabian menurut versi mereka.

Dalam kondisi demikian, sebagimana yang dikatakan oleh Hakim Bey di dalam The Information War, Media (cyberspace) mengambil alih peran agama (pendeta). Dalam tugasnya memberi manusia petunjuk jalan keluar dari tubuh dengan cara mendefinisikan ulang ruh sebagai informasi. Padahal hakikatnya informasi di dalam cyberspace merupakan image yang wujud abstraknya merampas keutamaan prinsip tubuh dan menghentikannya dengan prinsip ekstasi tanpa tubuh. (Yasraf Amir Piliang, 2011:255-266 dan 278)

Gerakan radikalisme Islam yang menyeruak di jejaring virtual (facebook, youtube, twitter, instagram, dan whatsapp) telah menjadi ruang bagi cara baru untuk melakukan propaganda, perekrutan, pelatihan, perencanaan, ajakan pendirian Khilafah Islam.

Strategi kekinian yang terus dipraktikkan “para pembela Islam” ini sangat mempengruhi cara berfikir masyarakat Muslim. Pasalnya, mereka secara aktif menggunakan media sosial dengan menargetkan anak-anak muda sebagai mayoritas warga di jejaring sosial (netizen). (Jurnal Afkaruna, Vol 11, No 2 (2015): Juli - Desember 2015:240-259)

Saat asyik membaca lembar demi lembar buku Radikalisme di Media Sosial (Islami Digital Indonesia: 2023) yang ditulis secara serius oleh Muhammad Nuruzzaman, tiba-tiba Anak ketiga, Kakang (4 tahun) memanggil “Bah Bacain cerita Nabi Ibrahim ya!” Cag Ah! (*)

Tags:
anak mudainternetradikalisme

Ibn Ghifarie

Reporter

Aris Abdulsalam

Editor